Monday, February 17, 2025

#KaburAjaDulu...

 



Adanya tagar Kabur Aja Dulu. Seakan mengingatkan apa yang terjadi  pada 2003 di Venezuela. Eksodus rakyat ke luar negeri. Pada awalnya yang eksodus adalah tenaga kerja terampil dan anak muda. Mereka cerdas dan paham bahwa di negerinya yang korup, tidak ada masa depan. Setelah itu, benarlah. Keadaan ekonomi terus memburuk. Kehidupan ekonomi rakyat semakin sulit. Insecure life. Sepiring spaghety lebih mahal daripada harga pelacur. Akhirnya rakyat jelata yang tidak punya skill terpaksa eksodus juga. 


Mengapa ? Padahal Venezuela punya cadangan minyak terbesar di dunia. Sekian decade Venezuela dianggap sebagai kehebatan ekonomi sejak minyak ditemukan tahun 1920. Saya punya teman di Caracas, Venezuela. Menurutnya presiden Hugo Chavez (1999-2013) dan Nicolas Maduro (2013-sekarang) menerapkan kebijakan ekonomi makro yang salah selama tahun 2000-an dan awal 2010-an ketika ekonomi Venezuela sedang berkembang pesat karena 'siklus super' komoditas global – periode berkepanjangan dengan harga gandum, logam, minyak, dan gas yang tinggi dan meningkat.


Pengeluaran pemerintah sangat pro-siklus ekspansif. Alih-alih menyimpan setidaknya sejumlah uang selama masa booming untuk risk manajemen saat sulit – seperti yang dilakukan Norwegia, Arab Saudi, dan hampir semua eksportir minyak lainnya – pemerintah Venezuela mengalami defisit fiskal dua digit saat ekonomi sedang booming. Pengeluaran pemerintah jauh melampaui pendapatan dari pajak dan pendapatan lainnya. Defisit ditutupi dengan obligasi. Sama seperti Indonesia saat ada windfall.


Venezuela juga semakin bergantung pada bank sentral untuk membiayai defisit nya, sebuah kebijakan moneter yang berbahaya. Dengan kata lain cetak uang.  Sama seperti Indonesia dengan semakin besarnya SBN dibeli oieh BI. Itu sama saja dengan memenggal pendapatan real publk lewat naiknya harga harga dan  tarif, yang ujungnya melemahnya daya beli masyarakat terutama kelas menengah dan rakyat miskin. Walau pemerintah meredamnya dengan subsidi dan bansos sebesar 10% dari PDB, justru semakin membuat fundamental ekonomi berderak. Kurs semakin melemah.


Pada saat yang sama, industri minyak Venezuala yang sangat penting kekurangan dana investasi dan dikelola dengan buruk karena para  direksi dan komisaris adalah bagian dari partai koalisi politik, bukan professional. Produksi minyak di ladang-ladang minyak mentah berkualitas tinggi yang dioperasikan oleh perusahaan minyak nasional, PetrĂ³leos de Venezuela, SA (PDVSA), turun drastis. Semakin membuat rentan cadangan devisa, yang terpaksa memperkuatnya lewat hutang luar negeri. Ya sama seperti di Indonesia yang terlena kepada pendapatan sector SDA yang rendah DHE, terpaksa menambah hutang luar negeri.


Semua sumber daya tenaga kerja sector manufaktur consumer goods dan pertanian kesedot ke sector Migas. Akibatnya pertumbuhan sector Industri dan pertanian drop. Ketergantungan kepada Bansos dan subsidi sangat besar untuk meningkatkan konsumsi domestic. Ketergantungan kepada impor consumer goods sangat tinggi. Akibat gagal melakukan transformasi ekonomi dari SDA ke industry. Tidak ada kemandirian. Kami terjebak dengan budaya petrostate, kata Alina. Apa itu petrostat? 


Itu istilah informal yang digunakan untuk menggambarkan suatu negara dengan beberapa atribut yang saling terkait, yaitu pendapatan pemerintah sangat bergantung pada ekspor SDA, kekuatan ekonomi dan politik sangat terkonsentrasi pada minoritas elit, dan institusi politik lemah dan tidak bertanggung jawab, dan korupsi merajalela bekulindan dengan oligarki yang rakus. Civil society lumpuh. Kata Alina. Saya mengangguk dan termenung seperti Indonesia mungkin. 


Kalau negara lain bangkrut karena perang seperti di Irak, Lebanon, Liberia, Ukraina, Georgia, Moldova, dan Tajikistan. Namun ekonomi Venezuela runtuh di bawah satu pemerintahan selama masa damai. Standar hidup di Venezuela yang kaya minyak anjlok drastis hingga 74% antara tahun 2013 dan 2023. Ini adalah penurunan standar hidup terbesar kelima dalam sejarah ekonomi modern. Semua sudah terjadi, kata Alina. Penyesalan hanya nampak bagi rakyat yang selama ini setia mendukung elite penguasa. Namun tidak bagi elite Politik. 


Sementara kaum akademis dan Pers dibungkam. Pengkritik dikriminalisasi. Pemerintah bebas berbohong dan hipokrit lewat data yang absurd dan bias. Tahun 2023 katanya ekonomi tumbuh 5% dan diharapkan tahun 2025 meningkat 8%.  Namun faktanya inflasi masih diatas 100%. Ada 8 juta orang eksodus ke luar negeri.  Tahun 2023, hampir 1 juta orang Venezuela sudah jadi warga negara AS dan sisanya di negara Kawasan Amerika latin dan Karibia.


Tidak ada system pemerintahan yang sempurna. Namun semua negara punya spirit mempersatukan. Bahwa setiap warga negara berhak akan pekerjaan dan kehidupan yang layak seperti halnya UUD 45 pasal 27 ayat 2.  Ketika amanah konstitusi tidak dilaksanakan. Hope memudar. Justru Nasionalisme elite politik dan penguasa akan dipertanyakan oleh rakyat tertindas. Neocolonialisme terjadi. Yang keras melawan. Yang lemah menerima kalah. Yang cerdas ya eksodus.

Thursday, February 6, 2025

Politik Anggaran Prabowo






Walau saya bukan pemilih Prabowo namun saya harus akui bahwa Prabowo itu cerdas. Cerdas dalam arti bukan licik. Tetapi cerdas yang didukung literasi yang cukup serta kemandirian membuat keputusan. Dia tahu bahwa sumber masalah negeri ini ada pada system birokrasi. Itu terkait dengan tatakelola yang feodalisme. Tidak meritokrasi. Sejak awal reformasi sampai era Jokowi, hal yang tidak pernah bisa dibenahi adalah birokrasi. Reformasi tidak menyentuh birokrasi dalam arti sesungguhnya.


Jarak antara politisi dan birokrasi itu memang jauh sekali. Apalagi kompetensi menteri dan Gubernur /bupati rendah. Jarak ini menimbulkan disparitas antara realisasi dan rencana. Misal, APBN itu adalah politik anggaran Pemerintah yang berkuasa. Para politisi di DPR yang merupakan wakil dari partai dan Dapil duduk bersama membahas agenda politk sesuai dengan visi nasional : UUD 45, Pancasila, NKRI. Nah oleh pemerintah pada level birokrasi diterjemahkan lewat narasi APBN ekspansif. Ya, karena sifatnya ekspansif tentu yang muncul adalah belanja macem macem.


Hashim Djoyohadikusumo, yang juga adik dari Prabowo mengatakan bahwa banyak anggaran negara yang tidak dibelanjakan untuk program strategis. Bahkan, dia menyebut banyak program yang 'konyol'. Apa yang dikatakan Hashim itu membuktikan bahwa birokrasi itu memang brengsek. Namun itu ditepis oleh birokrasi dengan ukuran kinerja Kementrian/ Lembaga/PEMDA dalam bentuk realisasi APBN. Semakin besar realisasi APBN/D semakin baik kinerja pemerintah.


Padahal sudah ada UU  Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengatur penggunaan sistem penganggaran berbasis kinerja (ABK).  Kemudian UU Nomor 1 Tahun 2022 juga memperkuat sistem perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja di daerah. Yang tujuannya, meningkatkan kualitas belanja, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, meningkatkan efisiensi, meningkatkan fleksibilitas dan akuntabilitas unit kerja. Mungkin hanya Ahok saat gubernur DKI menerapkan UU itu dengan konsisten. Namun dia dibenci oleh birokrasi DKI sendiri.


Prabowo  belajar dari pemerintahan sebelumnya. Di era SBY, narasinya adalah money follow function. Anggaran disesuaikan dengan fungsi dari Lembaga atau unit kerja. Tujuannya adalah efisiensi. Untuk memastikan waskat atas money follow function itu, SBY memberikan kuasa kepada Bangar DPR untuk membahas APBN sampai ke level 3 anggaran. Apa yang terjadi ? program kerja tidak jalan. Beberapa proyek malah mangkrak. Yang terjadi malah konspirasi antara Lembaga/kementrian dengan Bangar DPR. Terbukti beberapa Menteri, anggota DPR masuk bui. 


Era Jokowi, narasi money follow functon diubah menjadi Money follow program. Kinerja berdasarkan program prioritas. Nah karena sifatnya prioritas, perencanaannya menjadi semacam crash program. Kualitas perencanaan belanja sangat rendah. Ya, terkesan terburu buru seperti proyek Infrastruktur ekonomi, IKN, swasembanda pangan dan lain lain. Harus cepat diselesaikan dan diresmikan oleh president. Dari situasi inilah terjadi moral hazard. Itu bisa dilihat dari tinggi nya ICOR dan memburuknya indek korupsi. 


Prabowo membaca situasi itu semua. Tentu dia tidak mau menjadi bagian dari masalah dari presiden sebelumnya. Ya dia tidak mau terjebak dengan narasi money follow program atau money follow function. Dia gunakan narasi MSB sebagai anti tesis dari narasi tersebut. Dengar aja pidatonya di Brazil  “ 25% anak anak Indonesia kelaparan setiap hari”. Anak anak adalah symbol masa depan bangsa. Dia tidak ingin mengulang kesalahan masa lalu itu


Sebenarnya esensinya bukan MSB yang hendak dia capai. Tetapi readjustment budget yang pro rakyat miskin dan focus kepada perubahan mindset birokrat dari project based ke program based. Walau Inpres Nomor 1 Tahun 2025 memangkas anggaran belanja kementrian/Lembaga dan alokasi dana transfer ke daerah. Itu tidak akan mengganggu fostur APBN yang sudah ditetapkan. Karena yang dikurangi adalah anggaran birokrasi. Ya intangible cost atau yang tidak terkait langsung dengan program itulah yang dipangkas seperti Alat tulis kantor, perjalanan dinas, biaya konsultan dan biaya studi dan lain lain.


Lebih Rp 300 triliun anggaran dipangkas atau sekitar 10% dari APBN. Kalau Menteri dan ketua Lembaga, Pemda masih terjebak dengan feodalisme, apalagi inginkan pencitraan. Ya pemotongan anggaran birokrasi itu sangat tidak nyaman. Karena engga ada lagi anggaran upacara atau seremonial untuk jadi media darling. Engga ada lagi anggaran buzzer. 


Tetapi kalau Birokrat  mau mengubah mindset nya menjadi meritokrasi, Indonesia akan bergerak maju kedepan. Itu bisa lihat contoh Argentina. Sekian decade terpuruk karena hutang dan hiperinflasi, Tapi hanya setahun dibawah Javier Milei, APBN bisa surplus, dari kontrasi ke growth. Semoga.


#KaburAjaDulu...

  Adanya tagar Kabur Aja Dulu. Seakan mengingatkan apa yang terjadi   pada 2003 di Venezuela. Eksodus rakyat ke luar negeri. Pada awalnya ya...