Wednesday, July 10, 2024

Revolusi belum selesai...

 








Pada saat Tragedi Nasional September 1965, Bung Karno berpidato yang menegaskan bahwa Revolusi Agustus ”belum selesai”. Agustus  45 itu memang sebuah revolusi. Mengubah status Hindia Belanda, menjadi Indonesia dan karenanya kita bisa menyebut “ kami bangsa Indonesia”. Namun usai upacara Proklamasi di halaman sebuah rumah di Jalan Pegangsaan, Jakarta, Soekarno nampak tidak begitu bersemangat. Mungkin karena saat itu dia terserang penyakit malaria. Dengan lirih Bung Karno berkata, saudara saudara kita sudah merdeka.  The revolution has begun. 

Yang menghantui pikiran Soekarno dan tentu mengkhawatirkannya adalah soal budaya kolonialisme itu sudah mengakar dalam budaya Indonesia. Apa itu? feodalisme. Masih perlu ada revolusi lagi dan lagi setelah revolusi status dari hindia Belanda menjadi indonesia. Jalan revolusi menuju keadilan sosial bagi semua masih jauh dan tentu masih diperlukan pengorbanan dalam banyak hal. Apalagi mengubah drastis dari masyarakat kolonial yang telah berlangsung sekian abad menjadi bangsa merdeka. Itu butuh kepemimpinan yang kuat untuk menyelesaikan kerja besar membentuk masyarakat baru yang benar benar baru. 

Proses membentuk masyarakat baru, masyarakat egaliter, itu tidak mudah dan rumit. Maklum walau kita menempatkan Pancasila sebagai falsafah, sila Pertama adalah Ketuhanan, namun justru atas nama Tuhan strata sosial keagamaan membentuk klas Patron dan clients. Atas nama agama, mesjid, gereja, klenteng megah berdiri dari titah sang patron. Dari tempat ibadah itulah icon feodalisme dikekalkan. Kebenaran terdefinisikan. Persepsi dibenamkan. Logika dan dialektika jadi haram diperdebatkan. Lambat laun ia menjadi kekuatan politik dengan jutaan client yang bigot.

Maklum juga, kaum terpelajar dari kalangan kampus dan cendekiawan, juga tidak lepas dari tradisi feodalisme. Lihatlah upacara penyematan gelar kesarjanaan. Dengan baju toga, para guru besar berbaris sesuai dengan urutan senioritasnya, dan para calon Sarjana harus menundukan kepala dihadapan Guru besar itu. Kelak mereka menjadi bagian dari elite bangsa, yang berada di ormas, dan parpol. Yang hanya diketahui kehadirannya oleh rakyat saat mereka berpidato. Secara phisik tetap saja mereka berjarak dari hiruk pikuk rakyat banyak yang tidak terpelajar. Lambat laun mereka menjadi elite penguasa yang  terkontaminasi a susila dan hedonisme.

Artinya adanya Proklamasi agustus 45 dan revolusi bau amis darah, masalah feodalisme belum tersentuh. Lantas apa solusinya ? Seperti kata Bung Karno , revolusi belum selesai. Seperti tesis Trotsky tentang ”revolusi terus-menerus”. Bagi Trotsky, di sebuah negeri seperti Rusia, revolusi sosialis harus berlangsung tanpa jeda. Trotsky tak setuju dengan teori revolusi berlangsung dalam dua tahap: pertama, tahap ”borjuis” dan ”demokratis”; kedua, baru setelah itu, ”tahap sosialis”.

Bagi Trotsky, di negeri yang ”setengah-feodal dan setengah-kolonial”, kaum borjuis lemah untuk menyelesaikan agenda revolusi tahap pertama: membangun demokrasi, mereformasi pemilikan tanah, dan menciptakan pertumbuhan ekonomi. Maka kaum proletarlah yang harus melaksanakan revolusi itu. Seperti revolusi kebudayaan China yang digerakan kaum proletar. Begitu tercapai tujuannya, kelas buruh melanjutkan revolusi tahap kedua, ”tahap sosialis”. Ini tentu sebuah pandangan yang terlampau radikal.

Agenda Soekarno seperti tesis Trotsky memang terkesan radikal dan sebagian kita menolaknya dengan keyakinan melankolis bahwa falsafah Pancasila Pusaka Sakti. Kita lupa bahwa Pancasila itu adalah konsep imaginer, yang bagaimanapun butuh metodologi mencapainya. Tan Malaka  berkata, menerapkan komunis bukan berarti memakai pemikiran Karla Max dengan segala manifestonya, tetapi hanya menjadikan komunis sosialis sebagai metodologi mencapai tujuan revolusi, dan itu sesuai dengan situasi dan kondisi kita sebagai bangsa ex kolonial. Itu yang  diterapkan oleh China.

Kita tidak sabar berproses. Soekarno  dijatuhkan, dan segala ajarannya di era Soeharto menjadi terlarang. Sampai kini kita kehilangan agenda besar dalam kerja nyata, yang tersisa hanya retorika kaum feodal yang bermetamorfosis jadi Oligarki. Terstruktur dan sistematis dalam lingkaran budaya feodal yang saling melindungi. Presiden, gubernur, walikota, bupati, ketua lembaga negara, anggota parlemen menyusu ke partai, partai menyusu ke pengusaha. Mereka menjadi sindikat oligarki, melanjutkan feodalisme bersama sama dengan patron seperti ormas, kampus, influencer.

Apa yang terjadi kini?  GINI ratio  semakin timpang. PDB meningkat itupun karena didukung oleh 135.000 orang yang punya tabungan di Bank diatas RP. 5 miliar. Sementara 270 juta rakyat, sebagian besar hidup dengan pendapatan dibawah Rp. 5 juta sebulan. Sebenarnya tidak ubah dengan era kolonial. Percayalah, walau tanpa kepemimpinan radikal, revolusi akan terjadi dengan sendirinya, ya hukum kausalitas. Seperti kata Tan Malaka, revolusi lahir karena ”berbagai keadaan”, bukan karena adanya pemimpin dengan ”otak yang luar biasa”. Kalau ini tidak disadari untuk keadilan sosial bagi semua, revolusi itu pasti terjadi. Tunggu aja..just matter of time.

No comments:

Memahami pasar uang secara idiot

  Kita perhatikan kurs Rupiah turun naik atau terjadi volatilitas. Itu bukan gamebling. Engga perlu ruwet amat lewat Analisa yang canggih un...