Kalau dalam kasus Fredy Sambo kita menikmati drama anti klimak bertajinya palu hakim dan garangnya pengacara. Yang jelas polisi jadi pecundang. Namun dalam kasus Vina-Eky Cirebon, Jaksa dan Hakim terlibat dalam satu narasi yang diokrestrasi oknum sehingga terlihat hukum lumpuh dan gagal memberi rasa keadilan kepada keluarga korban dan publik.
Aktualisasi keadilan itu soal rasa. Kata rasa di sini sebenarnya lebih dekat ke arah kesadaran. Kesadaran akan keadilan itu tak hanya sebuah produk kognitif, hasil proses pengetahuan, melainkan juga tumbuh melalui proses penghayatan. Ya hukum seharusnya secara ideal memenuhi rasa keadilan. Tapi tidak mudah mencapainya, atau bisa jadi hanya upaya yang sia sia. Dalam budaya kuno, nyawa dibayar nyawa itu juga memenuhi hasrat rasa keadilan. Memang rumit kalau sudah menyangkut rasa. karena subjectif.
Dalam agama samawi, Tuhan disebut maha adil, tapi kitab mulia bercerita soal Nabi Ayub yang sengsara. Padahal ia lelaki yang baik dan soleh tak berbuat aniaya. Kenapa Tuhan membiarkan ketidakadilan kepada NabiNya itu.? Dalam sejarah itu bisa terus dipertanyakan. Mayoritas rakyat adalah orang bersahaja yang tinggal di desa dan di kaki gunung, di pesisir pantai. Mereka orang baik tetapi tidak merasakan keadilan terhadap sumber daya. Tetapi bagi segelintir orang yang kaya dan berkuasa, negara telah memuaskan rasa keadilan mereka. Dari situasi yang timpang ini, kadang emosi bangkit dan teriak lantang, dimana Tuhan?
Di era modern dan terutama sejak kapitalisme diperkenalkan, terjadi transformasi soal keadilan. Tidak bisa lagi ada istilah dendam atau like or dislike. Semua harus ditempatkan dalam sistem dan procedural.Pro justitia tepatnya. Para hakim, jaksa, polisi tak boleh menggunakan perasaan. Mereka harus mengikuti apa yang digariskan undang-undang. Inilah yang disebut positivisme hukum atau hukum positif. Soal faktanya dalam kasus Vina Cirebon, adanya dugaan salah tangkap para Pelaku, kegagalan menangkap Buron, menghilangkan 2 DPO karena fiktif. Itu soal lain.
Hakim berkewajiban memiliki hati nurani yang sangat baik dalam melakukan suatu persidangan. Bukankah pada hati nurani itu Tuhan bersemayam. Lantas apakah masih ada hati nurani. Kita juga tidak paham apa sebenarnya yang disebut hati nurani. Karena faktanya juga banyak kasus setelah viral memenangkan hati mayoritas publik. Pada waktu bersamaan pesakitan merasa diperlakukan tidak adil oleh rasa keadilan orang banyak. Bisa jadi keputusan itu bias. Makanya UU kita mengikat hakim tidak boleh mutlak bebas berkiblat kepada hati nurani.
Tetapi kita percaya bahwa Tuhan diatas sana adalah hakim yang terakhir, yang memastikan kebenaran diutamakan dan keadilan diagungkan. Kalau tidak bertemu di Dunia ini, ya di Akhirat. Kepercayaan itu engga ikhlas selapang hati tapi dalam galau, tak tahu persis mua gimana lagi ketika melihat kenyataan kebenaran dan keadilan di rekayasa lewat proses pro justitia…
No comments:
Post a Comment