Thursday, March 14, 2024

Derita Argentina...

 



Argentina adalah negara terbesar kedua di Amerika Latin berdasarkan wilayah dan ekonomi terbesar ketiga di kawasan ini. Selama satu abad terakhir, negara ini terombang-ambing antara pertumbuhan ekonomi dan disfungsi, dari salah satu negara terkaya di dunia menjadi negara yang terperosok dalam krisis keuangan berkepanjangan, utang besar-besaran, dan hiperinflasi. Sementara itu, warisan populisme dan pemerintahan militer membuat politik terpolarisasi.


Setelah memenangkan Pemilu, Javier Milei mulai masuk Istana pada 10 Desember 2023. Dia mewarisi inflasi tiga digit. Menurut INDEC, Argentina mengakhiri tahun 2023 dengan inflasi tahunan sebesar 211,4 persen, tingkat inflasi paling tinggi di Amerika Latin, bahkan melampaui Venezuela. 4 dari 10 warga Argentina sudah berada dalam kemiskinan akut. “ Sebenarnya 45% populasi yang masuk kelas menengah, hidup hanya dengan penghasilan USD 200 sebulan.” Kata teman di Buenos Aires. 


Dalam pidato pelantikannya , Milei memperingatkan negaranya bahwa situasi Argentina akan menjadi lebih buruk sebelum menjadi lebih baik. Inflasi kini memenggal income mereka yang punya pendapatan tetap. Upah riil turun. Daya beli akan terus turun. Tren tersebut diperkirakan akan memperlambat belanja konsumen, yang kemungkinan besar akan mengakibatkan resesi. Angka pengangguran dan kemiskinan akan bertambah. 


Langkah kebijakannya sudah tepat. Yaitu Pertama, untuk mengatasi defisit fiskal yang kronis dia memangkas belanja APBN sampai 40%, terutama belanja sosial. Semua tahu bahwa Defisit fiskal memicu ekspansi moneter bersifat inflatoir. Kedua, dia mendevaluasi mata uang sebesar 54%. Mengembalikan indepedensi bank central. Tujuannya untuk mengurangi tekanan pasar. Walau karena itu inflasi akan terkerek. Tetapi tidak ada masalah. Karena itu awal yang baik untuk berproses penyembuhan dan mendorong sektor real bangkit lewat RUU “omnibus law.”


Kalau mendengar pidatonya, sepertinya ada harapan ekonomi Argentina akan pulih. Asalkan antar kekuatan politik di Argentina satu persepsi dan tekad. Tetap bergandengan tangan. Namun karena terpolarisasi nya politik lewat partai yang banyak. Apalagi sistem negara yang berbentuk Republik Federal mudah sekali terpecah pecah dan terkotak kotak. Rakyat yang low educated mudah sekali terprovokasi. Karena kebijakannya itu, Milei harus menghadapi gelombang protes dari publik. Gelombang unjuk rasa terjadi meluas. Terutama dari gerakan kaum buruh yang merasa upah real mereka melorot lebih 50%.


Bagi Argentina, krisis sekarang ini bukan hal baru. Tetapi sudah terjadi berulang ulang. Tidak ada satupun pemimpin yang mampu mengatasinya. PDB Argetina sedikit dibawah Indonesia, yaitu USD 1,27 triliun, Indonesia USD 1,4 triliun. Namun penduduk Indonesia lebih banyak. Struktur ekonomi hampir sama dengan Indonesia. Yaitu bergantung kepada komoditas ekspor. Sementara peran Industri pada PDB hanya 17%, ya hampir sama dengan Indonesia. 


Akar masalahnya karena 80% rakyat miskin dan itu dimiskinkan oleh kebijakan populis lewat subsidi dan bansos. Sementara bagi politisi dan pemimpin, populisme itu ladang korupsi untuk mempertahankan kekuasaan mereka dan memenangkan pemilu yang sarat dengan money politic. Rakyat tidak punya mindset berproduksi secara kreatif dan tidak punya resilence melakukan perubahan. Mau sistem junta militer, atau demokrasi, sama saja hasilnya. Mental korup, baik pemimpin maupun rakyat sama sama korup.


Presiden Reagan pernah mengatakan bahwa “kita hanya perlu satu generasi lagi” untuk melakukan kerusakan jangka panjang terhadap institusi demokrasi. Dalam kasus Argentina, yang pernah menjadi salah satu negara paling makmur dan menjanjikan di dunia, beberapa generasi telah berkontribusi terhadap kerusakan tersebut. Dan generasi kini menderita tanpa hope. Warisan yang mengerikan dari kebodohan generasi sebelumnya.

No comments:

Negara puritan tidak bisa jadi negara maju.

  Anggaran dana Research and Development ( R&D) Indonesia tahun   2021 sebesar 2 miliar dollar AS, naik menjadi 8,2 miliar dollar AS (20...