Friday, January 12, 2024

LegacyJokowi: Rusak lingkungan



Tuhan tidak ciptakan bumi dua kali. Artinya anugerah kehidupan di bumi ini harus dijaga, agar terjadi pembangunan peradaban berkelanjutan. Kita menikmati kemelimpahan sumber daya pada hari ini namun cara kita memperlakukan alam dan lingkungan sangat buruk sehingga terjadi degradasi lingkungan. Itu sama saja kita mewariskan bencana kepada  generasi setelah kita, seperti menipisnya sumber daya alam, kekeringan yang sering terjadi dan intens, serta kejadian cuaca ekstrem. Bukan masa depan yang baik.  Apakah ini yang akan kita wariskan kepada anak cucu kita? kalau ya, saya rasa kita termasuk kufur nikmat. 


Apalagi situasinya sudah sangat buruk. Planet ini akan mengalami kenaikan suhu sebesar 2,7 °C pada akhir abad ini. Berdasarkan janji emisi CO2 nasional yang dibuat sebelum KTT COP26 – jauh di atas target Perjanjian Paris sebesar 1,5 °C. Kelanjutan tren ini akan mengurangi total nilai ekonomi global sebesar 10% pada tahun 2050, menurut Swiss Re. Setelah COP26 di Glasgow, banyak negara meningkatkan ambisi mereka. Namun menurut Badan Energi Internasional (IEA), janji terbaru ini masih menyisakan kesenjangan yang signifikan dalam pengurangan emisi yang diperlukan pada tahun 2030 untuk menjaga agar suhu tetap berada pada kisaran 1,5 °C. ***

Ada tiga hal yang membuat saya menyimpulkan Jokowi tidak berniat baik kepada generasi hari ini dan besok. Atau mungkin dia tidak paham akan fungsinya sebagai presiden yang disumpah melaksanakan tujuan bernegara untuk memajukan kesejahteraan umum. 


Pertama. Jokowi berkata pada november 2014. “Lahan gambut tidak boleh disepelekan, mereka harus dilindungi karena membentuk sebuah ekosistem khusus, dan tidak hanya gambut dalam yang harus dilindungi, tapi semua area gambut” Walau tahun 2019 Jokowi sudah meratorirum konsesi Hutan dan Lahan Gambut. Tidak lagi memberikan izin baru atau perpanjangan pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit, kegiatan penebangan dan pertambangan, yang diberlakukan tahun 2011. Analisis yang dilakuan Greenpeace menunjukkan bahwa sepertiga area yang terbakar di Indonesia dalam periode 2015-2018 berada di kawasan moratorium. 


Mengapa ? Moratorium hanya berupa Inpres, dan bukan regulasi yang mengikat secara hukum, proses revisi yang terus diadakan telah memungkinkan adanya celah secara diam-diam menghapus jutaan hektar hutan primer dan lahan gambut yang semestinya dilindungi dan malah menjadi terbuka untuk dieksploitasi perusahaan. Perkebunan sawit dalam kawasan hutan mencapai 3,37 juta hektar. Persoalan sawit dalam hutan ini diselesaikan melalui pemutihan. Kan konyol.


Kedua. Hilirisasi dan Industrialisasi SDA, merupakan program kebanggaan Jokowi lewat exploitasi lingkungan sebagai sumber daya mineral tambang. Periode presiden Jokowi tercatat telah memberikan penguasaan lahan konsesi seluas 11,7 juta hektar, terbanyak untuk sektor tambang. Bahkan, dari semua rezim pemerintahan sejak era Soeharto, Jokowi adalah presiden yang paling luas memberikan izin tambang. 


Dalam catatan Walhi, pertambangan nikel merupakan komoditas yang massif melakukan alih fungsi Kawasan hutan, hingga saat ini setidaknya 693.246,72 Ha Kawasan tutupan hutan di Indonesia diberikan kepada konsesi nikel. Sementara itu di Provinsi Maluku Utara. Seperti nampak di Pulau Obi, di mana pulau dengan luasan hanya 2500 km2 telah dijejali dengan 5 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan total luas konsesi 10.769,53 hektar. Secara umum, akibat pertambangan nikel telah menyebabkan hilangnya hutan alam di pulau-pulau kecil Maluku Utara.


Ketiga. Faktor utama kerusakan lingkungan adalah deforestasi dan perubahan fungsi hutan (Benett, 2017). Bahwa perubahan lahan hutan menjadi non hutan (deforestasi) akibat kegiatan manusia merupakan determinan utama penyebab terkuat terhadap degradasi lingkungan di Indonesia periode 2015-2020. Greenpeace Indonesia menyebut luasan lahan deforestasi dalam lima tahun terakhir mencapai 2,13 juta hektare (ha) atau setara dengan luas 3,5 kali luas Pulau Bali.


Data itu bukan karangan Greenpeace tetapi itu merujuk data yang dimiliki pemerintah. Jika dirinci, deforestasi terjadi di 629,2 ribu ha pada periode 2015-2016, 480 ribu ha pada periode 2016-2017, 439,4 ribu ha pada periode 2017-2018. Jika dirinci, deforestasi terjadi di 629,2 ribu ha pada periode 2015-2016, 480 ribu ha pada periode 2016-2017, 439,4 ribu ha pada periode 2017-2018. Total deforestasi selama lima tahun terakhir juga telah mencapai setengah luas deforestasi yang terjadi sepanjang 12 tahun sebelumnya (2003-2014) yakni 4,19 juta ha. 


Dalam FOLU Net Sink 2030, Indonesia tidak menargetkan deforestasi turun ke titik nol. Indonesia juga tidak menerbitkan regulasi yang melarang pembabatan hutan besar-besaran. Pemerintah masih mengizinkan deforestasi atas nama ‘pembangunan besar-besaran’ dengan skema deforestasi terencana dan deforestasi tidak terencana. Klaim kunci dalam kebijakan FOLU Net Sink 2030 bahwa pelepasan karbon dari deforestasi hutan alam dapat diganti (offset) dengan penyerapan karbon dari pembangunan hutan tanaman merupakan hal yang menyesatkan.***


So walau kita sudah merdeka sejak tahun 1945 dan membangun sejak era Soeharto, namun sampai sekarang tidak terjadi transformasi pembangunan ekonomi. Tetap mengandalkan ekstraksi SDA. Soeharto dengan program HTI ( Hutan Tanaman Industri ) dan PIR ( Perkebunan Inti Rakyat ) atau pembukaan lahan berskala besar untuk Sawit. Era SBY, maraknya penambangan batubara dan berlanjutnya perluasan kebun sawit. 


Jokowi tidak ada nyali melakukan transformasi dari ekonomi ekstraktif ke regeneratif. Andaikan selama era Jokowi kita sudah terapkan ekonomi regeneratif, yang berbasis empat nilai pengikat: (1) hubungan sejarah; (2) hubungan dengan lanskap ekologis; (3) praktik ekonomi yang tidak destruktif; dan (4) memiliki dimensi pemulihan kondisi sosial-ekologis, tentu tingkat kerusakan lingkungan rendah meskipun pada periode yang sama pertumbuhan ekonomi meningkat. Justru Jokowi terus melanjutkan program presiden sebelumnya yang utamakan pertumbuhan ekonomi lewat ekstraksi SDA agar bisa terus berhutang. Walau dia punya program transisi energi, khususnya dalam menekan karbon emisi. Ini mission impossible, dan tepatnya lip service. Kurva Kuznets yang dipelopori ekonom Simon Kuznets, mengatakan bahwa semakin tinggi pertumbuhan ekonomi, potensi kerusakan lingkungan yang akan terjadi juga semakin besar. 


Kalaulah mau jujur kerusakan lingkungan yang berdampak depletion atau berkurangnya nilai aset lingkungan dimasukan ke dalam perhitungan pertumbuhan ekonomi, saya yakin total PDB kita tidak ada artinya dengan nilai kerusakan lingkungan akibat ekstraksi pertambangan, pembukaan lahan untuk estate food, kebun sawit dan lain lain.  Artinya ketidakseimbangan lingkungan membuat manfaat ekonomi tidak sepadan dengan biaya sosial dan dana rehabilitasi yang diperlukan oleh generasi berikutnya. Jokowi mewariskan masalah yang sama buruknya seperti presiden sebelumnya.

No comments:

Menyikapi keputusan MK...

  Pasar bersikap bukan soal kemenangan prabowo -gibran. Tetapi bersikap atas proses keputusan yang dibuat oleh MK. Pasar itu jelas cerdas, l...