Thursday, January 25, 2024

Deflasi di China ?

 




Perdana Menteri Li Qiang pada Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, tahun lalu. Pada saat itu, Li menyoroti bahwa Tiongkok tidak mencapai pembangunan ekonominya melalui “stimulus besar-besaran” dan “tidak mencari pertumbuhan jangka pendek sambil mengumpulkan risiko jangka panjang.” “Sebaliknya, kami fokus pada penguatan faktor internal,” kata Li. Ungkapan Li itu bagi pasar sebagai sinyal bahwa China akan focus kepada kebijakan inward looking yang berdampak kepada terjadinya deflasi. Targa barang dan jasa jatuh ke titik teredah. Tentu memperlambat pertumbuhan.


Kemarin senin, Bank Rakyat Tiongkok mempertahankan suku bunga utama pinjaman satu tahun dan lima tahun masing-masing sebesar 3,45% dan 4,2%, sesuai dengan perkiraan. Pada umumnya orang beranggapan suku bunga ini akan mendorong tumbuhnya produksi swasta dan laju konsumsi rumah tangga. Nyatanya sejak tahun lalu kebijakan suku bunga itu tidak berdampak apapun terhadap dunia usaha, bahkan banyak pabrik berorientasi ekspor tumbang. Sebegitu kerasnya keluhan dunia usaha dan pengamat, namun Beijing tidak berkomentar apapun. Diam saja. 


Kalau anda terbiasa hidup dalam sistem demokrasi bebas, anda pasti akan anggap China tolol. Karena punya mesin produksi tetapi justru kebijakan ekonomi membuat deflasi. Tiongkok dan negara-negara lain di dunia tampaknya hidup di dua alam semesta yang berbeda. Tiongkok memangkas suku bunga untuk menghindari deflasi sementara negara-negara lain berjuang melawan inflasi. Negara lain kebanjiran uang kurang produksi. China kebanjiran barang tapi kurang uang.


Lantas apa sih sebenarnya dasar kebijakan China mengerem laju ekonominya? Sebenarnya ini bukan karena situasi global tetapi bagian dari program jangka panjang China mennuju 2050. Sejak tahun 2013 China sudah beralih ke sektor pedesaan atau ekonomi inklusif akar rumput. Yaitu memperkuat fundamental ekonomi pada akar rumput. Itu wajar saja. Karena sekian dekade kebijakan ekonomi China outward looking. Pemerintah memberikan banyak dukungan kepada BUMN, swasta besar dan menengah untuk tumbuh. 


Akibat kebijakan inward looking itu, sejak tahun 2008  revitalisasi pedesaan dimulai dan tahun 2013 selesai dilaksanakan. Sejak 2013 China secara berlahan beralih ke inward looking policy. Akibatnya inward looking itu menempeleng  keras perusahaan swasta , seperti New Oriental, DiDi Chuxing, Alibaba dan platform TI lainnya, yang  dianggap memeras usaha kecil.Terjadi migrasi penduduk kota ke desa. Alasan biaya hidup lebih murah dan peluang dapatkan uang lebih besar. Sementara Industri high tech berat maupun ringan memang terpukul. Jasa keuangan dan property juga terpukul. Tapi industri agro terbang dan menikmati pertumbuhan sangat besar. Kini uang di kota kota besar berkurang perputarannya, dan telah bergeser ke pedesaan. 


Itu terjadi by design lewat tiga kebijakan saja. Pertama, Mengurangi kredit ekspor. Kedua, peningkatan upah 10 kali lipat di zona ekonomi khusus dan ketiga, perbaikan tatan niaga agro dan industri pedesaan secara luas. Diharapkan tahun 2050, desa desa itu sudah berubah jadi kota. Sehingga China akan menjadi satu satunya negara yang sukses mengubah lanskap desa menjadi kota dan saat itu kemakmuran terjadi bagi semua.


***


Beberapa dekade lalu, penduduk desa bergantung pada menanam gandum dan jagung untuk mencari nafkah dan pendapatan bersih per kapita tahunan mereka saat itu kurang dari 3.000 yuan. Hal ini mendorong banyak pemuda desa untuk pergi ke kota sebagai pekerja migran, meninggalkan mereka yang sebagian besar lahir pada tahun 1950an dan 1960an untuk mengurus lahan pertanian.


Dalam beberapa tahun terakhir, ketika Tiongkok  memajukan revitalisasi pedesaan, hampir 120 anak muda yang lahir pada tahun 1980an dan 1990an di Desa Gengdian telah kembali dari kota dan bergabung dengan generasi petani baru. Mereka sering kali menolak subsidi dana desa. Mereka hanya focus menerapkan konsep pertanian modern, yang difasilitas pemerintah dengan adanya warehousng ecommerce market place. Pasar terjamin dan supply chain aman dari mafia broker. Tekhnologi tersedia.


Cao Youzhong 34, bekerja di kota-kota besar setelah lulus kuliah pada tahun 2010, sebelum kembali ke kampung halamannya di Provinsi Shandong, Tiongkok timur, lebih dari empat tahun lalu. Dia mengelola 3,3 hektar buah pir, enam rumah kaca sayuran, dan 11 rumah kaca anggur di sana. Dia memanen buah pir secara melimpah tahun ini, dengan pendapatan bersih 75.000 yuan (sekitar 10.550 dolar AS) per hektar. Total pendapatan bersihnya, termasuk yang dihasilkan dari sayuran dan anggur, diperkirakan mencapai 420.000 yuan tahun ini.


“Dulu saya mendapat penghasilan paling banyak 8.000 yuan sebulan saat bekerja di kota, tapi sekarang saya mendapat penghasilan lebih banyak lagi,” kata Cao. Desa kecil dengan populasi lebih dari 800 jiwa ini telah mendirikan pabrik pembibitan cerdas, koperasi buah dan sayuran, dan pabrik pengemasan dan pengolahan, serta warehouse ecommerce market place untuk meningkatkan penjualan. Industri rumah kaca yang berkembang pesat ini menghasilkan pendapatan yang besar dan kualitas hidup yang tinggi, menjadikan desa ini lebih menarik bagi kaum muda yang ingin memulai bisnis mereka sendiri.


Geng Fujian berhenti dari pekerjaannya di sebuah pabrik elektronik di pusat manufaktur Shenzhen bagian selatan dan kembali ke desa tersebut pada tahun 2010. Lewat program revitalisasi desa, membantunya mendapatkan pinjaman tanah dan bank untuk membangun rumah kaca. 


Gerakan kembali ke desa ini memang bagian tak terpisahkan dari revitalisasi desa. Ini gerakan revolusioner. Mengubah statusquo pertanian dengan paradigma baru, yaitu mindset industri. Kader partai komunis di seluruh China dilibatkan sebagai mentor bidang pertanian. Mereka secara langsung mengajari teknik bertani. Secara rutin melatih para petani muda di lahan percontohan pertanian, di mana praktik pertanian modern seperti budidaya tanpa tanah, fertigasi, dan pengatur suhu otomatis diterapkan. 


“Dengan tersedianya praktik pertanian modern, bahan dan mesin pertanian, serta lingkungan kewirausahaan pertanian yang lebih baik, para petani muda tidak perlu lagi bekerja keras seperti generasi sebelumnya,” kata Kader partai komunis.


Geng, 34 tahun, menghasilkan lebih dari 400.000 yuan dari menanam cabai tahun lalu. "Saya mendapat penghasilan lebih banyak dari menanam sayuran rumah kaca dibandingkan bekerja di pabrik. Tidak ada banyak perbedaan antara kehidupan pedesaan dan perkotaan. Terlebih lagi, saya bisa lebih dekat dengan orang tua dan anak-anak saya dan merawat mereka dengan baik," dia dikatakan. "Saya sekarang merasakan kepuasan dan kebahagiaan.”


Desa Gengdian adalah lambang upaya revitalisasi pedesaan di negara ini. Dipicu dan didorong oleh dorongan ini, sejumlah besar klaster industri khusus dan kawasan pertanian modern bermunculan di seluruh negeri, dengan banyak generasi muda yang kembali ke kampung halaman mereka – seringkali dengan modal, teknologi, dan ide-ide baru. Kegiatan inovasi dan kewirausahaan berkembang pesat di pedesaan. Selama dekade terakhir, puluhan juta orang telah kembali ke desa untuk mendirikan usaha, dan setiap entitas rata-rata menciptakan enam hingga tujuh pekerja. Sedikitnya 800 juta orang desa mendapatkan pekerjaan yang stabili berkat kehadiran mereka.

Friday, January 12, 2024

LegacyJokowi: Rusak lingkungan



Tuhan tidak ciptakan bumi dua kali. Artinya anugerah kehidupan di bumi ini harus dijaga, agar terjadi pembangunan peradaban berkelanjutan. Kita menikmati kemelimpahan sumber daya pada hari ini namun cara kita memperlakukan alam dan lingkungan sangat buruk sehingga terjadi degradasi lingkungan. Itu sama saja kita mewariskan bencana kepada  generasi setelah kita, seperti menipisnya sumber daya alam, kekeringan yang sering terjadi dan intens, serta kejadian cuaca ekstrem. Bukan masa depan yang baik.  Apakah ini yang akan kita wariskan kepada anak cucu kita? kalau ya, saya rasa kita termasuk kufur nikmat. 


Apalagi situasinya sudah sangat buruk. Planet ini akan mengalami kenaikan suhu sebesar 2,7 °C pada akhir abad ini. Berdasarkan janji emisi CO2 nasional yang dibuat sebelum KTT COP26 – jauh di atas target Perjanjian Paris sebesar 1,5 °C. Kelanjutan tren ini akan mengurangi total nilai ekonomi global sebesar 10% pada tahun 2050, menurut Swiss Re. Setelah COP26 di Glasgow, banyak negara meningkatkan ambisi mereka. Namun menurut Badan Energi Internasional (IEA), janji terbaru ini masih menyisakan kesenjangan yang signifikan dalam pengurangan emisi yang diperlukan pada tahun 2030 untuk menjaga agar suhu tetap berada pada kisaran 1,5 °C. ***

Ada tiga hal yang membuat saya menyimpulkan Jokowi tidak berniat baik kepada generasi hari ini dan besok. Atau mungkin dia tidak paham akan fungsinya sebagai presiden yang disumpah melaksanakan tujuan bernegara untuk memajukan kesejahteraan umum. 


Pertama. Jokowi berkata pada november 2014. “Lahan gambut tidak boleh disepelekan, mereka harus dilindungi karena membentuk sebuah ekosistem khusus, dan tidak hanya gambut dalam yang harus dilindungi, tapi semua area gambut” Walau tahun 2019 Jokowi sudah meratorirum konsesi Hutan dan Lahan Gambut. Tidak lagi memberikan izin baru atau perpanjangan pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit, kegiatan penebangan dan pertambangan, yang diberlakukan tahun 2011. Analisis yang dilakuan Greenpeace menunjukkan bahwa sepertiga area yang terbakar di Indonesia dalam periode 2015-2018 berada di kawasan moratorium. 


Mengapa ? Moratorium hanya berupa Inpres, dan bukan regulasi yang mengikat secara hukum, proses revisi yang terus diadakan telah memungkinkan adanya celah secara diam-diam menghapus jutaan hektar hutan primer dan lahan gambut yang semestinya dilindungi dan malah menjadi terbuka untuk dieksploitasi perusahaan. Perkebunan sawit dalam kawasan hutan mencapai 3,37 juta hektar. Persoalan sawit dalam hutan ini diselesaikan melalui pemutihan. Kan konyol.


Kedua. Hilirisasi dan Industrialisasi SDA, merupakan program kebanggaan Jokowi lewat exploitasi lingkungan sebagai sumber daya mineral tambang. Periode presiden Jokowi tercatat telah memberikan penguasaan lahan konsesi seluas 11,7 juta hektar, terbanyak untuk sektor tambang. Bahkan, dari semua rezim pemerintahan sejak era Soeharto, Jokowi adalah presiden yang paling luas memberikan izin tambang. 


Dalam catatan Walhi, pertambangan nikel merupakan komoditas yang massif melakukan alih fungsi Kawasan hutan, hingga saat ini setidaknya 693.246,72 Ha Kawasan tutupan hutan di Indonesia diberikan kepada konsesi nikel. Sementara itu di Provinsi Maluku Utara. Seperti nampak di Pulau Obi, di mana pulau dengan luasan hanya 2500 km2 telah dijejali dengan 5 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan total luas konsesi 10.769,53 hektar. Secara umum, akibat pertambangan nikel telah menyebabkan hilangnya hutan alam di pulau-pulau kecil Maluku Utara.


Ketiga. Faktor utama kerusakan lingkungan adalah deforestasi dan perubahan fungsi hutan (Benett, 2017). Bahwa perubahan lahan hutan menjadi non hutan (deforestasi) akibat kegiatan manusia merupakan determinan utama penyebab terkuat terhadap degradasi lingkungan di Indonesia periode 2015-2020. Greenpeace Indonesia menyebut luasan lahan deforestasi dalam lima tahun terakhir mencapai 2,13 juta hektare (ha) atau setara dengan luas 3,5 kali luas Pulau Bali.


Data itu bukan karangan Greenpeace tetapi itu merujuk data yang dimiliki pemerintah. Jika dirinci, deforestasi terjadi di 629,2 ribu ha pada periode 2015-2016, 480 ribu ha pada periode 2016-2017, 439,4 ribu ha pada periode 2017-2018. Jika dirinci, deforestasi terjadi di 629,2 ribu ha pada periode 2015-2016, 480 ribu ha pada periode 2016-2017, 439,4 ribu ha pada periode 2017-2018. Total deforestasi selama lima tahun terakhir juga telah mencapai setengah luas deforestasi yang terjadi sepanjang 12 tahun sebelumnya (2003-2014) yakni 4,19 juta ha. 


Dalam FOLU Net Sink 2030, Indonesia tidak menargetkan deforestasi turun ke titik nol. Indonesia juga tidak menerbitkan regulasi yang melarang pembabatan hutan besar-besaran. Pemerintah masih mengizinkan deforestasi atas nama ‘pembangunan besar-besaran’ dengan skema deforestasi terencana dan deforestasi tidak terencana. Klaim kunci dalam kebijakan FOLU Net Sink 2030 bahwa pelepasan karbon dari deforestasi hutan alam dapat diganti (offset) dengan penyerapan karbon dari pembangunan hutan tanaman merupakan hal yang menyesatkan.***


So walau kita sudah merdeka sejak tahun 1945 dan membangun sejak era Soeharto, namun sampai sekarang tidak terjadi transformasi pembangunan ekonomi. Tetap mengandalkan ekstraksi SDA. Soeharto dengan program HTI ( Hutan Tanaman Industri ) dan PIR ( Perkebunan Inti Rakyat ) atau pembukaan lahan berskala besar untuk Sawit. Era SBY, maraknya penambangan batubara dan berlanjutnya perluasan kebun sawit. 


Jokowi tidak ada nyali melakukan transformasi dari ekonomi ekstraktif ke regeneratif. Andaikan selama era Jokowi kita sudah terapkan ekonomi regeneratif, yang berbasis empat nilai pengikat: (1) hubungan sejarah; (2) hubungan dengan lanskap ekologis; (3) praktik ekonomi yang tidak destruktif; dan (4) memiliki dimensi pemulihan kondisi sosial-ekologis, tentu tingkat kerusakan lingkungan rendah meskipun pada periode yang sama pertumbuhan ekonomi meningkat. Justru Jokowi terus melanjutkan program presiden sebelumnya yang utamakan pertumbuhan ekonomi lewat ekstraksi SDA agar bisa terus berhutang. Walau dia punya program transisi energi, khususnya dalam menekan karbon emisi. Ini mission impossible, dan tepatnya lip service. Kurva Kuznets yang dipelopori ekonom Simon Kuznets, mengatakan bahwa semakin tinggi pertumbuhan ekonomi, potensi kerusakan lingkungan yang akan terjadi juga semakin besar. 


Kalaulah mau jujur kerusakan lingkungan yang berdampak depletion atau berkurangnya nilai aset lingkungan dimasukan ke dalam perhitungan pertumbuhan ekonomi, saya yakin total PDB kita tidak ada artinya dengan nilai kerusakan lingkungan akibat ekstraksi pertambangan, pembukaan lahan untuk estate food, kebun sawit dan lain lain.  Artinya ketidakseimbangan lingkungan membuat manfaat ekonomi tidak sepadan dengan biaya sosial dan dana rehabilitasi yang diperlukan oleh generasi berikutnya. Jokowi mewariskan masalah yang sama buruknya seperti presiden sebelumnya.

Wednesday, January 3, 2024

SDM Indonesia low class

 




Apa itu literasi ? Pengertian literasi adalah kemampuan membaca dan menulis, menambah pengetahuan dan keterampilan, berpikir kritis dalam memecahkan sebuah masalah, serta kemampuan berkomunikasi secara efektif yang bisa mengembangkan potensi serta partisipasi dalam masyarakat. Literasi merupakan hal yang sangat penting karena dengan literasi pikiran kita akan terbuka untuk menemukan solusi dari hal-hal yang terjadi di sekitar kita sekaligus menambah wawasan dan pengetahuan darimana pun sumbernya. Bahkan pengetahuan diluar diri kita. Dengan literasi kita tidak gampang ditipu oleh hoaks, sehingga kita lebih selektif dalam menerima informasi. 


Kalau anda sarjana tekhnik tapi tidak tertarik mempelajari di luar aspek tekhnik maka anda masih disebut dengan kemiskinan Literasi. Mengapa ? Walau anda banyak baca buku teknik tetapi persepsi anda terkooptasi dengan aspek tekhnik, nah cara anda menyampaikan pikiran anda lewat tulisan atau kata kata, tetap saja sulit dimengerti oleh mereka yang tidak paham teknik. Sebaliknya kalau ada orang yang menulis atau bicara di luar aspek teknik , anda pasti tidak berminat mendengar atau tidak paham. Artinya dengan kemiskinan literasi itu membuat anda tidak menjadi bagian dari asset komunitas. Karena berpikir sempit engga open minded. Hanya pada bidang yang anda minati saja. 


Dunia komunikasi mempelajari behavior audience. Dengsn mengetahui audience lemah literasi maka itu sangat mudah menggiring audience menjadi bigot. Caranya ? Memberikan janji kemudahan atau to Good to be true. Karena orang bigot adalah orang yang melihat dunia ini seperti kerajaan  utopia. Karena daya kritis rendah akibat miskin literasi, mereka sangat mudah menjadi korban ponzy, hoax, ilusi dan provokasi.


***

Mengapa kita tidak bisa mengeskalasi pertumbuhan Industri? Mengapa kita tidak bisa meningkatkan pertumbuhan UMKM menjadi kelas atas sehingga tax ratio kita bisa meningkat. Mengapa kita terjebak utang akibat APBN terus defisit dan kini mencatat rekor hutang terbesar sepanjang sejarah. Mengapa daya saing kita di Asia Pacific di peringkat tiga terbawah dari total 14 negara di kawasan. Mengapa ? Demikian tanya teman.


Saya katakan, membangun negara itu adalah membangun bangsa.  Prestasi pemerintah itu bukan dari bangunan phisik. Tetapi adalah manusia. Artinya pembangunan phisik itu terjadi karena kapabilitas manusianya, bukan karena utang. Lebih vulgar lagi adalah pembangunan terjadi karena surplus APBN atau adanya tabungan dari penerimaan pajak dan bagi hasil dari SDA atau dari sumber daya negara yang punya value trust mendatangkan FDI. Sejak era Soeharto sampai Jokowi hal ini tidak dipahami.


Kunci pembangunan manusia adalah pendidikan. Sistem Pendikan yang bagus, adalah  metode belajar mengajar yang  mendidik orang jadi gemar membaca dan kritis. Walau tidak sampai Sarjana tetapi itu bisa jadi modal orang untuk survival. Orang bisa membaca perubahan dan meliat peluang dari setiap kebijakan pemerintah. Orang bisa kreatif terhadap hambatan yang datang. Orang akan sulit jadi follower buta, apalagi jadi korban investasi ponzy. Karena daya kritis yang didasarkan kepada kekayaan literasi membuat mereka hidup mengandalkan akalnya dan punya daya lentur dalam bertarung dengan realitas yang penuh ketidakpastian 


Yang jadi masalah bagi bangsa Indonesia adalah kita mewarisi sistem pendidikan yang tidak mendidik orang jadi pembaharu dan visioner.  Soekarno seorang visioner hebat. Tetapi dia kehabisan kata kata membuat rakyat bersabar dalam berproses. Maklum para pembantunya lahir dari sistem pendidikan kolonial yang feodalism. Soekarno jatuh dan digantikan Soeharto. Semua menteri dan jenderal era Soeharto adalah mereka yang mengenyam pendidikan era kolonial. Mindset sentralistik dalam nuansa feodal masih melekat dan ajaran dogma sangat kental. Berikutnya lahir generasi bigot.


Dari Era Seoharto sampai era Jokowi tidak terjadi transformasi ekonomi. Itu akibat buah warisan sistem pendidikan yang ada, presiden dan menterinya tidak punya kekayaan literasi. Mereka masih mengandalkan SDA untuk ongkosi APBN. Kita tidak paham tentang hilirisasi dan supply chain, value chain. Membedakan upstream, midstream dan downstream saja salah. Makanya era Soeharto hutan habis, hasilnya kita terjebak hutang. Era reformasi  dari eksportir migas menjadi importir migas. Itu karena sains dibelakangi, terbukti Gross Expenditure on Research and Development (GERD) terendah di Asia Tenggara. Akibat miskin literasi itu maka miskin juga konsepsi berpikir. Yang terjadi adalah tumpukan utang akibat kesalahan membuat keputusan. 


Kalaupun era jokowi pembangunan infrastruktur B2B meluas, itu bukan karena mindset business as usual, tetapi karena adanya jaminan IRR dari pemerintah dan termasuk jaminan terhadap pembebasan tanah. Sehingga solusi membangun infrastruktur seharusnya B2B bergeser menjadi APBN undertaking. Lagi lagi tidak memahami konsep KPBU atau PPP. itu karena miskin literasi sehingga tidak bisa membedakan jalan Tol sebagai business model dengan Jalan umum sebagai layanan publik yang ditanggung APBN.


Sejak zaman Harto sampai era Jokowi, untuk meningkatkan daya beli rakyat dilakukan kebijakan melalui pemberian beragam subsidi, termasuk BLT. Padahal kalaulah mereka punya kekayaan literasi,  mereka seharusnya tahu bahwa daya beli itu bukan dari subsidi tetapi dari creating job dan karena nya sektor industri dan perdagangan harus dipacu. Dipacunya bukan dari insentif dan fasilitas kredit perbankan, tetapi dari perbaikan tata niaga yang berkeadilan untuk semua. Hapus rente bernuansa KKN dan oligarchi bisnis.  Perbesar anggaran R&D. 


Kegagalan Harto sampai dengan Jokowi sama. Yaitu gagal mereformasi pendidikan secara mendasar. Tapi pada era harto sampai SBY, sumber daya yang dikorban tidak sebesar Jokowi. Seharusnya Jokowi lebih peduli pada pendidikan. Mengingat anggaran sangat besar ditanganya sebagai effect kemudahan berhutang. Tapi dia menunjuk menteri pendidikan yang bukan berasal dari pendidik. Kalau berharap kejeniusan Nadiem Makarim sebagai pendiri unicorn yang sukses, itu tidak nampak dari aplikasinya. Mari lihat data.



Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 menyampaikan bahwa peringkat Indonesia naik 5-6 posisi dibanding PISA 2018. Untuk literasi membaca, peringkat Indonesia di PISA 2022 naik 5 posisi dibanding sebelumnya. Untuk literasi matematika, peringkat Indonesia di PISA 2022 juga naik 5 posisi, sedangkan untuk literasi sains naik 6 posisi. Tapi dari sisi kemampuan orang indonesia terhadap Matemika, Membaca, dan Sains terus menurun.


Pada subjek kemampuan membaca, Indonesia catatkan skor rata-rata 359, terpaut 117 poin dari skor rata-rata global di angka 476, dan turun 12 poin dari edisi sebelumnya. Selain itu, penurunan skor pada subjek ini juga jadi yang paling signifikan dalam 5 edisi terakhir. Selanjutnya pada subjek kemampuan matematika, yang menjadi topik utama pada PISA 2022, skor rata-rata Indonesia turun 13 poin menjadi 366, dari skor di edisi sebelumnya yang sebesar 379. Angka ini pun terpaut 106 poin dari skor rata-rata global. Penurunan skor rata-rata sebesar 13 poin juga dicatatkan pada subjek kemampuan sains. 


Pada PISA 2022, Indonesia memperoleh skor rata-rata 383 di subjek ini, terpaut 102 poin dari skor rata-rata global. Hasil ini kembali menyamai torehan skor pada PISA 2009. Apa artinya? dari tahun 2009 sampai sekarang tidak ada perubahan sebagaimana perubahan hebat pada proyek phisik. Makanya jangan kaget bila ekonomi tumbuh tetapi melahirkan paradox terhadap kemakmuran.  


Kalau ini tidak segera diubah dan diperbaiki maka dalam jangka panjang proyek phisik itu akan hancur lagi karena generasi 2009 -2023 lemah matematika, literasi dan sains. Mereka mudah jadi bigot dan dibohongi oleh politisi populis, seperti makan siang gratis, STNK gratis, BPJS gratis, dan tis tis. Karena mereka tidak punya literasi cukup untuk menilai yang gratis itu memperbodoh dan melemahkan daya kamandirian berkonsumsi. Membiarkan produk gagal dan terus melanjutkannya, itu akan melahirkan bencana. Camkan itu saat di bilik suara Pilpres 2024.

Bukan sistem yang salah tapi moral.

  Kita pertama kali mengadakan Pemilu tahun 1955. Kalaulah pemilu itu ongkosnya mahal. Mana pula kita negara baru berdiri bisa mengadakan pe...