Saturday, December 2, 2023

Seharusnya Jokowi…

 




Secara personal Jokowi itu orang baik dan jujur, pekerja keras. Tetapi semua kebaikannya tidak membuat dia tahu diri. Dia justru terjebak dalam ambisis kekuasaan.  Dia sukses sebagai Walikota.  Dan sukses sebagai gubernur DKI walau hanya sebentar. Itu bukan jaminan dia bisa sukses jadi presiden. Karena Walikota dibawah  koordinasi dari Gubernur dan Gubernur bekerja berdasarkan SOP dari Mendagri. Presiden beda jauh dengan walikota dan Gubernur.


Nah sebagai presiden, Jokowi itu kepala negara merangkap kepala pemerintahan.  Walau kita menganut trias politika namun tidak ada yang sesungguhnya kendalikan dia. Semua sumber daya di tangannya. Kalau dia sadar akan kekuasaan itu sangat besar. Seharusnya ring-1 nya yaitu KSP harus bukan berasal dari relawan, atau ex jenderal atau orang partai. Tetapi harus orang independent yang profesional. Berapun bayar. Yang penting mereka itu sudah teruji skill dan kompetensinya diatas rata rata menteri. 


Karena masalah negara begitu banyak. Focus aja kepada tiga hal, yaitu penegakan hukum, stabilitas fiskal dan sospol. Setiap pagi meeting dengan KSP berkaitan dengan issue issue penting sekitar tiga hal itu saja. Mengapa? kalau penegakan hukum terlaksana, investor asing dan domestik tidak ragu berinvestasi dan ekspansi dibidang infrastruktur, industri dan perdagangan. Dengan demikian stabilitas fiskal terjamin tanpa harus dikejar defisit yang ujungnya tambah utang. Masalah sospol akan otomatis mudah mengelolanya.


Soal pengawasan APBN. Engga usah sibuk turun kebawah. Efektifkan saja fungsi BPK dan BPKP. Soal korupsi, pastikan independensi KPK itu menguatkan upaya pemberantasan korupsi.. Soal anti monopoli dan persaingan usaha. Efektifkan saja fungsi KPPU. Soal penegakan peradilan pro justia, efektifkan tugas Kompolnas, KY dan KKRI. Soal bangun jalan tol ya efektifkan saja tugas BPJT.  Soal BUMN bubarkan saja menteri BUMN. Ganti dengan super holding BUMN. Efektifkan itu holding. Kawal dengan ketat mereka agar tidak terkontaminasi. Jangan biarkan parpol ikutan intervensi. Beri mereka target minimal.


Kemudian, menko bidang Ekonomi, Investasi, Polkam, Pembangunan manusia dan kebudayaan, jangan tempatkan orang partai atau terafiliasi dengan partai. Tapi tempatkan orang profesional. Mengapa? Walau menteri semua dari partai engga ada masalah. Selagi tugas koordinasi ada pada mereka yang profesional. Jokowi cukup sekali seminggu rapat dengan empat Menko itu. Focus kepada tiga hal itu saja. Engga usah keseringan rapat dengan menteri. Toh menteri sudah ada UU tupoksi masing masing. Kalau ada menteri engga capat target tiga bulanan, ya pecat.


Terus, semua ralawan bubarkan saja. Toh mereka hanya berfungsi memenangkan  pilpres. Setelah itu ya balik ke kandang masing masing. Yang tadinya ngojek ya balik ngojek. Yang tadinya dagang sembako ya balik dagang sembako,  Yang tadinya ketua LSM, ya balik ke LSM. Jangan pula diberi jabatan Komut BUMN atau menteri. Bisa kacau urusan menegement BUMN. Jangan pula anak  dan istri diberi akses kepada kekuasaan. Jadi di rumah baca buku aja atau main dengan cucu. Kalau ditanya soal kerjaan , senyum aja.


Dengan cara begitu, Jokowi seharusnya tidak perlu cawe cawe dan maksain siapa yang pantas jadi presiden berikutnya. Dia seharusnya sudah mulai siap siap pensiun tanpa beban apapun. Biarkan selanjutnya rakyat akan menilai legacy nya dan sejarah akan mencatatnya. Tapi okelah. Semua sudah terlambat. Jokowi sudah end up. Semoga presiden berikutnya bisa laksanakan metode kerja seperti saran saya itu.


Politik intimidasi.



Politik intimidasi.

Menurut sebuah survei di AS, 30% masyarakat pada tahun 1990 percaya bahwa anggota kongress mereka korup.  Kini, setelah 30 tahun kemudian, mereka tidak lagi percaya kalau ada anggota kongres bersih. Kalau ada yang ngaku bersih, itu mereka anggap seperti anekdot “ pelacur yang bersumpah masih perawan.” Itu di AS, di negara manapun sama saja.


Nah karena wakil rakyat yang dipilih langsung lewat sistem demokrasi menjadi gerombolan pecoleng, oleh Presiden terpilih lewat pemilu langsung, ini di ektraksi menjadi alat politik intimidasi. Caranya pemerintah memberikan kanal korupsi lewat program subsidi untuk DAPIL, konsesi bisnis rente, misal pembangunan infrastruktur,  konsesi bisnis impor pangan, konsesi ijin tambang dan lain lain. Pada waktu bersamaan presiden menunjuk menteri sebagai proxy partai. Sehingga hubungan antara proxy partai dan DPR terjalin mutual simbiosis.


Bukan hanya menteri menjadi proxy partai. Semua lembaga tinggi negara seperti MK, MA, BPK, KPK mereka yang duduk sebagai pejabat juga merupakan gabungan proxy presiden dan proxy partai. Mereka juga ikut terseret dalam lingkaran korupsi. Bahkan ormas besar juga terseret dalam putaran uang korupsi. Terakhir mayoritas rakyat juga dilibatkan menikmati putaran uang korupsi lewat program subsidi dan bansos. Sehingga semua stakeholder negara terjebak dalam praktek dan mindset korup.  Itulah yang terjadi di negara demokrasi, termasuk di Indonesia.


Makanya walau DPR atau MPR punya hak memakzulkan presiden, tapi hak itu tidak akan efektif bahkan omong kosong. Karena presiden hanya bisa dijatuhkan apabila dia melanggar UU atau konstitusi dan melakukan tindak kriminal. Faktanya creator UU adalah DPR yang justru ikut mengendorsed semua kebijakan presiden. Artinya tidak ada satupun kesalahan presiden yang tanpa persetujuan DPR. 


Jokowi memang hebat dalam hal ekstraksi kekuasaan itu lewat politik intimidasi. Semua partai koalisi Paslon 2 adalah mereka yang terperangkap dalam politik intimidasi. Engga ada alternatif untuk menolak“ Come with me or go to jail”  Sementara partai pendukung Paslon 1 dan Paslon 3 juga kena politik intimidasi Jokowi. Bahkan semua aparat pemerintah di pusat maupun daerah sampai lurah kena trap politik intimidasi. Apalagi pengusaha rente seperti CPO, tambang dan lain lain udah ketar ketir dalam peangkap politik intimidasi.


Makanya setiap rezim demokrasi yang sudah menjelma semacam oligarki , itu tak ubahnya dengan sistem totaliterian, bahkan lebih buruk. Ia tidak akan pernah bisa dijatuhkan secara konstitusi kecuali people power. Masalahnya people power itu perlu tokoh nasional yang jadi icon perlawanan terhadap rezim. Apa ada tokoh nasional yang diluar pemeriintah bersih secara moral? If there was, I never knew it. Jadi paslon 2 pasti menang karena politik intimidasi. Apa yang dikeluhkan itu semua hanya omong kosong. Sistem sudah kudeta Jokowi. 


No comments:

Menyikapi keputusan MK...

  Pasar bersikap bukan soal kemenangan prabowo -gibran. Tetapi bersikap atas proses keputusan yang dibuat oleh MK. Pasar itu jelas cerdas, l...