Kita harus tahu apakah paslon itu rasional dan visioner. Kita juga harus tahu karakter masing masing Paslon. Apakah dia punya nyali melakukan transformasi atau pengecut, lebih utamakan pencitraan. Dengan demikian kita bisa pelajari program masing masing Paslon. Tidak sulit untuk tahu. Apakah mereka sedang menipu kita dengan bahasa populis, yang pada gilirannya kita rakyat yang akan menanggungnya lewat kenaikan harga barang dan jasa.
APBN itu milik rakyat. Sebagian besar rakyat indonesia itu tidak lulus SMA dan sangat kecil persentase yang masuk universitas. Mereka miskin literasi. Tentu tidak paham APBN. Mudah dibegoin paslon. Saya akan menggambarkan APBN kita secara sederhana dan mudah dipahami secara idiot. Ini wajib kita pahami. Okay. Lanjut ya. APBN itu terdiri dari Pendapatan negara dan belanja negara.
Darimana saja sumber pendapatan itu ? kepabean dan cukai, PPH dan PPN,. Selain itu, Penerimaan negara bukan pajak (PNBP), berasal dari penerimaan sumber daya alam dan gas bumi (SDA migas), penerimaan sumber daya alam non-minyak bumi dan gas bumi (SDA non migas), pendapatan bagian laba BUMN. Dan Hibah.
Apa saja belanja negara?. Belanja pemerintah pusat terdiri dari belanja yang digunakan untuk membiayai kegiatan pembangunan pemerintah pusat, baik yang dilaksanakan di pusat maupun di daerah. Belanja pemerintah pusat dalam APBN antara lain belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, pembiayaan bunga utang, subsidi BBM dan subsidi non-BBM, belanja hibah, belanja sosial (termasuk penanggulangan bencana), dan belanja lainnya.
Perhatikan penjelasan diatas. Kita buat analogi agar mudah dipahami secara sederhana. Misal, katakanlah pendapatan Rp. 100.000 maka seharusnya pengeluaran juga Rp 100.000. Itu sehat. Lebih sehat lagi kalau Pendapatan Rp. 100.000. Belanja RP. 90.000. Itu artinya ada surplus Rp 10.000. Itu jempol. Patut kita puji presiden. Tetapi tahukah anda?. Sepanjang sejarah APBN era reformasi kita tidak pernah surplus. Selalu defisit. Makanya utang terus membesar, terutama era Jokowi. Utang awal dia berkuasa Rp. Rp 2,600 triliun. Kemarin Juni posisi utang kita sudah Rp7.800 triliun. Atau selama dia berkuasa nambah utang Rp. 5200 triliun. Itu sama saja utang selama Jokowi berkuasa dua kali lebih besar dari utang 6 presiden sebelummya.
Apa pasal?
Perhatikan pos belanja negara. Apa itu ? pembiayaan bunga utang, subsidi BBM dan subsidi non-BBM. Jumlah terus membesar. Setiap presiden terpilih tidak peduli berapa pendapatan negara. Anggaran subsidi BBM dan subsidi non-BBM tetap harus ada. Cara berpikir sangat politis. Engga mikir jangka panjang. Engga pernah mikir gimana restruktur APBN lewat rasionalisasi dan konsolidasi. Padahal tanpa keberanian melakukan transformasi lewat rasionalisasi APBN kita tidak punya hope di masa depan. Tapi apa hendak dikata, para elite politik dan presiden terjebak dalam pragmatisme. Karena subsidi besar itu maka wajar saja bila survey approval rating presiden diatas 70%. Itu sama saja sukses yang absurd.
Apa dampaknya?. Mari hitung sederhana. Pendapatan Rp. 100.000 sementara pengeluaran Rp. 110.000. Itu artinya defisit Rp. 10.000 atau 10% dari APBN. Biar engga kelihatan besar defisit. Maka rasio defisit ditetapkan berdasarkan PDB maksimum 3%. Sebagai catatan PDB itu hanya catatan statistik ( agregat) bukan real. Sementara defisit itu real. Uang benaran. Nah kalau PDB Rp. 500.000. Maka 3% itu sama dengan 15.000. Selanjutnya total APBN sebesar Rp. 115.000. Untuk tambal bolong APBN itu, Pemerintah ajukan utang sebesar Rp. 15.000. Utang dalam negeri lewat penerbitan SBN dan utang luar negeri terbitkan global bond dan pinjaman ke lembaga multilateral fund.
Tahukah anda. Walau APBN besar Rp. 115.000. Namun hanya sebesar Rp. 5000 itulah yang menjadi diskresi presiden untuk kerja nyata yang bisa dirasakan oleh rakyat, seperti bangun jalan negara, pelabuhan umum dan lain lain. Itu yang dimaksud dengan ruang fiskal. Bayangkan hanya Rp 5000 untuk kerja nyata. Selama kekuasaan Jokowi, ruang fiskal rata rata 3,5% dari PDB . Artinya semakin kecil ruang fiskal semakin engga kerja presiden. Atau auto pilot doang. Sampai disini paham ya.
Jadi paham ya dengan kondisi APBN tersebut, kita tidak mungkin jadi negara besar dan maju. Ruang fiskal sangat kecil. Berapapun SDA kita kuras, PPH tidak cukup menopang pendapatan. Karena nilai tambah SDA itu rendah sekali. Beda dengan Industri. Nah bayangkan kalau Paslon 1 dan 2 tetap dengan jargon serba gratis dan subsidi. Seperti era Jokowi belanja Subsidi BBM diatas 15% dari total belanja Pemerintah Pusat. Jumlanya diatas Rp. 2.500 triliun. Belum lagi belanja sosial mencapai Rp. 1200 triliun lebih dan belanja subsidi non energi mencapai Rp. 780 trilun. Itu mengalahkan anggaran untuk infrastruktur. Kan bego. Ketahuan mereka tidak niat kerja sebagai presiden. Sama seperti Jokowi. Mereka hanya numpang makan dan bergaya dari kekuasaan. Itu sama aja buang waktu dan buang bacot doang.
Apa solusinya ? Ya harus ada keberanian memangkas subsidi BBM dan subsidi non-BBM, belanja hibah, belanja sosial (tidak termasuk penanggulangan bencana), dan belanja BLT. BIla perlu hapus anggaran itu. Kalau Subsidi dikurangi atau dihapus, tentu defisit berkurang. Pada waktu bersamaan hapus rente dan buat e-budgeting untuk mandatory spending. Pajak otomatis akan meningkat. Walau tetap berhutang tapi ruang fiskal besar. Tentu besar pula kita anggarkan untuk investasi pendidikan dan LITBANG agar kita bisa melakukan transformasi ekonomi menjadi negara Industri maju dan punya kapabelitas bayar utang.
***
Di era Jokowi. Sumber daya keuangan negara itu sangat besar. Sangking besarnya, utang awal dia berkuasa Rp. Rp 2,600 triliun. Kemarin Juni 2023 posisi utang kita sudah Rp7.800 triliun. Atau selama dia berkuasa nambah utang Rp. 5200 triliun. Itu sama saja utang selama Jokowi berkuasa dua kali lebih besar dari utang 6 presiden sebelummya. Dahsyat memang.
Lantas bagaimana cara Jokowi meningkatkan sumber daya keuangan itu ? Dasarnya adalah UU No.1/2003 tentang Keuangan Negara, rasio utang Pemerintah adalah maksimal 60 persen dari PDB. Harus ingat. PDB itu hanya catatan statisik yang memuat catatan tentang underlying produksi dan pendapatan. Sementara utang adalah uang cash benaran. Artinya selagi dibawah 60% bagus saja. Kalau PDB terus meningkat tentu peluang dapatkan sumber daya keuangan lewat utang terus meningkat.
Mengapa kita mudah saja dapatkan uang pinjaman? Skema ini kalau dalam perusahaan disebut window dressing. Pemerintah lakukan pencatatan barang milik negara dengan baik dan kemudian dilakukan revaluasi. Tahun 2015 pemerintah keluarkan kebijakan keringanan pajak revaluasi aset. Contoh. Aset PLN sebelum revaluasi RP.80 triliun, Setelah revaluasi meningkat jadi Rp. 214 triliun atau hampir 3 kali lipat. Nah PDB kita dari tahun ke tahun terus meningkat. Kini tembus USD 1 trilion dollar. Kita termasuk negara USD 1 trilion atau G20. Keren ya financial engineering Jokowi.
Sebenarnya kalaulah sumber daya keuangan yang begitu besar digunakan sepenuhnya meningkatkan produksi lewat R&D, memperbaiki tata niaga bisnis dalam bidang pertanian, mineral dan tambang. Kita sudah jadi negara besar. Tetapi sumber daya keuangan negara yang begitu besar bukan diarahkan ke transformasi ekonomi industri. Justru lebih besar digunakan untuk subsidi. Mari lihat data.
Selama era Jokowi berkuasa. Subsidi BBM diatas 15% dari total belanja Pemerintah Pusat. Jumlanya diatas Rp. 2.500 triliun. Belum lagi belanja sosial mencapai Rp. 1200 triliun lebih dan belanja subsidi non energi mencapai Rp. 780 trilun. Itu mengalahkan anggaran untuk infrastruktur. Ya wajarlah 70% rakyat puas. Tetapi itu semua absurd. Racun untuk ketahanan negara dan upaya kemandirian.
Walau PDB kita meningkat, tetapi kan bayar utang tidak dengan PDB tetapi dengan uang benaran. Engga bisa bayar utang pakai cetak uang begitu aja. Ya bayarnya dari penerimaan ekspor masuknya devisa. Nah, Debt service ratio atau ratio penerimaan ekspor terhadap bayar bunga dan cicilan utang berkisar 25% hingga 30%. Artinya kalau anda jual barang. 1/4 dari penerimaan penjualan itu untuk bayar utang dan bunga. Nyesek engga?. Itu makin lama akan terus membesar selagi cara ini terus dipertahankan dan dilanjutkan. Ya seperti venezeula sebelum bangkrut.***
Fiskal Kota.
56% orang tinggal di kota. Bagaimana strategi meningkatkan kemampuan fiskal kota. Pertanyaan ini tidak ada satupun capawres yang menjawab konkrit. Mungkin mereka tidak paham apa yang dimaksud fiska berkaitan dangan APBD. Sebenarnya pertanyaan itu sangat menohok terhadap begitu banyak janji lampu aladin yang ditawarkan oleh paslon. Seakan APBN dan APBD kantong Doraemon. Mindset belanja sebagai solusi atas masalah bangsa ini sangat mengemukan. Padahal kalau kemampuan fiskal rendah, semua janji itu semua omong kosong.
Mari kita lihat data dan fakta. Menurut evaluasi BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) Indonesia pada tahun 2020, hanya ada 2 persen pemerintah daerah di Indonesia yang masuk dalam kategori mandiri dalam hal kemandirian fiskal. Sedangkan, 443 dari 503 pemda belum dapat disebut mandiri. Artinya tidak tersedia ruang fiskal bagi APBD tanpa ada subsidi dari APBN. Artinya kalau anda punya mimpi mengembangkan kota dengan kemampuan fiskal kosong maka jaji apapun yang berkaitan ekonomi dan sosial juga omong kosong.
Jadi apa jawaban yang konkrit. ?
Pertama. Karena yang dibagi ke daerah itu hanya PBB. Sedangkan PPH Badan tidak. Dampak lingkungan dan sosial yang merasakan langsung adalah daerah itu sendiri. Sementara Tren dana transfer ke daerah terus menyusut, kini tinggal hanya 38-40,1% dari APBN. Mayoritas atau 60% APBN dihabiskan pusat.
Kedua. Dampak dari rendahnya dana transfer pusat ke daerah itu membuat APBD tidak punya daya dorong lahirnya proyek inovasi untuk menghasilkan PAD
Ketiga. Sumber masalah 1 dan 2 itu ada pada pajak yang masih tersentralisasi di pusat. Selusinya adalah Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU Perimbangan Keuangan) serta Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh). Jadi harus ada revisi UU tersebut
Namun Revisi UU itu juga bukan solusi karena APBN terjebak dengan beban bunga yang tahun 2023 mencapai Rp437,4 triliun atau 19% dari totalbelanja pemerintah pusat senilai Rp2.298,2 triliun. Dan belanja bunga itu dari tahun ketahun terus meningkat, yang tentu akan mengurangi porsi transfer dana ke daerah… Jadi kesimpulannya, daerah tidak usah bermimpi akan tumbuh dan berkembang, Tentu jargon kemandirian juga omong kosong. Apalagi mimpi indonesia emas, itu ketinggian ngayalnya.***
Dana diskrisi Presiden.
Kalau anda jadi presiden. Sehebat apapun agenda anda, anda tidak duduk diatas uang dan mudah lempar semuanya. Sebagian besar APBN itu dalam bentuk mandatory spending. Apakah yang disebut dengan mandatory spending? adalah belanja atau pengeluaran negara yang sudah diatur oleh undang-undang. Tujuannya adalah untuk mengurangi masalah ketimpangan sosial dan ekonomi daerah. Mandatory spending dalam tata kelola keuangan pemerintah daerah meliputi hal-hal sebagai berikut: Alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBD sesuai amanat UUD 1945 pasal 31 ayat (4) dan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 49 ayat (1).
UU Tahun 2009 tentang Kesehatan memuat tentang mandatory spending. Besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dialokasikan minimal 10% (sepuluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji (UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan). Dana Transfer Umum (DTU) diarahkan penggunaannya, yaitu paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) untuk belanja infrastruktur daerah yang langsung terkait dengan percepatan pembangunan fasilitas pelayanan publik dan ekonomi dalam rangka meningkatkan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan, dan mengurangi kesenjangan penyediaan layanan publik antardaerah (UU APBN). Alokasi dana Desa (ADD) paling sedikit 10% dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus (UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa).
Total yang saya sebut diatas saja sudah 65% dari APBN. Terisa 35%. Pemerintah juga harus bayar bunga dan utang setiap tahun terus meningkat. Tahun ini saja sebesar 15% dari APBN. Nah tersisa hanya 20%. Sudah ? belum. Masih ada lagi Pembayaran Pinjaman Daerah dan Bunga; Bantuan Keuangan Parpol. Itu ada target persentasenya. Cukup? belum. Masih ada lagi Belanja pegawai dan belanja barang ( seperti HANKAM dan POLRI).
Nah bayangkanlah. Kalau anda jadi presiden. Lebih 90% APBN itu tidak bisa anda intervensi. Karena sudah diikat dengan UU. Makanya Jokowi kesel, barangkali. Karena dikrisi presiden terhadap anggara kecil banget. Sementara ambisinya besar untuk bangun infrastruktur dan PMN BUMN. Ya dibuatlah RUU Kesehatan. Nah setelah jadi UU, mandatory spending kesehatan ditebas dari APBN. Padahal, [menurut WHO sesuai Deklarasi Abuja tahun 2001, pemerintah disarankan mengalokasikan 15 persen dari anggaran untuk sektor kesehatan. EGP aja. Mati, tanam !
AMIN ingin kembalikan lagi mandatory spending kesehatan dengan membayar iuran BPJS. GAMA akan naikan mandatory spending untuk pendidikan. Dua paslon ini akan mengurangi diskrisi anggaran presiden. Tetapi jelas tujuannya sesuai amanah UU. Paslon 2 ? entahlah. Dia hanya beri makan siang gratis. Memang niatnya mau jadi raja sebenarnya. Tabr k UU. Salah makan obat tuh dia.
No comments:
Post a Comment