Monday, December 25, 2023

Tax Ratio ?


 


Apa itu Tax ratio ? adalah perbandingan antara penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto (PDB) dalam suatu periode waktu tertentu. Tax ratio menggambarkan berapa besarnya penerimaan pajak yang dapat dikumpulkan dari seluruh produksi barang dan jasa pada suatu negara. Berdasarkan data statistik besaran tax ratio Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir berkisar antara 8 - 11 persen, dimana kondisi tersebut merupakan salah satu capaian terendah di kawasan negara ASEAN. Apalagi bila dibandingkan dengan tax ratio negara-negara maju.


Kalau ada Paslon bawa program IT untuk meningkatkan rasio pajak. Itu sama saja jaka sembung. Engga nyambung alias bego pol. Karena itu udah dibangun oleh SMI di era Jokowi. Itu udah ada semua. Program itu hanya ngabisin anggaran bangun IT baru lagi. Peningkatan tax ratio itu bukan sekedar metode memungut untuk meningkatkan penerimaan pajak atau mengubah kelembagaan pajak, tetapi lebih penting dan utama adalah perbaikan struktur ekonomi. Saya akan menguraikan pengaruh faktor struktur ekonomi terhadap tax ratio, mengingat faktor ini kurang banyak mendapat sorotan padahal mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap tinggi rendahnya tax ratio suatu negara.


Berdasarkan data, Sektor Usaha Skala Menengah dan Besar berkontribusi lebih dari 95 persen total penerimaan pajak. Mereka umumnya sudah TBk dan mengikuti standar kepatuhan pajak oleh Pasar Modal, dipastikan 100% bayar bajak. Jumlah mereka hanya 1% dari total pelaku usaha di Indoensia. Prestasi Jokowi dalam hal menarik pajak kelas menengah dan besar  kita patut acungkan jempol.  Tidak perlu ada lagi instensikasi pajak untuk mereka. Dan tentu tidak perlu ada peningkatan tarif pajak lagi. Jadi bagaimana meningkatkan tax ratio itu?  Yang  benar dan rasional adalah memperbanyak sektor usaha yang bisa naik kelas menjadi kelas menengah atau setidaknya diatas PTKP ( penghasilan tidak kena pajak). 


Saat sekarang penerimaan pajak UMKM hanya 5% dari total penerimaan pajak. Sementara jumlah UMKM di Indonesia ada 64,2 juta atau 99,99% dari jumlah pelaku usaha di Indonesia. Kalau UMKM bisa naik kelas menjadi kelas menengah sebanyak 6,4 juta  pelaku usaha atau 10% saja, maka tax ratio otomatis akan naik. Menurut hitungan saya bisa diatas 20% tax ratio.


Mengapa ? Daya serap tenaga kerja UMKM adalah sebanyak 117 juta pekerja atau 97% dari daya serap tenaga kerja dunia usaha. Sementara itu kontribusi UMKM terhadap perekonomian nasional (PDB) sebesar 61,1%. Kalaulah 10% UMKM naik kelas, otomatis akan melewati batas PTKP dan berpotensi besar meningkatkan pajak PPH 25 Badan. Karyawannya akan bertambah yang juga berpotensi menambah penerimaan PPH-21. Dan ini akan sangat significant meningkatkan  PDB Indonesia.


Nah petanyaannya adalah mengapa sejak era Soeharto sampai Jokowi masalah kesenjangan rasio usaha UMKM dan usaha besar terus melebar dan tidak berubah secara significant. Kata orang betawi “ bisnis di Indonesia itu 4L”  Lue  Lagi Lue Lagi. Yang terus berkembang ya group itu itu aja. Hanya berubah nama dan proxy saja. Pemiliknya tetap itu itu aja. Mengapa ? Itulah yang dimaksud dengan ketidak adilan ekonomi. Bukan karena tidak ada sumber daya, tetapi karena akhlak buruk laku atau mantiko. Pemerintah malah terus undang investor asing menguras SDA dengan alasan meningkatkan penerimaan pajak dan angkatan kerja. Yang udah ada di Indonesia malah engga openin.


Gimana ngatasinya ? 


Pertama. Pemerintah harus perbaiki tata niaga antara produsen dan pedagang. Yaitu lewat sistem resi gudang. Kita sudah punya UU No. 9 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Sistem Resi Gudang. Itu sudah termasuk ekosistem financial dan bursa trading house. Sehingga UMKM tidak lagi repot soal marketing, bahan baku dan likuiditas.  Karena sistem resi gudang menjamin itu. Saya yakin, UMKM tidak perlu fasilitas modal dari negara. Mereka sangat lentur daya survivalnya walau tanpa fasilitas, Cukup terapkan dan laksanakan UU resi Gudang, selesai masalah UMKM.


Kedua. Perlindungan terhadap Unfair business. Negara sudah ada KPPU ( Komisi Pengawas Persaingan Usaha) sesuai UU No.5/1999 dan UU No.20/2008. Revisi UU itu agar lebih jelas batasan berapa persen penguasaan business itu dianggap monopoli. Setidaknya, tida ada lagi segelintir orang menguasai 90% sumber daya Minyak Goreng dan Mie. Sehingga dengan adanya penguatan KPPU itu, akan memaksa terjadinya sinergi antara yang besar dengan yang kecil. Itu cara efektif menaikkan kelas UMKM menjadi kelas menegah.


Ketiga. Semua rente yang berasal dari APBN dan non APBN berantas habis.Jangan pula diberi kanal lewat pemutihan pajak atau  pengenaan pajak lewat NIK otomatis., Jangan!. Sekali kita maklumi dan beri kanal kejahatan untuk membersihkan diri tanpa pengadilan, maka selama nya mereka akan tetap jadi krikil dalam sepatu. Akan menjadi penghambat berkembangnya UMKM dan semakin kokohnya ketidak adilan ekonomi. 


Dah gitu aja.

Monday, December 11, 2023

Paslon menawarkan lampu aladin

 




Kita harus tahu apakah paslon itu rasional  dan visioner. Kita juga harus tahu karakter masing masing Paslon. Apakah dia punya nyali melakukan transformasi atau pengecut, lebih utamakan pencitraan. Dengan demikian kita bisa pelajari program masing masing Paslon. Tidak sulit untuk tahu. Apakah mereka sedang menipu kita dengan bahasa populis,  yang pada gilirannya kita rakyat yang akan menanggungnya lewat kenaikan harga barang  dan jasa.


APBN itu milik rakyat. Sebagian besar rakyat indonesia itu tidak lulus SMA dan sangat kecil persentase yang masuk universitas. Mereka miskin literasi. Tentu tidak paham APBN. Mudah dibegoin paslon. Saya akan menggambarkan  APBN kita secara sederhana dan mudah dipahami secara idiot. Ini wajib kita pahami. Okay. Lanjut ya. APBN itu terdiri dari Pendapatan negara dan belanja negara.


Darimana saja sumber pendapatan itu ? kepabean dan cukai, PPH dan PPN,. Selain itu, Penerimaan negara bukan pajak (PNBP), berasal dari penerimaan sumber daya alam dan gas bumi (SDA migas), penerimaan sumber daya alam non-minyak bumi dan gas bumi (SDA non migas), pendapatan bagian laba BUMN. Dan Hibah.


Apa saja belanja negara?. Belanja pemerintah pusat terdiri dari belanja yang digunakan untuk membiayai kegiatan pembangunan pemerintah pusat, baik yang dilaksanakan di pusat maupun di daerah. Belanja pemerintah pusat dalam APBN antara lain belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, pembiayaan bunga utang, subsidi BBM dan subsidi non-BBM, belanja hibah, belanja sosial (termasuk penanggulangan bencana), dan belanja lainnya.


Perhatikan penjelasan diatas. Kita buat analogi agar mudah dipahami secara sederhana. Misal, katakanlah pendapatan Rp. 100.000 maka seharusnya pengeluaran juga Rp 100.000. Itu sehat. Lebih sehat lagi kalau Pendapatan Rp. 100.000. Belanja RP. 90.000. Itu artinya ada surplus Rp 10.000. Itu jempol. Patut kita puji presiden. Tetapi tahukah anda?. Sepanjang sejarah APBN era reformasi kita tidak pernah surplus. Selalu defisit. Makanya utang terus membesar, terutama era Jokowi. Utang awal dia berkuasa Rp. Rp 2,600 triliun. Kemarin Juni posisi utang kita sudah Rp7.800 triliun. Atau selama dia berkuasa nambah utang Rp. 5200 triliun. Itu sama saja utang selama Jokowi berkuasa dua kali lebih besar dari utang 6 presiden sebelummya.


Apa pasal? 


Perhatikan pos belanja negara. Apa itu ? pembiayaan bunga utang, subsidi BBM dan subsidi non-BBM. Jumlah terus membesar. Setiap presiden terpilih tidak peduli berapa pendapatan negara. Anggaran subsidi BBM dan subsidi non-BBM tetap harus ada. Cara berpikir sangat politis. Engga mikir jangka panjang. Engga pernah mikir gimana restruktur APBN lewat rasionalisasi dan konsolidasi. Padahal tanpa keberanian melakukan transformasi lewat rasionalisasi APBN kita tidak punya hope di masa depan. Tapi apa hendak dikata, para elite politik dan presiden terjebak dalam pragmatisme. Karena subsidi besar itu maka wajar saja bila survey approval rating presiden diatas 70%. Itu sama saja sukses yang absurd.


Apa dampaknya?. Mari hitung sederhana. Pendapatan Rp. 100.000 sementara pengeluaran Rp. 110.000. Itu artinya defisit Rp. 10.000 atau 10% dari APBN. Biar engga kelihatan besar defisit. Maka rasio  defisit ditetapkan berdasarkan PDB maksimum 3%.  Sebagai catatan PDB itu hanya catatan statistik ( agregat) bukan real. Sementara defisit itu real. Uang benaran. Nah kalau PDB Rp. 500.000. Maka 3% itu sama dengan 15.000. Selanjutnya  total APBN sebesar Rp. 115.000. Untuk tambal bolong APBN itu, Pemerintah ajukan utang sebesar Rp. 15.000. Utang dalam negeri lewat penerbitan SBN dan utang luar negeri terbitkan global bond dan pinjaman ke lembaga multilateral fund.


Tahukah anda.  Walau APBN besar Rp. 115.000. Namun hanya sebesar Rp. 5000 itulah yang menjadi diskresi presiden untuk kerja nyata yang bisa dirasakan oleh rakyat, seperti bangun jalan negara, pelabuhan umum dan lain lain.  Itu yang dimaksud dengan ruang fiskal. Bayangkan hanya Rp 5000  untuk kerja nyata.   Selama kekuasaan Jokowi,  ruang fiskal rata rata 3,5% dari PDB . Artinya semakin kecil ruang fiskal semakin engga kerja presiden. Atau auto pilot doang. Sampai disini paham ya.


Jadi paham ya dengan kondisi APBN tersebut,  kita tidak mungkin jadi negara besar dan maju. Ruang fiskal sangat kecil. Berapapun SDA kita kuras, PPH tidak cukup menopang pendapatan. Karena nilai tambah SDA itu rendah sekali. Beda dengan Industri. Nah bayangkan kalau Paslon 1 dan 2  tetap dengan jargon serba gratis dan subsidi. Seperti era Jokowi belanja Subsidi BBM  diatas 15% dari total belanja Pemerintah Pusat. Jumlanya diatas Rp. 2.500 triliun. Belum lagi belanja sosial mencapai Rp. 1200 triliun lebih dan belanja subsidi non energi mencapai Rp. 780 trilun.  Itu mengalahkan anggaran untuk infrastruktur. Kan bego. Ketahuan mereka tidak niat kerja sebagai presiden.  Sama seperti Jokowi.   Mereka hanya numpang makan dan bergaya dari kekuasaan. Itu sama aja buang waktu dan buang bacot doang.


Apa solusinya ? Ya harus ada keberanian memangkas subsidi BBM dan subsidi non-BBM, belanja hibah, belanja sosial (tidak termasuk penanggulangan bencana), dan belanja BLT. BIla perlu hapus anggaran itu.  Kalau Subsidi dikurangi atau dihapus, tentu defisit berkurang. Pada waktu bersamaan hapus rente dan buat e-budgeting untuk mandatory spending. Pajak otomatis akan meningkat. Walau tetap berhutang tapi ruang fiskal besar. Tentu besar pula kita anggarkan untuk investasi pendidikan dan LITBANG agar kita bisa melakukan transformasi ekonomi menjadi negara Industri maju dan punya kapabelitas bayar utang.


***

Di era Jokowi. Sumber daya keuangan negara itu sangat besar. Sangking besarnya, utang awal dia berkuasa Rp. Rp 2,600 triliun. Kemarin Juni 2023 posisi utang kita sudah Rp7.800 triliun. Atau selama dia berkuasa nambah utang Rp. 5200 triliun. Itu sama saja utang selama Jokowi berkuasa dua kali lebih besar dari utang 6 presiden sebelummya. Dahsyat memang. 


Lantas bagaimana cara Jokowi meningkatkan sumber daya keuangan itu ? Dasarnya adalah UU No.1/2003 tentang Keuangan Negara, rasio utang Pemerintah adalah maksimal 60 persen dari PDB. Harus ingat. PDB itu hanya catatan statisik yang memuat catatan tentang underlying produksi dan pendapatan. Sementara utang adalah uang cash benaran. Artinya selagi dibawah 60% bagus saja. Kalau PDB terus meningkat tentu peluang dapatkan sumber daya keuangan lewat utang terus meningkat.


Mengapa kita mudah saja dapatkan uang pinjaman? Skema ini kalau dalam perusahaan disebut window dressing. Pemerintah lakukan pencatatan barang milik negara dengan baik dan kemudian dilakukan revaluasi. Tahun 2015 pemerintah keluarkan kebijakan keringanan pajak revaluasi aset. Contoh. Aset PLN sebelum revaluasi RP.80 triliun, Setelah revaluasi meningkat jadi Rp. 214 triliun atau hampir 3 kali lipat. Nah PDB kita dari tahun ke tahun terus meningkat. Kini tembus USD 1 trilion dollar. Kita termasuk negara USD 1 trilion atau G20. Keren ya financial engineering Jokowi.


Sebenarnya kalaulah sumber daya keuangan yang begitu besar digunakan sepenuhnya meningkatkan produksi lewat R&D, memperbaiki tata niaga bisnis dalam bidang pertanian, mineral dan tambang. Kita sudah jadi negara besar. Tetapi sumber daya keuangan negara yang begitu besar bukan diarahkan ke transformasi ekonomi industri. Justru lebih besar digunakan untuk subsidi. Mari lihat data.


Selama era Jokowi berkuasa. Subsidi BBM  diatas 15% dari total belanja Pemerintah Pusat. Jumlanya diatas Rp. 2.500 triliun. Belum lagi belanja sosial mencapai Rp. 1200 triliun lebih dan belanja subsidi non energi mencapai Rp. 780 trilun.  Itu mengalahkan anggaran untuk infrastruktur. Ya wajarlah 70% rakyat puas.  Tetapi itu semua absurd. Racun untuk ketahanan negara dan upaya kemandirian. 


Walau PDB kita meningkat, tetapi kan bayar utang tidak dengan PDB tetapi dengan uang benaran. Engga bisa bayar utang pakai cetak uang begitu aja. Ya bayarnya dari penerimaan ekspor masuknya devisa. Nah, Debt service ratio atau ratio penerimaan ekspor terhadap bayar bunga dan cicilan utang berkisar  25% hingga 30%. Artinya kalau anda jual barang. 1/4 dari penerimaan penjualan itu untuk bayar utang dan bunga. Nyesek engga?. Itu makin lama akan terus membesar selagi cara ini terus dipertahankan dan dilanjutkan. Ya seperti venezeula sebelum bangkrut.***


Fiskal Kota.


56% orang tinggal di kota. Bagaimana strategi meningkatkan kemampuan fiskal kota. Pertanyaan ini tidak ada satupun capawres yang menjawab konkrit. Mungkin mereka tidak paham apa yang dimaksud fiska berkaitan dangan APBD. Sebenarnya pertanyaan itu sangat menohok terhadap begitu banyak janji lampu aladin yang ditawarkan oleh paslon. Seakan APBN dan APBD kantong Doraemon. Mindset belanja sebagai solusi atas masalah bangsa ini sangat mengemukan. Padahal kalau kemampuan fiskal rendah, semua janji itu semua omong kosong.


Mari kita lihat data dan fakta. Menurut evaluasi BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) Indonesia pada tahun 2020, hanya ada 2 persen pemerintah daerah di Indonesia yang masuk dalam kategori mandiri dalam hal kemandirian fiskal. Sedangkan, 443 dari 503 pemda belum dapat disebut mandiri. Artinya tidak tersedia ruang fiskal bagi APBD tanpa ada subsidi dari APBN. Artinya kalau anda punya mimpi mengembangkan kota dengan kemampuan fiskal kosong maka jaji apapun yang berkaitan ekonomi dan sosial juga omong kosong.


Jadi apa jawaban yang konkrit. ?


Pertama. Karena yang  dibagi ke daerah itu hanya PBB. Sedangkan PPH Badan tidak. Dampak lingkungan dan sosial yang merasakan langsung adalah daerah itu sendiri. Sementara Tren dana transfer ke daerah terus menyusut, kini tinggal hanya 38-40,1% dari APBN. Mayoritas atau 60% APBN dihabiskan pusat.


Kedua. Dampak dari rendahnya dana transfer pusat ke daerah itu membuat APBD tidak punya daya dorong lahirnya proyek inovasi untuk menghasilkan PAD


Ketiga. Sumber masalah 1 dan 2 itu ada pada pajak yang masih tersentralisasi di pusat. Selusinya adalah Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU Perimbangan Keuangan) serta Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh). Jadi harus ada revisi UU tersebut 


Namun  Revisi UU itu juga bukan solusi karena APBN terjebak dengan beban bunga yang tahun 2023 mencapai  Rp437,4 triliun atau 19% dari totalbelanja pemerintah pusat senilai Rp2.298,2 triliun. Dan belanja bunga itu dari tahun ketahun terus meningkat, yang tentu akan mengurangi porsi transfer dana ke daerah… Jadi kesimpulannya, daerah tidak usah bermimpi akan tumbuh  dan berkembang, Tentu jargon kemandirian juga omong kosong. Apalagi mimpi indonesia emas, itu ketinggian ngayalnya.***

Dana diskrisi Presiden.


Kalau anda jadi presiden. Sehebat apapun agenda anda, anda tidak duduk diatas uang dan mudah lempar semuanya. Sebagian besar APBN itu dalam bentuk mandatory spending. Apakah yang disebut dengan mandatory spending? adalah belanja atau pengeluaran negara yang sudah diatur oleh undang-undang. Tujuannya adalah untuk mengurangi masalah ketimpangan sosial dan ekonomi daerah. Mandatory spending dalam tata kelola keuangan pemerintah daerah meliputi hal-hal sebagai berikut: Alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBD sesuai amanat UUD 1945 pasal 31 ayat (4) dan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 49 ayat (1).


UU Tahun 2009 tentang Kesehatan memuat tentang mandatory spending. Besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dialokasikan minimal 10% (sepuluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji (UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan). Dana Transfer Umum (DTU) diarahkan penggunaannya, yaitu paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) untuk belanja infrastruktur daerah yang langsung terkait dengan percepatan pembangunan fasilitas pelayanan publik dan ekonomi dalam rangka meningkatkan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan, dan mengurangi kesenjangan penyediaan layanan publik antardaerah (UU APBN). Alokasi dana Desa (ADD) paling sedikit 10% dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus (UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa).


Total yang saya sebut diatas saja sudah 65% dari APBN. Terisa 35%. Pemerintah juga harus bayar bunga dan utang setiap tahun terus meningkat. Tahun ini saja sebesar 15% dari APBN. Nah tersisa hanya 20%. Sudah ? belum. Masih ada lagi Pembayaran Pinjaman Daerah dan Bunga; Bantuan Keuangan Parpol. Itu ada target persentasenya. Cukup? belum. Masih ada lagi Belanja pegawai dan belanja barang ( seperti HANKAM dan POLRI).


Nah bayangkanlah. Kalau anda jadi presiden. Lebih 90% APBN itu tidak bisa anda intervensi. Karena sudah diikat dengan UU. Makanya Jokowi kesel, barangkali. Karena dikrisi presiden terhadap anggara kecil banget. Sementara ambisinya besar untuk bangun infrastruktur dan PMN BUMN. Ya dibuatlah RUU Kesehatan. Nah setelah jadi UU, mandatory spending kesehatan ditebas dari APBN. Padahal, [menurut WHO sesuai Deklarasi Abuja tahun 2001, pemerintah disarankan mengalokasikan 15 persen dari anggaran untuk sektor kesehatan. EGP aja. Mati, tanam !


AMIN ingin kembalikan lagi mandatory spending kesehatan dengan membayar iuran BPJS. GAMA akan naikan mandatory spending untuk pendidikan. Dua paslon ini akan mengurangi diskrisi anggaran presiden. Tetapi jelas tujuannya sesuai amanah UU. Paslon 2 ? entahlah. Dia hanya beri makan siang gratis. Memang niatnya mau jadi raja sebenarnya. Tabr k UU. Salah makan obat tuh dia.

Saturday, December 2, 2023

Seharusnya Jokowi…

 




Secara personal Jokowi itu orang baik dan jujur, pekerja keras. Tetapi semua kebaikannya tidak membuat dia tahu diri. Dia justru terjebak dalam ambisis kekuasaan.  Dia sukses sebagai Walikota.  Dan sukses sebagai gubernur DKI walau hanya sebentar. Itu bukan jaminan dia bisa sukses jadi presiden. Karena Walikota dibawah  koordinasi dari Gubernur dan Gubernur bekerja berdasarkan SOP dari Mendagri. Presiden beda jauh dengan walikota dan Gubernur.


Nah sebagai presiden, Jokowi itu kepala negara merangkap kepala pemerintahan.  Walau kita menganut trias politika namun tidak ada yang sesungguhnya kendalikan dia. Semua sumber daya di tangannya. Kalau dia sadar akan kekuasaan itu sangat besar. Seharusnya ring-1 nya yaitu KSP harus bukan berasal dari relawan, atau ex jenderal atau orang partai. Tetapi harus orang independent yang profesional. Berapun bayar. Yang penting mereka itu sudah teruji skill dan kompetensinya diatas rata rata menteri. 


Karena masalah negara begitu banyak. Focus aja kepada tiga hal, yaitu penegakan hukum, stabilitas fiskal dan sospol. Setiap pagi meeting dengan KSP berkaitan dengan issue issue penting sekitar tiga hal itu saja. Mengapa? kalau penegakan hukum terlaksana, investor asing dan domestik tidak ragu berinvestasi dan ekspansi dibidang infrastruktur, industri dan perdagangan. Dengan demikian stabilitas fiskal terjamin tanpa harus dikejar defisit yang ujungnya tambah utang. Masalah sospol akan otomatis mudah mengelolanya.


Soal pengawasan APBN. Engga usah sibuk turun kebawah. Efektifkan saja fungsi BPK dan BPKP. Soal korupsi, pastikan independensi KPK itu menguatkan upaya pemberantasan korupsi.. Soal anti monopoli dan persaingan usaha. Efektifkan saja fungsi KPPU. Soal penegakan peradilan pro justia, efektifkan tugas Kompolnas, KY dan KKRI. Soal bangun jalan tol ya efektifkan saja tugas BPJT.  Soal BUMN bubarkan saja menteri BUMN. Ganti dengan super holding BUMN. Efektifkan itu holding. Kawal dengan ketat mereka agar tidak terkontaminasi. Jangan biarkan parpol ikutan intervensi. Beri mereka target minimal.


Kemudian, menko bidang Ekonomi, Investasi, Polkam, Pembangunan manusia dan kebudayaan, jangan tempatkan orang partai atau terafiliasi dengan partai. Tapi tempatkan orang profesional. Mengapa? Walau menteri semua dari partai engga ada masalah. Selagi tugas koordinasi ada pada mereka yang profesional. Jokowi cukup sekali seminggu rapat dengan empat Menko itu. Focus kepada tiga hal itu saja. Engga usah keseringan rapat dengan menteri. Toh menteri sudah ada UU tupoksi masing masing. Kalau ada menteri engga capat target tiga bulanan, ya pecat.


Terus, semua ralawan bubarkan saja. Toh mereka hanya berfungsi memenangkan  pilpres. Setelah itu ya balik ke kandang masing masing. Yang tadinya ngojek ya balik ngojek. Yang tadinya dagang sembako ya balik dagang sembako,  Yang tadinya ketua LSM, ya balik ke LSM. Jangan pula diberi jabatan Komut BUMN atau menteri. Bisa kacau urusan menegement BUMN. Jangan pula anak  dan istri diberi akses kepada kekuasaan. Jadi di rumah baca buku aja atau main dengan cucu. Kalau ditanya soal kerjaan , senyum aja.


Dengan cara begitu, Jokowi seharusnya tidak perlu cawe cawe dan maksain siapa yang pantas jadi presiden berikutnya. Dia seharusnya sudah mulai siap siap pensiun tanpa beban apapun. Biarkan selanjutnya rakyat akan menilai legacy nya dan sejarah akan mencatatnya. Tapi okelah. Semua sudah terlambat. Jokowi sudah end up. Semoga presiden berikutnya bisa laksanakan metode kerja seperti saran saya itu.


Politik intimidasi.



Politik intimidasi.

Menurut sebuah survei di AS, 30% masyarakat pada tahun 1990 percaya bahwa anggota kongress mereka korup.  Kini, setelah 30 tahun kemudian, mereka tidak lagi percaya kalau ada anggota kongres bersih. Kalau ada yang ngaku bersih, itu mereka anggap seperti anekdot “ pelacur yang bersumpah masih perawan.” Itu di AS, di negara manapun sama saja.


Nah karena wakil rakyat yang dipilih langsung lewat sistem demokrasi menjadi gerombolan pecoleng, oleh Presiden terpilih lewat pemilu langsung, ini di ektraksi menjadi alat politik intimidasi. Caranya pemerintah memberikan kanal korupsi lewat program subsidi untuk DAPIL, konsesi bisnis rente, misal pembangunan infrastruktur,  konsesi bisnis impor pangan, konsesi ijin tambang dan lain lain. Pada waktu bersamaan presiden menunjuk menteri sebagai proxy partai. Sehingga hubungan antara proxy partai dan DPR terjalin mutual simbiosis.


Bukan hanya menteri menjadi proxy partai. Semua lembaga tinggi negara seperti MK, MA, BPK, KPK mereka yang duduk sebagai pejabat juga merupakan gabungan proxy presiden dan proxy partai. Mereka juga ikut terseret dalam lingkaran korupsi. Bahkan ormas besar juga terseret dalam putaran uang korupsi. Terakhir mayoritas rakyat juga dilibatkan menikmati putaran uang korupsi lewat program subsidi dan bansos. Sehingga semua stakeholder negara terjebak dalam praktek dan mindset korup.  Itulah yang terjadi di negara demokrasi, termasuk di Indonesia.


Makanya walau DPR atau MPR punya hak memakzulkan presiden, tapi hak itu tidak akan efektif bahkan omong kosong. Karena presiden hanya bisa dijatuhkan apabila dia melanggar UU atau konstitusi dan melakukan tindak kriminal. Faktanya creator UU adalah DPR yang justru ikut mengendorsed semua kebijakan presiden. Artinya tidak ada satupun kesalahan presiden yang tanpa persetujuan DPR. 


Jokowi memang hebat dalam hal ekstraksi kekuasaan itu lewat politik intimidasi. Semua partai koalisi Paslon 2 adalah mereka yang terperangkap dalam politik intimidasi. Engga ada alternatif untuk menolak“ Come with me or go to jail”  Sementara partai pendukung Paslon 1 dan Paslon 3 juga kena politik intimidasi Jokowi. Bahkan semua aparat pemerintah di pusat maupun daerah sampai lurah kena trap politik intimidasi. Apalagi pengusaha rente seperti CPO, tambang dan lain lain udah ketar ketir dalam peangkap politik intimidasi.


Makanya setiap rezim demokrasi yang sudah menjelma semacam oligarki , itu tak ubahnya dengan sistem totaliterian, bahkan lebih buruk. Ia tidak akan pernah bisa dijatuhkan secara konstitusi kecuali people power. Masalahnya people power itu perlu tokoh nasional yang jadi icon perlawanan terhadap rezim. Apa ada tokoh nasional yang diluar pemeriintah bersih secara moral? If there was, I never knew it. Jadi paslon 2 pasti menang karena politik intimidasi. Apa yang dikeluhkan itu semua hanya omong kosong. Sistem sudah kudeta Jokowi. 


Bukan sistem yang salah tapi moral.

  Kita pertama kali mengadakan Pemilu tahun 1955. Kalaulah pemilu itu ongkosnya mahal. Mana pula kita negara baru berdiri bisa mengadakan pe...