Tuesday, September 5, 2023

Tranformasi politik

 


Mengapa sampai PKB bergabung kepada Nasdem? Apakah karena ambisi Muhaimin yang ingin jadi Capres? Pertanyaan ini mengingatkan saya paska pemilu 2019. Saya bertemu dengan teman yang juga elite politik. “ Ada silent operation yang sedang berusaha mempersatukan islam konservatif dengan islam tradisional. Tentu perekatnya tetap saja kaum nasionalis.  “ Katanya. Saat itu saya tidak sempat mikir terlalu jauh. Karena saya anggap upaya itu terlalu utopia. Tapi kata kata itu menjadi tantangan tersendiri bagi saya untuk mengexplorer nya.


Saya tahu di Era reformasi, Edi Sudrajat yang representasi TNI tersingkir dalam Munas Golkar tahun 1999. Kemudian TNI melalui operasi intelijen mendukung berdirinya PKB, PAN, dan PKS. Tujuannya membuat keseimbangan terhadap Golkar. Arsitek nya adalah SBY, yang menginginkan ada keseimbangan terhadap pengaruh Golkar yang berubah jadi Partai. Namun setelah disahkannya UU pemilu 2003, oleh SBY golongan islam itu dia kapitalisasi sendiri untuk kepentingannya.  Diapun menang terhadap PDIP yang pernah unggul pada pemilu 1999.


Di era SBY, koalisi partai islam ( PPP, PKB, PKS, PAN ) dan partai  pragmatis  ( Golkar, PD dll ) berkuasa. Prinsip nasionalism diabaikan. Saat itulah TNI mendukung bangkitnya PDIP sebagai penyeimbang. Mengakiri kekuasaan SBY, PDIP jadi pemenang pemilu. Jokowi berkuasa. Nah diera Jokowi sebenarnya terjadi restruktur politik secara significan. itu bukan oleh Jokowi tapi oleh PDIP. Tujuannya mengembalikan kepada empat pilar politik, NKRI, Pancasila dan UUD 45, Bhineka tunggal Ika.


Era pertama Jokowi era mengeruhkan air dikolam untuk menangkap ikan dan kemudian pada periode kedua mulai menjernihkan kolam lewat restruktur dan merger politik sekterian  dan nasionalis lewat rekayasa kekuasaan. Mulailah gelombang merger terjadi secara perlahan namun kearah bandul yang  dinginkan. Prabowo  menampung golongan islam moderat seperti PAN, PKB dan Gelora, PBB. PDIP menampung PPP. 


Dan Nasdem menampung PKS. Namun peran PD sangat besar. Maklum SBY itu arsitek dari TNI yang pernah bertugas modernisasi partai islam paska reformasi. Ini dikawatirkan akan memberikan peluang bagi SBY untuk mengkapitaliasi golongan islam. Maka ditarik jugalah PKB untuk penyeimbang. Maklum PKB sejak lepas dari Gus Dur lebih patuh kepada Kiayai dan kiyai itu hubungannya dengan TNI sangat dekat. Jadi kesediaan Muhaimin menjadi wakil Anies sebenarnya adalah kehendak elite NU sendiri..untuk apa ? ya penyeimbang.


Setelah itu, mulai orkestra dimainkan.  Kubu koalisi Prabowo mulai mengarahkan wakilnya dari unsur luar jawa. Ini bisa saja mengarah kepada Eric atau Yusril.  Ini tak lepas dari rekayasa kekuasaan agar tidak ada lagi sekat karena suku dan agama. Ya politik pluralisme.   Nah bagaimana dengan PDIP? karena PDIP bagian dari king maker dan Jokowi sebagai fronter tentu last to minute akan menentukan cawapres Ganjar. Arahnya jelas, yaitu pollitik pluralisme. 


Walau kita telah merdeka sejak tahun 1945, namun sebenarnya kita baru merdeka dalam arti  sesungguhnya setelah adanya UU Pemilu tahun 2003. Tentu usia yang relatif masih sangat muda. Tapi proses itu begerak cepat dan menempatkan kita negara yang kini termasuk sangat flexible menghadapi resesi global dan tetap  cool ditengah konfllik Laut China Selatan antara China dan AS. 

Setelah pemilu 2024 siapapun yang tampil sebagai pemenang, saya yakin masalah transformasi  politik sudah dianggap selesai. Engga ada lagi cebong kampret. Tidak ada indentitas selain indonesia. Selanjutnya kita masuk ke transformasi ekonomi dari tradisional ke industrialisasi. Tahun 2045 kita bisa saja jadi negara hebat. Jadi boleh dong saya berharap cucu saya kelak bisa jadi presiden RI.

No comments:

Menyikapi keputusan MK...

  Pasar bersikap bukan soal kemenangan prabowo -gibran. Tetapi bersikap atas proses keputusan yang dibuat oleh MK. Pasar itu jelas cerdas, l...