Thursday, April 6, 2023

Politik Identitas : Israel dan Pelastina

 





Teman saya orang Yahudi pernah mengatakan bahwa dia tidak suka dengan Netanyahu ( PM Israel ) yang sengaja menjual nama Yahudi untuk keuntungan Politik pragmatis, terutama memenangkan pemilu. Usai perang dunia kedua. Semua negara sadar bahwa perang terjadi dari waktu ke waktu karena adanya politik identitas. Demi membentuk tatanan dunia baru, maka tahun 1946, atas usulan dari UN Economic and Social Council dibentuklah Komisi Hak Asasi Manusia PBB. Setelah itu, PBB melihat persoalan Yahudi dari kacamata HAM. Salah satu dari resolusi HAM PBB adalah anti diskriminasi. 


Pada tahun 1946, Komite Penyelidikan Anglo-Amerika menyimpulkan bahwa permintaan akan “Negara Yahudi” bukanlah bagian dari kewajiban Deklarasi Balfour atau Mandat Inggris. Artinya kalau etnis Yahudi mengclaim Deklarasi Balfour sebagai alasan berdirinya negara yahudi, itu jelas tidak berdasar. 


“ Kalau akhirnya tahun 1948 berdiri Negara israel di Palestina, itu bukan berarti rumah bagi orang Yahudi. Itu bukan Negara Yahudi khusus untuk Yahudi. Tapi juga rumah bagi orang Arab dan lainnya termasuk Yahudi. Makanya sistem negara bukan teokrasi tapi demokrasi. Walau sistem itu ditentang oleh sebagian elite Yahudi  khususnya mereka yang tergabung dalam gerakan zeonisme. Namun mereka tidak punya piliha lain.  Karena berdirinya negara israel berkat lobi etnis yahudi di AS yang memang tidak berniat mendirikan negara yahudi. ” Kata teman Yahudi.


Namun proses berdirinya negara Israel itu disikapi dengan paranoid orang Arab. Mereka masih punya stigma bahwa israel itu adalah negara yahudi. Lebih jauh lagi adalah negara berdiri atas dasar politik identitas, yaitu yahudi. Maklum saja. Persepsi ini terbentuk sejak Kongres Zionis Pertama di Basel pada tahun 1897, ketika kaum Zionis berusaha untuk “mendirikan rumah bagi orang-orang Yahudi”. Selanjutnya Organisasi Zionis pada awalnya lebih suka menggunakan deskripsi "tanah air Yahudi" atau "Persemakmuran Yahudi”


Tapi sebenarnya banyak pemimpin Zionis perintis, seperti Judah Magnes dan Martin Buber juga menghindari istilah "Negara Yahudi", dan lebih memilih konsep negara pluralis yang demokratis. Umumnya yang punya persepsi semacam itu adalah Yahudi moderat. Mereka banyak tinggal di AS. 10 orang Yahudi di AS hanya 1 yang ortodok. Sementara di Palestina sendiri dari 5 orang yahudi, 1 adalah ortodok. Yang ortodok ini memang punya ambisi mendirikan negara Yahudi. Tapi mereka sendiri minoritas diantara 15 juta etnis Yahudi 


Bagaimana dengan Perang Arab-Israel tahun 1948? Tanya saya.  “Sebenarnya dipicu oleh politik identitas Islam di negara di wilayah Arab. Maklum saat itu mereka sedang membangun narasi Pan Islamic. Bagi AS sebagai penyokong PBB, menyadari bahwa narasi politik Islam adalah benih baru dari politik identitas yang jelas melanggar HAM PBB. Makanya perang tahun 1948 Arab Israel sebenarnya perang antara Arab - AS. Yang akhirnya dimenangkan dengan mudah oleh israel. Tujuan AS ya membela HAM. Bukan bela berdirinya negara Yahudi” Kata teman Yahudi.


Namun hari ini, tuntutan untuk sebuah "Negara Yahudi" dari politisi Israel tumbuh tanpa memikirkan implikasi hukumnya. Dan jelas melanggar konsesus HAM PBB. Karena pasti rasis. " Selama bertahun tahun politisi Israel sengaja berbicara atas nama Yahudi. Sebenarnya mereka berbicara tidak atas dasar konstitusi Israel. Itu hanya retorika partai Likud yang ingin berkuasa lewat politik identitas ( yahudi). Makum di Knesset (Parlement) israel hanya 20% yang non yahudi. Tentu sudah bisa ditebak. Setiap pemilu yang mengemuka soal politik identitas. Bukan program. Tujuannya disamping menang mudah dalam pemilu, juga efektif menarik donasi dari etnis Yahudi dimana saja berada." Kata teman Yahudi.


Yang jadi masalah. Retorika politik para elite Yahudi di Israel menjadikan alasan politik Negara Yahudi untuk menganeksasi seluruh Yerusalem, Timur dan Barat, dan menyebut Yerusalem sebagai “ibukota abadi dan tak terbagi’. Ini jelas bukan hanya berhadapan dengan rakyat Pelestina tapi juga dengan umat Kristen dan Islam. Dimana bagi kedua agama tersebut, Yarusalem adalah kota suci mereka. Kan engga bisa dikuasai sendiri oleh Yahudi. 


Namun ketika masuk ke perundingan, Israel tak mau menaati Resolusi PBB 242 dan 338 yang mengharuskan mereka keluar dari wilayah pendudukan di Gaza, Tepi Barat, dan Dataran Tinggi Golan. Itu karena israel mendapat dukungan dari AS. Maklum wilayah itu geostratetis dan geopolitik AS untuk mengontrol SDA Arab yang kaya minyak dan gas. “ AS setuju saja melaksanakan resolusi PBB sepanjang ada jaminan keamanan bagi Israel. Nah bangsa Arab tidak mau memberikan jaminan. Artinya potensi serangan kolosal terhadap Isralel tetap aja ada. Ya stuck.” kata teman yahudi.


Belakangan konsep two state solution sebenarnya bisa diterima oleh Israel dan Palestina, dimana berdiri dua negara berdampingan secara damai. Israel bersedia keluar dari Gaza, Tepi Barat, dan Dataran Tinggi Golan. Sementara berdasarkan kesepakatan Oslo  (94) dibentuklah kekuasaan sementara, Otoritas National Palestina yang berkuasa di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Sampai adanya Pemilu.  “ Tapi yang jadi masalah Faksi di Palestina ada dua. Satu Fatah dan satu lagi HAMAS. Yang setuju itu adalah Fatah. Sementara HAMAS menolak. Saat HAMAS menang pemilu, ya Israel ogah menyerahkan wilayah pendudukannya. Maklum HAMAS itu berafiliasi dengan Iran.” kata teman Yahudi. 


Apalagi setelah perang saudara, pengambil alihan Jalur Gaza oleh Hamas dan membagi wilayah Palestina secara politik, dengan Fatah yang dipimpin oleh Mahmoud Abbas menguasai Tepi Barat dan diakui secara internasional sebagai Otoritas Palestina resmi, sementara Hamas telah mengamankan kekuasaannya atas Jalur Gaza. Jelas saja membuat keadaan semakin rumit. Ya terpaksa israel blokade Gaza. Sementara bangsa Arab tidak satu suara mendamaikan dua faksi ini. Terbukti Apri 2011 walau kedua belah pihak telah menandatangani perjanjian rekonsiliasi, tetapi pelaksanaannya masih terbengkalai.


Kalau dapat disimpulkan tertundanya kemerdekaan Palestina, semakin kerasnya pendudukan Israel, lebih disebabkan perseteruan AS vs Iran vs Arab. Dan Iran bisa berani karena di belakangnya ada China dan Rusia. China dan Rusia juga mau terlibat karena ingin merebut geostrategis Timur tengah yang kaya SDA. Dan kini Arab sudah resmi bergabung dengan China dan Rusia. Dan Iran juga sudah berdamai dengan Arab. Pelastina semakin terabaikan oleh Arab dan Iran. Bagi AS mempertahankan israel tanpa HAMAS, itu soal geopolitknya. Ini harga mati. Makanya resolusi PBB desember 2022 untuk memberikan sanksi kepada Israel atas sikap represif nya di wilayah pendudukan Palestina, langsung diveto oleh AS, ingris dan Perancis. Padahal 66% anggota PBB termasuk Rusia dan China mendukung resolusi  itu.

No comments:

Menyikapi keputusan MK...

  Pasar bersikap bukan soal kemenangan prabowo -gibran. Tetapi bersikap atas proses keputusan yang dibuat oleh MK. Pasar itu jelas cerdas, l...