Tuesday, January 31, 2023

Anies tak terbendung.

 




Setelah pulang dari London, SP santai aja. Orang banyak berspekulasi soal makna pertemuannya dengan Jokowi. Maklum sudah lama  mereka tidak bertegur sapa. Hal yang mengejutkan setelah itu adalah PD dengan tegas menyerahkan soal cawapres kepada Anies. Artinya PD tidak ngotot mau dapat jatah Cawapres dalam koalisi. Dengan demikian, PD dan Nasdem masih kurang 4% suara untuk memenuhi presidential threshold. Itu diharapkan dari PKS atau partai lain yang tidak masuk parlemen seperti Perindo dll. Soal PKS mau setuju atau tidak, tidak lagi significant. Karena PKS mau merapat kemana lagi ? .PKS pada akhirnya akan bergabung juga.


Orang lupa SP itu mantan wartawan dan juga pengusaha. Dia  jago baca situasi. Dia terbiasa dekat dengan ring kekuasaan dan sekali dia bersikap, itu akan dia perjuangkan. Sebagaimana dari awal sikapnya mengusung Anies sebagai Capres “ Kalau saya sebagai Ketum NasDem ya kasih kesempatan yang seluas-luasnya ya, sebaik-baiknya, kepada kawan-kawan baik itu Demokrat, baik itu PKS atau siapa saja. Ya NasDem tidak mau desak-desak itu, atur saja, mau koalisi boleh. Kurang, nggak koalisi juga tidak apa-apa," kata Surya Paloh kepada wartawan di NasDem Tower, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (22/10/2022). 


SP pengalaman mendekati penguasa dan pengalaman juga mengakhir kekuasaan. Era Pak Harto dia dekat dengan cendana. Tapi menjelang jatuh Soeharto, dia sempat diperiksa Laksus Jaya. Karena menantang Soeharto. Akhirnya toh dia juga yang menang. Soeharto jatuh.  Dia dekat dengan PDIP saat Mega jadi presiden, tapi dia juga yang duluan hengkang ke SBY sebelum akhir kekuasaan Mega. Jatuh juga Mega tahun 2004 dan SBY menang. Tahun 2009 dia duluan  ninggalin SBY dan akhirnya dukung Jokowi. Kalah juga capres PS yang didukung SBY.


Nah sebenarnya engga hebat hebat amat SP itu. Dia hanya memanfaatkan peluang dan bandul politik kemana bergerak. Dia engga mau ambil resiko. Play safe aja. Mengapa dia dukung Anis?  Kemenangan Jokowi di Pilpres tidak significant. Hanya beda 4% ( 2014) dan 10% ( 2019). Anies icon mereka yang tidak memilih Jokowi dan mereka yang dirugikan oleh kebjakan Jokowi. Yang jelas seperti HTI, FPI, korban Jiwasraya, Bumiputera, Wanartha, MinaPadi, OSO sekuritas, Indonsurya, termasuk petani sawit yang dikorbankan oleh tataniaga, juga rakyat disekitar tambang  batubara dan nikel yang blangsat,  dan lain lain, pasti mereka alihkan dukungan ke Anies. 


SP, pintar. Dia bungkus Anies lewat Nasdem, sehingga terhindar dari bersatunya kaum moderat yang menentang politik identitas. Orang mau tuduh gimanapun, faktanya Anis diusung oleh partai non Islam. Konsultan politik Anies adalah Eep Saifullah yang juga konsultan Jokowi waktu Pilpres 2014 dan Pilkada DKI 2012. Orang yang paham ilmu komunikasi politik, tentu paham bahwa“ Most of the news is negative. And though we hate to admit it, we love it. We crave good stories but devour bad stories twice as fast, and turn bad stories into good images.…” artinya berita kebencian terhadap Anies memang by design. Strategi ini pernah diterapkan di Pilkada dan Pilpres, yang memang efektif melakukan panetrasi pemilih. Itu sudah dibuktikan.


Anies unstoppable kecuali para elite politik dari semua pimpinan partai koalisi pemerintah sepakat menggusur Anies. Tapi kalau lihat terasingnya PDIP dari koalisi soal perubahan sistem pemilu legislatif dari terbuka ke tertutup. itu sudah cukup membuktikan bahwa Elite politik tidak solid seperti maunya PDIP dan Jokowi. Atau ada deal khusus kepada SP, untuk batal calonkan Anies. Itupun deal nya engga murah. Nah apapun deal, SP tetap menang. Mengapa? karena dari awal sejak dia masuk ke arena poltik, dia sudah berpikir sebagai “pemain”, bukan sekedar euforia buta dan cari uang kecil atau sekedar kekuasaan. Di hadapan "pemain" semua orang  adalah lawan. Tidak ada teman sejati. Yang ada hanyalah kepentingan. 

Sunday, January 22, 2023

Teater Kematian Josua.


Sheldon Whitehouse adalah senator mewakili negara bagian Rhode Island di Senat AS. Di Rhode Island, dia pernah menjabat sebagai Jaksa dan Jaksa Agung. Dia tinggal di Newport, Rhode Island. Dengan pengalaman luas sebagai praktisi Politik dan peradilan serta latar belakangan pendidikan yang mumpuni, Sheldon Whitehouse menulis buku yang berjudul “the scheme.” Menurut saya buku ini lebih sekedar curhat dengan niat baik agar sistem dibenahi. Apalagi dibantu oleh Jennifer Mueller alumni hukum Harvard yang memang jago dalam hal riset hukum dan menulis artikel akademis.


Kalau anda pernah belajar financial engineering dan financial structure, pasti anda paham apa itu the scheme ( skema). Pengertian bukan sekedar skema tetapi berkaitan dengan tailor made. Apa sih tailor made ? saya analogikan seperti membuat pakaian. Dari menentukan bahan kain, menentukan model pakaian, membuat pola, dan memotongnya,  dan akhirnya menjahit sehingga layak dan pantas dipakai orang. Paham ya. Artinya Skema mengatur yang rumit menjadi sederhana sehingga semua keliatan indah dan baik baik saja.


Saya gambarkan analogi sederhana berkaitan dengan hukum. Sistem pengadilan kita mengenal tiga pihak yang terlibat. Jaksa. Pengacara dan Hakim. Ibarat masakan. Jaksa itu menentukan menue dan memasak. Tugas Pengacara memastikan jenis menu, bumbu, porsi dan lain lain sudah sesuai dengan standar menu. Kalau tidak tepat , dia akan buktikan ketidak benaran itu. Nah tugas Hakim untuk cicipi makanan itu. Keputusan apakah masakan itu sudah sesuai dengan menue ada pada Hakim. Paham ya. Ok lanjut.


Karena hulu dari skema itu ada pada jaksa. Maka pengatur ( tailor made ) sidang bisa dekati jaksa untuk membuat dakwaan yang memberikan celah bagi pengacara untuk melemahkan dakwaan itu. Kalau nyerempet aturan sidang. Tugas pengatur mendekati Hakim agar memberikan ruang bagi pengacara untuk menyudutkan Jaksa sehingga punya jalan untuk mematahkan kontruksi hukum yang dibuat jaksa. Sehingga peroses peradilan jadi orkestra. Yang jadi konduktor adalah pengatur. Paham ya. Ok lanjut.


Apakah sesederhana itu ? Tidak. Pengatur dekati Partai untuk mengatur anggota DPR agar menkondisikan MA dan jaksa agung. Maklum pejabatat tinggi di MA dipilih oleh panel DPR dan Jaksa agung itu orang partai. Nah tugas MA dan Jaksa agung mengarahkan Jaksa dan hakim agar patuh kepada skema.  Untuk implementasi di lapangan, tugas pengacara memuluskan jalan sidang agar tidak melanggar hukum dan norma.  Demikianlah penjelasan sederhana apa itu skema. Nah skema itu bisa jadi tailor made karena uang. Uang bicara segala galanya termasuk membeli keadilan dan kekuasaan.


Dalam buku The Scheme : How the Right Wing Used Dark Money to Capture the Supreme Court, digambarkan bagaimana dana anonim menguasai Kehakiman AS, termasuk Mahkamah Agung. Tujuanya adalah pengadilan dan keputusan politik memenangkan agenda sipemilik uang. Whitehouse mengatakan uang anonymous mengalir ke jaksa, hakim sampai ke istana. Uang juga mengalir ke influencer untuk mempengaruhi opini publik atas proses pengadilan yang sedang berlangsung. Bahkan mereka mampu membujuk Senat untuk melanggar aturan, norma, dan preseden untuk melaksanakan agenda yang tidak sesuai dengan konstitusi. Kalau anonymos, kira kira indikasi mereka itu siapa? Elite oligarki bisnis. Singkatnya setan jobless karena kejahatan diborong kabeh mereka.


***


Nah bayangkan, itu AS yang sistem demokrasinya udah established. Gimana dengan Indonesia yang sudah terbukti Hakim Agung kena OTT. Kalau melihat pak Mahfud MD di layar kaca. Saya kadang prihatin. Wajahnya selama menjabat Menko nampak menua. Tidak secerah dan sesehat sewaktu dia belum jadi Menko. Kamis (19/1/2023)- Kompas,  dia mengatakan, mencium "gerakan bawah tanah" yang sengaja memengaruhi putusan atau vonis terhadap Ferdy Sambo dan kawan-kawan. Tak tanggung-tanggung, dia menyebutkan bahwa gerakan itu sebagai gerilya. Ada yang meminta Ferdy Sambo dihukum berat, ada juga yang meminta eks Kadiv Propam itu dibebaskan. Siapa mereka yang ingin mempengahui sidang itu ?  Mahfud menyebut pangkat jenderal. Itu jelas dari TNI. Tentu yang "dipelihara" mliarder. 

Walau Mahfud MD mengatakan bahwa dia yakin Jaksa dan Hakim indepedent, tetapi keyakinan publik atas omongan Mahfud itu tidak sama saat kasus FS belum masuk pengadilan. Kini publik bisa saksikan jalan persidangan itu. Dakwaan jaksa sangat jelas. Yaitu berkaitan dengal Pasal 340 KUHP subsider pasal 338 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Di persidangan, Hakim terkesan terbawa permainan Pengacara terdakwa yang berusaha mengaitkan itu dengan kasus pelecehan seksual. Benarlah. Dalam tuntutan Jaksa menyebut bahwa antara PC dan J ada perselingkuhan. Ini bisa jadi bola liar dan akan dimanfaatkan oleh pengacara FS untuk meringankan FS. Dan nyatanya Jaksa menuntut FS dengan hukum seumur hidup, yang sangat mungkin  dalam proses banding hukuman berkurang, bahkan bebas. OK lah. Itu tentu ada pertimbangan hakim. Kita lihat nanti. Walau ragu hasilnya sesuai harapan.

Kemudian keberadaan Bharada eliezer (Bharada E) yang diakui LPSK sebagai Justice collaboration, dituntut hukuman 12 tahun. Alasan Jaksa,  Bharada E bukanlah justice collaborator (JC). Padahal LPSK itu lembaga yang dibentuk oleh UU 31/2014. Hebat ya. Jaksa bisa abaikan produk dari lembaga yang di create oleh DPR. Jaksa punya alasan atau penilaian tersendiri kenapa Bharada E tak disebut justice collaborator. Alasan lainnya, Bharada E bisa menolak perintah FS, sebagaimana yang dilakukan Brigadir Ricky. Jadi alasan menembak karena diperintah oleh FS tidak tepat. Demikian dibalik tuntutan Jaksa kepada Bharada E.


Menurut Pakar inteligent Sulaiman B. Pontoh, Jaksa mengabaikan hukum kausalitas dan ralasi kuasa. Sudah jelas perbedaan pangkat antara Brada E dan Bripka R sangat jauh. Engga bisa disamakan, walau mereka sama sama Polisi. Begitu juga latar belakang Brada E itu adalah Brimob, yang memang dilatih untuk melaksanakan perintah, apalagi sudah diberi senjata dan peluru. Apapun istilah perintah, engga penting lagi. Ya dia tembak. Sementara Bripka R adalah polantas yang terlatih menggunakan otaknya dalam bertugas. Pangkat Bharada itu 18 tingkat dibawah FS yang jenderal. Jadi wajar kalau Bharada E tidak bisa bersikap sama dengan Bripka R.


Pedagang sempak yang rakyat jelantah, punya pendapat. Yang berkuasa adalah uang. Apapun bisa dibeli termasuk kekuasaan itu sendiri. Bukan rahasia umum. Ada Rp  150 triliun uang yang patut diduga terkait tidak langsung dengan FS ex ketua Satgasus merah putih. Kasus uang  ini digelapkan oleh awan konspirasi. Itu bukan uang kecil. Bisa ongkosi orang jadi presiden, bahkan bisa jadi king maker. Jadi omongan Mahfud tentang Jaksa Independent dan hakim independent, benarkah ? Silahkan nilai sendiri. Moga setelah tidak lagi jadi Menteri Pak Mahfud bisa nulis buku seperti Senator Sheldon Whitehouse. Ya kalau tidak mampu lawan lewat jabatan, lawan lewat tulisan agar rakyat bergerak, itu gunanya demokrasi kalau ingin melakukan perubahan untuk keadilan dan kebenaran.


Wednesday, January 18, 2023

PDIP dan Islam

 




Setelah kalah dalam Pilpres 2004, dan tetap unggul dalam Pileg, proses menggembosi PDIP oleh lawan terus berlanjut. Terutama kelompok islam aliran yang punya dendam sejarah dengan Soekarno. Semua tahu bahwa Soekarno lah yang membubarkan Partai Masyumi dan memenjarakan tokohnya seperti Hamka, Natsir dll. Makanya pada kongres PDIP tahun 2005, agenda utama PDIP adalah restrukturisasi partai.  Ini sebagai cara untuk konsolidasi, fungsionalisasi struktur dan membangun network dengan simpatisan di semua lapisan masyarakat.  Setelah itu dibentuk Baitul Muslimin Indonesia ( BMI/Bamusi).  Hebatnya tahun 2007 Syafii ma’arif dan Said Agil. Dua tokoh Islam, yaitu mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Agil Siraj, secara resmi menyatakan kesediaannya menjadi Dewan Pembina Baitul Muslimin.


Sejak itu warna PDIP semakin banyak. Aktifis HMI dan aktifis ex Partai Muslimin Indonesia bergabung ke PDIP. Sementara golongan Kristen ( parkindo) makin terdesak oleh pendatang baru. Beberapa dari mereka tersingkir dan lainnya tetap bergabung bersama mereka dari gelompok islam. Elite PDIP dari islam cukup banyak, namun umumnya mereka dari NU dan Muhammadiah, seperti Hamzah Haq ketua MUI pernah jadi Wakil ketua MPR mewakili PDIP.  Nah yang jadi masalah bagi islam aliran bukanlah NU dan Muhammadiah. Tetapi BAMUSI yang sayap PDIP. Mengapa ? karena islam yang diusung oleh PDIP bukan islam aliran  ( yang dogmatis atau radikalisme ) tetapi islam rahmatan lilamin. Mengapa ? Mari saya jelaskan sedikit. 


Ideologi politik PDI Perjuangan berbasis Marhaenisme yang dikembangkan Soekarno. Sebagai pemimpin bangsa, Soekarno adalah sosok yang sangat anti kolonialisme, borjuisme, dan elitisme. Pergaulan pemikiran dan interaksi personal Soekarno dengan tokoh Sosialis membuatnya dekat dengan kaum marhaen, kaum proletar, rakyat jelata, serta wong cilik.  Nah Bamusi merupakan reinterpretasi dan ajaran Islam yang kontekstual dan secara sistematis merumuskannya dalam “teologi kiti” atau “ideologi kerakyatan” yang berpihak pada kaum dhuafa. “ Itulah alasan orang mendukung PDIP. Karena memperjuangkan kaum dhuafa secara politik lewat semangat islam rahmat bagi semua.


Suara PDIP tahun 2009 14,03% dan pemenang pemilu nomor 3. Memang jatuh dibandingkan tahun 2004 yang 18,53 %. Menurut saya itu wajar. Karena berhadapan dengan Petanaha , dan posisi sebagai partai oposisi masih bisa bertahan dengan suara dua digit. Itu udah hebat banget. Kalau tahun tahun 2014 ( 18,95%) menang karena saat itu semua partai back to zero. Engga ada petanahan. Dan PDIP bisa buktikan mereka memang solid dan pantas juara menjadikan Jokowi sebagai presiden. Walau menang sangat tipis (selisih suara 6,3%).


***

Berkaca pada hasil pemilu tahun 2014 dan 2019. Mari kita bicara data dan fakta. Kemudian kita baca angka itu dengan objektif berkaitan dengan Jokowi effect ( coat tail ). Yang dapat coat tail effect itu adalah Nasdem, PKB dan PKS. Nasdem, tahun 2014 6,72% dan tahun 2019 jadi 9,05 persen. PKB , tahun 2014 9,04% dan tahun 2019 jadi 9,69%. Sementara PKS anti Jokowi, tahun 6,79% dan tahun 2019 jadi 8,21%.


Sementara PDIP yang pada Pemilu 2014 meraih suara 18,95% dan tahun 2019 naik sedikit jadi 19,33%. Naik hanya 0,38%. Artinya selama satu periode Jokowi berkuasa, tidak berdampak signifcant terhadap suara PDIP, bahkan kalah jauh dari suara PDIP tahun 1999. Apa artinya ? Jokowi itu hanya menguntungkan suara PKB , Nasdem dan PKS.


Bagaimana dengan teman koalisi Jokowi ? tahun 2019 yang dukung Jokowi seperti Golkar, PAN, PPP Hanura, semua turun perolehan suaranya. Termasuk PD juga hancur karena tidak jelas kemana berlabuh. Justru Gerindra lawan PDIP naik dari 11,81% ( 2014) jadi 12,57% (2019). Sehingga menempatkan Gerindra sebagai Parpol pemenang nomor dua pada pemilu 2019. Menggeser Golkar ke peringkat 3.


Berkaca dari data diatas. Kalau PDIP calonkan Ganjar, maka antara “ Kanan dan Kiri” ( islam dan nasionalis) akan dibenturkan.  Ini akan jadi medan neraka bagi PDIP. Pengalaman PIlgub DKI tahun 2017, PDIP kalah padahal PDIP di back up koalisi gemuk. Makanya saya tidak yakin kalau PDIP dukung Ganjar, Koalisi PDIP akan tetap. Mereka akan pindah ke Nasdem untuk mendukung Anies. Mereka udah pengalaman dan tahu menikmati Coat tail effect. Yang pasti diuntungkan PKS.


Kalau Puan dicalonkan. Maka kampanye sentimen feminisme akan digaungkan. Tidak boleh memiih pemimpin wanita. Sama seperti kekalahan Megawati pada Pilpres 2004 dan 2009. Lagi lagi antara “ kiri dan kanan “ dibenturkan. Tapi ini lebih kepada nilai nilai apokalips. Sulit untuk orang berbalik arah. Orang awam beragama akan patuh kepada apa kata ulama. Jangan pilih pemimpin wanita. Tidak ada partai yang mau koalisi. Siapa yang mau gabung dengan calon yang pasti kalah. PKS pasti diuntungkan.


Disamping itu, PDIP tahu bahwa sedang ada upaya menggembosi suara PDIP dengan membenturkan Puan dan Ganjar. Menempatkan PDIP jadi sulit dihadapan pemilih perkotaan. Apalagi kalau Ganjar pindah partai untuk didukung koalisi partai bukan PDIP. Itu akan membuat suara PDIP diperkotaan akan terbelah. Suara Pileg PDIP akan tergerus dan PKS pasti bertambah suaranya. Makanya wajar saja PDIP sangat hati hati menentukan capres dan focus memperbaiki kinerja Jokowi. Karena hanya dengan kinerja itulah PDIP bisa dijual ke rakyat nanti saat pemilu 2024.


Monday, January 16, 2023

Money politics.

 



Tahun 2015 saya ngopi dengan teman teman di Ritz. Diantara mereka ada elite politik yang juga pengusaha. “ It seems that the political elites now want to build a new paradigm about the existence of funding for politics. They don't want to depend on those people anymore. They must control business resources. So that they have access to share and common interests. For example, every business concession must have a proxy or representative of the political elite involved. This means that there will be a restructuring of the political relationship between them. That is the importance of the rules regarding the presidential threshold ” Kata teman. Dia juga cerita siapa penggagas ide ini.


In February 2016, the Red and White Coalition dissolved. I remembered that casual chat in 2015. It seems like a deal was struck with a new paradigm of sharing. KMP dissolved to join the government coalition. After that, we can see the SWAP process of Medco's debt that acquired Newmont into Diamond Bridge shares. The release of Saratoga's Paiton shares to Toba. These two things happened through hostile politics. There was a amendment to the Minerba Law that spoiled investors. The House of Representatives is full of smiles without continuing to the Special Committee on any case. The opposition is just drama.


We also know how the Jiwasraya case was resolved through the Buil-in scheme, by restructuring obligations to customers in the long term. While the legal case is a means of writing off all the elites involved including the conglomerate MTNs purchased by Jiwasraya. The same with the ASABRI case. The same with the GI debt settlement, which catapulted Eric's name. Even though because of that, the bills of 27 BUMNs to GI were exchanged for 0.1 interest MTNs for 22 years. That's the same as write off. All legal. There are perpetrators who are subject to the TPPU article. The people do not understand this.


Most of the TNI and Polri officials sit as Commissioners in group companies that have business concessions in Indonesia. This means that communication between the TNI / POLRI elite and the political elite will be intimate. This is effective in maintaining political stability. And therefore Jokowi can win again in the 2019 elections. His advisor is Haji Isam, who is known as the boss of mining in South Kalimantan and Trenggono the boss of telecommunications towers. And after that Prabowo and Sandi entered the cabinet. Gerindra joined the government coalition.


Sebagai pedagang sempak saya berpendapat. This paradigm is what is called an open oligarchy. The public knows everything. That's good. Because at least the tycoons is controlled by the political elite. So the tycoons can't be kingmakers. The inability of KIP dealing to support Anies to get sponsorship funds is the cause. The determining change is the political elite, not the tycoon. I think so.


Dan siapa Capres ? ada dikantong para oligarki. Ya wajar. Mereka inginkan paradigma itu dapat dipertahankan dan dilanjutkan oleh presiden berikutnya. Mengapa ? kan bahaya kalau presiden berikutnya tebas paradigma oligarkhi. Akan banyak yang masuk bui. Apalagi dari awal saya dengar Nasdem di kick out dari oligarghi yang sudah terbentuk. Wajar saja dia membangun aliansi baru lewat jaringan invisible untuk rebut oligarghi yang ada. Maklum kan tidak semua pengusaha mau diatur politik. Sementara jalur extra ordinari way, LE kena jerat KPK. SD, kena jerat TPPU Jaksa Agung. FS juga masuk.


Itu sebabanya saat saya tanya kepada elite PKS. “ Mengapa kalian tidak cepat setujui Anies sebagai capres.”


“ Oligarghi itu cerdas. Mereka tunggu PKS dukung Anies. Sekali PKS mendukung, Anies kena KPK. Hancurlah reputasi PKS sebagai partai agama.”


“ Artinya biarin aja yang perang SP. Kalau SP kalah. Ya PKS gabung ke koalisi lain. Sekarang SP tabuh gendang, PKS dan Demokrat ikut joget aja, “ Kata saya.  


" SP juga bukan lawan kaleng kaleng " Katanya tersenyum.


Wednesday, January 11, 2023

Menilai proyek poros Maritim Dunia, Jokowi

 




Alfred Thayer Mahan, ahli sejarah angkatan laut, ahli strategi, dan ahli teori geopolitik yang terkenal.  Bukunya yang berjudul The Influence of Sea Power Upon History 1660-1783 (1890), menjadi "kitab suci" bagi banyak angkatan laut di seluruh dunia. Ini adalah wawasan geopolitik yang mendalam berdasarkan pemahaman tentang dampak geografi pada sejarah. Membuat kebijakan tanpa memperhatikan sejarah, itu konyol. Ingat, sejarah terus berulang.  Karena pemerintah boleh berganti, tapi laut tetap sama. Siapa yang menguasai akses laut maka dia menguasai dunia.


Cina pada abad ke-21 telah mendalami teori Mahan. Itu bisa dilihat pada buku, Chinese Naval Strategy in the 21st Century: The Turn to Mahan. Para pemimpin politik dan militer China tidak menyembunyikan keinginan mereka untuk menggantikan Amerika Serikat sebagai kekuatan utama di kawasan Asia-Pasifik.  Atas dasar unsur unsur kekuatan geopolitik Mahan, China punya semua. Cina terletak di jantung Asia timur-tengah dan memiliki pantai laut yang panjang, populasi yang besar, ekonomi yang berkembang, kekuatan militer dan angkatan laut yang berkembang, dan, setidaknya untuk saat ini, sebuah pemerintahan yang stabil.


Sejak awal reformasi era Orba, Gus Dur,  Megawati, sampai SBY kita masih mengandalkan pendekatan geopolitik dari segi pertahanan dan keamanan regional untuk menangkal pengaruh dua raksasa yaitu AS dan China. Itu bisa dilhat dari aktifitas melahirkan kesepakatan ASEAN, Coral Triangle Initiative (CTI) dengan Malaysia, Filipina, Timor Leste, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon.  Melanesian Spearhead Group (MSG), Dialog Pasifik Barat Daya (SWPD), Forum Kepulauan Pasifik, dan Forum Pembangunan Pulau Pasifik. Indo Pacific, dan Indian Ocean Rim Association (IORA) dan Indian Ocean Naval Symposium (IONS).


Lantas bagaimana dengan Indonesia ke depan? Di Era Jokowi visi itu mulai diubah walau tidak mudah. Pada periode pertama Jokowi, dalam pidato yang fenomenal di Parlemen, Jokowi menyampaikan visi poros maritim dunia. Saya terkesima dan yakin bahwa kita bukan hanya dapatkan presiden yang tidak terkait dengan Orba tetapi juga mendapatkan presiden yang punya visi hebat. Menjadikan kita negara hebat seperti kerajaan Sriwidjaya dan Majapahit. Yang dikenal penguasa dunia, berkat kekuatan laut. Bukan hanya kuat dari segi angkatan laut tetapi mampu menjadikan wilayah nusantara sebagai Hub perdagangan dunia. Inilah yang menjadi sumber daya yang tidak habis habisnya.


Visi poros maritim Jokowi, berlandaskan bahwa sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi besar menjadi poros maritim dunia. Poros maritim merupakan sebuah gagasan strategis yang diwujudkan untuk menjamin konektifitas antar pulau, pengembangan industri perkapalan dan perikanan, perbaikan transportasi laut serta fokus pada keamanan maritim. Nah kalau mengacu kepada teori Alfred Thayer Mahan, negara yang ingin memiliki kebijakan maritim yang kuat juga harus memiliki komitmen dan kebijakan yang kuat dalam aspek ekonomi. Harusnya focus kepada ekonomi untuk memperkuat bargain kawasan.


Mari kita lihat posisi strategis kita di Barat dan di Timur.  Kalau di wilayah Barat, memanfaatkan posisi Sumatera di jalur Selat Malaka. Sumatera akan berkembang pesat tentu karena Sumatera menjadi Hub Logistik Agro, yang akan mendatangkan investasi relokasi downstream industri dari dalam dan luar negeri. Akan menjadi pusat industri agro  berkelas dunia. Begitu juga kalau Manado menjadi Hub Poros Maritim Pacific maka akan menciptakan kawasan industri Agro dan mining berkelas dunia, yang akan jadi magnit bagi investor dalam dan luar negeri.


Jokowi di periode pertama sudah membangun Kuala Tanjung Port and Industrial Estate. Proyek diresmikan tahun 2019. Tetapi tidak ada kebijakan yang mendorong potensi strategis lokasi Sumatera menjadi potensi ekonomi. Padahal pemerintah bisa keluarkan tata niaga ekspor bahwa Kuala Tanjung Port dan Industrial Estate, sebagai hub logistik CPO dan downstream CPO. Itu sangat bisa. Karena kita punya SDA Sawit terbesar dunia. Kita juga bisa jadikan Pelabuhan bebas Sabang untuk hub logistik oil and gas. Kita market terbesar oil and gas nomor 5 dunia. Itu sangat bisa. Tapi kini kapasitas yang terpakai Kuala Tanjung Port hanya sekitar 15% dari kapasitas multipurpose terminal yang sebenarnya sekitar 400.000 TEUs. Pelabuhan Bebas Sabang masih dalam rencana sebagai Hub Poros Maritim.


Pemerintah juga sudah bangun Palabuhan Bitung dan Kawasan Industri. Ini bagian dari visi poros maritim Jokowi.  Posisi strategis Pelabuhan Bitung yang berada di bibir Pasifik, dinilai mempunyai keunggulan tersendiri dalam geopolitik. Pelabuhan sudah selesai tahun 2019 tapi kawasan industri belum juga rampung. Makanya jangan kaget bila kapasitas pelabuhan baru mencapai sekitar 30% atau sekitar 120 kontainer per hari. Padahal apabila pemerintah keluarkan tata niaga, menjadikan pelabuhan Bitung sebagai hub logistik untuk semua komoditi unggulan Pulau Sulawesi dan sekitarnya, yang  mempunyai pasar cukup kuat di Asia Timur dan pantai barat Amerika.  Itu sangat bisa karena SDA Sulawesi besar sekali.


Saya tidak akan membahas lebih dalam. Faktanya kini, hampir seluruh potensi Poros Maritim Dunia dinikmati oleh negara tetangga yang justru bukan negara kepulauan seperti Indonesia, yakni Singapura, Malaysia, dan Thailand. Saat ini, sekitar 90% kapal dunia lalu-lalang di Poros Maritim Dunia yang melalui perairan Indonesia, yakni 80% di Selat Malaka dan 10% lainnya melintasi Selat Makassar. Di Selat Malaka, jumlah kapal yang melintas lebih dari 100.000 dengan mengangkut 90 juta TEUs kontainer per tahun. Singapura dan Malaysia masing-masing mampu menyedot sekitar 40 juta TEUs, Thailand 10 juta TEUs, sedangkan Indonesia tidak lebih dari 1 juta TEUs.

Setidaknya Jokowi sudah menyediakan infrastruktur untuk visi poros maritim. Ibaratnya kita sudah punya Mall, yang punya fasilitas parki luas, di lokasi strategis. Tugas Presiden berikutnya adalah melanjutkan bagaimana caranya agar Mall itu ramai dikunjungi dan tenan banyak. Nah visi poros maritim kedepan menurut saya bahwa geopolitik kita harus bertumpu kepada kekuatan ekonomi atas dasar potensi geographis kita, agar tercapai kemakmuran dan perdamaian bagi semua.


Sunday, January 1, 2023

Peran media massa

 




Sebelum ada sosial media mewabah. Media massa dikelola secara profesional. Peran pengawas media sebagian besar dilakukan oleh jurnalis terlatih yang, dalam situasi terbaik, berfokus pada pengungkapan fakta seputar pelanggaran hukum dan politik yang serius. Reporter Washington Pos , Bob Woodward dan Carl Bernstein lewat jurnalis investigasi berhasil mengungkapkan peran Presiden Richard Nixon dalam pembobolan di markas Partai Demokrat di Watergate Hotel. Nicon dipaksa lengser. Buku “ The Great Coverup: Nixon and the Scandal of Watergate oleh Barry Susman menjadi inspirasi bagi generasi jurnalisik berikutnya..


Tahun 2008. Tempo dan Media Indonesia berani menurunkan berita yang sangat lengkap. Hasil investitasi jurnalis hebat.  Karenanya kasus Century cepat melambung dan bubble. Sampai akhirnya jadi issue politik tingkat nasional.  Puncaknya publik menghukum PD dalam pemilu 2014. Kalah telak. Sebelumnya juga kasus Bank Bali yang diungkapkan oleh Tempo. Hasil investigasinya membuat gagal Habibie dicalonkan oleh Golkar pada sidang MPR 1999.


Media massa sebagai kekuatan ke empat berperan melakukan perubahan politik. Tampilnya Jokowi dan Ahok di panggung Politik, itu pertama kali Tempo yang mengangkat dalam laporan khusus. Dari sana orang tahu prestasi fenomenal Jokowi merevitalisasi pasar tradisional di Solo. Tanpa tindakan represif dari Satpol PP. Dia melakukan rekayasa sosial lewat dialog dengan masarakat. Hal inilah yang mendorong bangkitnya gerakan 98 dari semua elemen untuk mendukung Jokowi sebagai Gubernur DKI dan akhirnya presiden tahun 2014. Mengapa ? kemenangan Jokowi memang berkat gerakan perubahan dari kekuatan pro demokrasi yang muak dengan kartel Ex Orba. Jokowi antitesis orba, kata mereka.


Sejak tahun 2014 sosial media exist dan diikuti oleh media mainstream dalam bentuk media digital. Lambat namun pasti terjadi proses kecenderungan melemahkan tujuan ideal pers yang demokratis. Media menyebarkan konten politik dalam jumlah yang sangat besar, tetapi sebagian besar materinya sepele, tidak dapat diandalkan, dan terpolarisasi. Maklum para jurnalis ditekan oleh pemodal untuk adu cepat update berita dan diposting di sosial media agar dapat like banyak. Rating iklan diukur dari tingkat like yang ada. Untuk lebih luas masalah ini anda bisa baca tulisan  Ross Tapsell, dalam bukunya “ Media power in Indonesia: oligarchs, citizens and the digital revolution.”


Buku yang berjudul “ The Age of Perplexity: Rethinking the World We Knew,  ditulis oleh Francisco González Rodriguez ex banker menjelaskan secara utuh. Sebenarnya bukan rahasia umum, suka tidak suka, faktanya adalah Media massa dan sosial media memiliki implikasi luas terhadap model pemerintahan demokratis dan praktik politik. Mereka secara radikal mengubah cara lembaga pemerintah beroperasi dan para pemimpin politik berkomunikasi. Mereka telah mengubah sistem media politik, dan mendefinisikan kembali peran jurnalis. Mereka telah mendefinisikan kembali cara pemilu diperebutkan, dan bagaimana warga negara terlibat dalam politik.


Kalau kita sering kawatir terhadap situasi politik menjelang pemilu khususnya bangkitnya politik identitas , maka itu sebenarnya kita sudah jadi korban dari keganasan media masa era sekarang. Padahal  issue politik itu hanya retorika, bukan aksi people power yang memaksakan kehendak. Apa yang dikatakan Jokowi terhadap capres, bukanlah endorsement. Itu hanya komunikasi spontan. Jokowi tetap patuh sebagai kepala negara yang berada du semua golongan. Namun oleh media massa, apapun ungkapan Jokowi dijadikan  berita dan polemik. Cenderung bias dan terpoiarisasi. Sehingga tentu memacing para influencer yang  cari makan dari sosial media menciptakan konten yang provokatif agar mendapatkan hit dan like dari audience.


Yang berbahaya dan mengkawatirkan adalah Keragaman konten yang disebarluaskan oleh media sosial telah menciptakan peluang seperti kemampuan lebih banyak suara dan tontonan untuk didengar namun tidak mendidik orang untuk berpikir kritis. Malah mengarahkan orang berpikir kooptasi seperti apa yang diinginkan oleh influencer politik. Berbeda dengan informasi dari tulisan, dari kebiasaan gemar membaca dan punya kemampuan literasi menelaah laporan investigasi jurnalis. Mereka cenderung objektif.


Nah kalau media massa mainstream, sudah ada UU Pers dan kode etik pers. Tetapi sosial media? sampai sekarang yang dilarang adalah hatespeech dan Hoax. Sementara model pemberitaan atau konten provokatif yang mendorong orang terpolarisasi, tidak ada aturan UU nya. Padahal konten provokatif itu penuh dengan narasi saling tuduh dan saling membenci. Jelas ini tidak akan melahirkan masarakat yang menghormati nilai nilai demokratis. Bukan tidak mungkin dari polarisasi itu akan lahir gerakan politik identitas atas nama suku atau agama. Ini bahaya!


Media massa kini punya tanggung jawab besar. Seperti dulu Tempo mengangkat laporan tentang sosok Jokowi dan Ahok. Mengapa kita hanya berfokus kepada capres Puan, Airlangga, Muhaimin, Prabowo,  Ganjar dan Anies, ? karena media massa tidak lagi bekerja atas dasar investigasi jurnalistik, untuk mempersembahkan calon lain. Padahal kita punya Kepala daerah level Bupati ada 415, ada 98 walikota dan 38 Gubernur. Dari sekian banyak kepala daerah dan gubernur, pastilah sedikitnya 10% pantas dilontarkan ke panggung politik nasional. Tapi mengapa mereka tenggelam. Padahal ongkos politik menjadikan mereka pemimpin itu tidak murah. 

Mengapa ? Itulah dampak buruk dari politik oligarki. Pemimpin diciptakan oleh elite terlebih dahulu , yang kemudian dibesarkan oleh media massa, sosial media, diongkosi oleh cukong dan rakyat dapat sampah.

Bukan sistem yang salah tapi moral.

  Kita pertama kali mengadakan Pemilu tahun 1955. Kalaulah pemilu itu ongkosnya mahal. Mana pula kita negara baru berdiri bisa mengadakan pe...