minggu lalu dari berita Kompas saya baca pernyataan Pihak PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) bahwa KCIC telah melakukan kajian dengan menggandeng lembaga konsultan mengenai skema balik modal saat KCJB beroperasi. “Pada pengkajian terbaru kami melakukan perhitungan dengan mempertimbangkan kondisi terkini, potensi demand, forecast termasuk membentuk skema revenue stream atau skema usaha yang feasible untuk PT KCIC,”Kata mareka. Saya baca berita itu senyum saja. Mengapa ?
Ide skema revenue stream itu memang tadinya sudah dirancang oleh WIKA sebagai lead konsorsium KCIC. Karena skema revenue stream itulah maka muncul skema B2B. Tanpa ada keterlibatan APBN atau PMN. Jadi bukan hal yang baru. Setelah WIKA mundur sebagai lead konsorsium, PT. KAI menggantikannya. KAI minta PMN dan minta lagi penjaminan APBN atas hutang proyek. Karena itu Perpers soal proyek Kereta Cepat diganti agar bisa diubah skema, dari B2B ke APBN.
Apa yang saya tangkap dari pernyataan KCIC tak lain adalah upaya membujuk pemerintah agar tidak ragu melibatkan APBN. Dengan iming iming proyek tidak akan rugi. Karena tidak melulu mengandalkan Ticket kereta ( farebox revenue), tetapi juga non farebox revenue seperti sewa properti, pengembangan properti, aktivitas komersial stasiun, periklanan, ATM/vending machine, pertokoan atau ritel, bisnis telekomunikasi atau digital hingga pengembangan kawasan Transit Oriented Development (TOD).
Kalaulah skema WIKA dari awal diterapkan, engga perlu ada APBN. Karena gampang kok ngitung return nya. Mari kita hitung sederhana. Ada empat TOD. Kawasan sebagai TOD kereta cepat itu tanahnya sangat mahal. Cek aja di luar negeri. Atau mari bandingkan. Harga tanah di LIPPO Karawaci Rp. 20 juta/M2. Jarak tempuh jakarta tangerang tanpa Kereta cepat itu bisa 45 menit. Kalau TOD kereta cepat di Krawang, jarak tempuh Kereta Cepat dari Jakarta ke krawang 15 menit. Berapa harga tanah di TOD Krawang?. Pasti diatas Rp. 20 juta/m2. Itulah value dari TOD karena adanya akses kereta cepat.
Nah bayangkan kalau TOD 1000 hektar saja. Harga tanah Rp 30 juta/M2. Maka nilainya Rp. 300 triliun. Artinya, kalau investasi kereta cepat Rp. 120 triliun. Itu sudah dicover dengan kenaikan value tanah TOD. Belum lagi fee dari Digital payment gate way untuk ticket, iklan dan lain lain. Tetapi mengapa peluang besar itu tidak mampu di-engineering sebagai skema financing agar tidak melibatkan APBN? Jawabnya : itu karena tanah sudah dikuasai oleh penguasa rente.
Setelah kereta cepat selesai dibangun, KCIC akan kerjasama dengan pengusaha rente ( developer). Developerlah yang akan menikmati kenaikan value tanah TOD. KCIC hanya dapat remeh remeh saja. Toh resiko sudah ditanggung APBN. Seperti biasa cerita awalnya proyek bagus, dan memang bagus untuk pengusaha rente. Sementara China sebagai investor dan lender sudah untung dari pengadaan rel, gerbong dan lokomotif. Untung lagi dari bunga pinjman. Kalau nanti skema revenue stream gagal, ya China ambil alih proyek itu dengan harga diskon 50%. Sisanya negara harus bailout. Dasar tikus got
No comments:
Post a Comment