Waktu akan mendirikan republik ini, para bapak pendiri bangsa kita berangkat dari agenda masing masing. Mereka adalah kaum terpelajar. Jadi kalau mau jujur bahwa revolusi kemerdekaan indonesia itu lahir dari kaum bangsawan. Kalau dikelompokan ada tiga golongan. Satu, Nasionalisme. Kedua, Sosialis komunisme. Ketiga, Islam. Ketiga golongan ini bukan hanya ada dalam pemikiran. Mereka terbukti aktif dalam perjuangan politik melawan kolonialisme Belanda. Semua tokoh pergerakan pernah ngekos di Boven Digoel. Penjara di kawasan hutan lebat yang ada di Pulau Papua. Mereka ditangkap dan diasingkan karena dianggap membahayakan pemerintah kolonial Belanda.
Perbedaan diantara mereka hanyalah perbedaan metodelogi berjuang. Visi dan misi sama, yaitu menghancurkan sistem kolonialisme. Ketika mereka didudukan bersama dalam satu forum BPUPKI ( Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Perbedaan itu mengemuka. Kaum nasionalis, ngotot bahwa Indonesia harus menganut paham nasionalis. Kaum sosialis dan Komunis juga ngotot dengan agendanya. Kaum agama tetap berprinsip negara yang akan didirikan itu harus berdasarkan syariah islam. Bisa bayangkan. Mereka yang hadir dalam forum itu bukan sekedar pengamat. Tetapi aktifis pejuang yang pernah merasaka kejamnya penjara kolonial. Tentu tidak mudah mengalah.
Walau sekeras apapun mereka mempertahankan agendanya agar bisa diterima oleh yang lain, namun pada akhirnya satu sama lain bisa berdamai, yang dituangkan dalam satu piagam yang tidak menyebut agama, namun Ketuhanan Yang Maha Esa. Tidak menyebut nasionalisme tetapi Persatuan Indonesia. Tidak menyebut Sosialis komunis tetapi Keadilan sosial. Yang merekat tiga golongan itu adalah kemanusiaan yang adil dan beradab. Keberadaan mereka diakui semua dalam forum kerakyataan yang pimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusawaratan dan perwakilan. Jadi kalau boleh disimpulkan. Piagam Jakarta, yang kemudian jadi mukkadimah UUD 45 adalah piagam kompromi semua golongan. Tapi yang namanya kompromi bukanlah satu kata bulat yang menghilangkan perbedaan.
Setelah Indonesia merdeka dan masuk ajang revolusi. Perbedaan diantara mereka itu dibawa lagi. Kelompok Komunis memberontak. Kelompok Islam juga memberontak. Soekarno sebagai pemimpin nasional berusaha merangkul mereka yang berbeda itu dalam satu barisan nasional bernama Nasakom ( Nasionalis, komunis dan agama). Itupun gagal. Dianggap politik utopia. Sampai akhirnya Soekarno jatuh dan digantikan oleh Soeharto. Sebenarnya Soeharto melanjutkan cara Soekarno. Hanya istilahnya berbeda. Kalau Soekarno dengan istilah demokrasi terpimpin. Soeharto menyebut , demokrasi Pancasila. 32 tahun di bawah rezim Soeharto, bukan berarti tidak ada perbedaan. Tetapi dibungkam. Sampai akhirnya Soeharto jatuh, rezim reformasi terbentuk.
Gerakan reformasi yang menjatuhkan Soehato, adalah kelanjutan dari gerakan pro demokrasi ( prodem) di era Soeharto. Yang hebatnya gerakan pro demokrasi ini lahir dari tokoh islam sendiri, yaitu Gur Dur, Amin Rais, Nurcholish Madjid. Pemikiran mereka mempengaruhi para perwira TNI dan intelektual. Atas dasar itulah anggota DPR terpilih lewat Pemilu tahun 1999 merevisi UUD 45 dengan spirit demokrasi liberal. Apa yang terjadi ? golongan islam dapat panggung lagi. Karena tidak ada keharusan Parpol berasaskan Pancasila, maka idiologi Partai seperti pelangi.
Proses demokrasi terus bergulir. Saling tarik menarik antar kekuatan politik. Sehingga melahirkan bibit bibit radikalisme. Nah radikalisme ini musuh dari sistem demokrasi. Pada proses itulah para elite politik berpikir. “Kalau tidak ada upaya meredam radikalisme, bisa bubar negeri ini. Tapi gimana caranya? bukankah kita menganut demokrasi? bukankah radikalisme itu bagian dari kebebasan berpikir, dan itu diakui oleh sistem demokrasi. Tetapi harus ada sistem yang menjadi penentu cara berpikir yang benar menurut UU dan hukum. Engga bisa bebas sebebasnya”. Akhirnya semua kembali melirik ke Pancasila. Aha ini dia solusi.
Barulah tahun 2011 Pancasila menjadi dasar bagi semua UU dan aturan yang ada. Itu tertuang dalam UU No. 12/2011. Atas dasar itulah UU Parpol dan Ormas yang ada direvisi agar sesuai dengan Pancasila. Namun kebebasan berpikir dan pendapat orang perorang tidak dilarang. Kalau karena perbedaan berpikir dan berpendapat itu ada unsur kebencian menyinggung SARA maka ia menjadi ranah hukum. Kalau kebebasan berpendapat itu merugikan orang perorang, maka ia jadi ranah hukum. Dasarnya delik aduan. Itu semua diatur dalam UU Anti Teror 2018, UU Parpol 2014, UU Ormas 2017 dan UU ITE tahun 2016. Itu semua UU yang sudah direvisi sesuai Pancasila.
***
Benar kita merdeka tahun 1945. Benar kita punya UUD 45. Tahukah anda bahwa UUD 45 itu di create tidak lahir dari Pemilu. Ia dirancang oleh Soepomo. Waktu dia merancang UUD 45 itu hanya ditemani oleh Muhammad Yamin. Bapak pendiri bangsa kita yang lain tidak begitu peduli dengan UUD 45. Makanya ketika mereka menerima dan menyetujui UUD 45 itu bukan bulat tetapi dengan catatan. Kalau nanti keadaan normal, akan diperbaki. Artinya secara tidak langsung mereka belum tahu pasti negara Indonesia yang mereka dirikan itu bisa terus atau engga.
Kalau anda perhatikan UUD 45 itu terkesan sekali bahwa UUD 45 itu sangat feodalistik dan elitistik. Presiden itu menjadi lembaga tak tertandingi. 2/3 anggota MPR dia yang pilih. Artinya kapanpun dia bisa bubarkan MPR. Inpres dan kepres lebih sakral daripada UU itu sendiri. Artinya politik diatas hukum. Itu bisa dimaklumi karena perancangnya Dr. Soepomo berasal dari keluarga priayi. Dia almamater fakultas Hukum Rijksuniversiteit Leiden, di Belanda. Konsep UUD kita meniru fasisme dan otoritarianisme yang mengekang kebebasan dan hak-hak individual. Jelas bertentangan dengan Pancasila.
Pemikiran Soepomo terbukti kemudian mampu menjelma dalam praktik politik kenegaraan era Demokrasi Terpimpin Sukarno hingga ke era Orde Baru Soeharto. Kita barulah ada UUD yang lahir dari rakyat lewat pemilu langsung tahun 1999 dan 2003. Artinya kalau dihitung sekarang. Kita barulah 17 tahun punya UUD. Jadi kita itu masih remaja. Sejak tahun 2003 kita punya UUD untuk memilih presiden secara langsung. Kekuasaan presiden tidak lagi mutlak. DPR dan MPR adalah mereka yang dipilih langsung oleh rakyat lewat Pemilu.
Pengakuan Pancasila sebagai rujukan semua UU barulah tahun 2011 sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”). Sebelumnya Pancasila hanya ada dalam UUD tetapi tidak ada UU yang menegaskan peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Atas dasar UU 12/2011 itulah semua UU yang ada direvisi agar sesuai dengan Pancasila. Karena UU itu banyak sekali. Tentu tidak mudah mengubahnya. Jadi yang prioritas aja diubah dulu. Terutama UU Parpol diubah agar semua partai harus menyesuaikan AD/ART sesuai Pancasila. Itupun tidak mudah. SBY tidak ada keberanian mengubahnya. Barulah era Jokowi UU politik diubah. Tahun 2017, UU Ormas juga diubah agar sesuai dengan Pancasila. Makanya HTI dan FPI dibubarkan. Itu karena UU Ormas yang baru.. Jadi kalau sebelumnya mereka bebas bergerak, itu karena memang tidak ada UU yang mengharuskan adanya Pancasila sebagai AD/ART.
Apa artinya? Sampai dengan sekarang, usia negara Pancasilais baru 9 tahun. Usia ABG juga belum. Jadi wajar saja bila situasi politik agak memanas. Karena elite politik tidak semua happy dengan adanya Pancasila. Terutama mereka yang ingin mempertahankan statusquo. Apalagi bagi mereka yang punya agenda negara islam dan Khilafah. Andaikan bukan PDIP partai pemenang pemilu dan bukan Jokowi sebagai presiden, mungkin Pancasila hanya ada dalam retorika.
***
Zaman Pak Harto politik jadi panglima. Walau pak Harto bicara Pancasila. Namun soal keadilan sosial dia tidak peduli. Keadilan hanya diantara dia dan kroni saja. Apakah salah? tidak. Mengapa ? karena UUD 45 memang memberikan kekuasaan penuh secara sistem kepada Presiden. Semua produk UU lahir dari persepsi Soeharto sendiri tentang Pancasila. Hanya dia yang berhak mendefinisikan Pancasila. Ngeyel ? itu dianggap bahaya laten. Dianggap komunis. Anti Pancasila.
Setelah reformasi, UUD 45 direvisi. Namun mengubah UU dan peraturan dibawahnya tidak mudah. Makanya keadilan sosial seperti amanah Pancasila belum juga tercapai. Contoh, tahun 2003 Megawati menggunakan kepres untuk menghentikan Freeport dan Caltex. Karena tidak sesuai dengan Pancasila. Tetapi era SBY itu dibatalkan. Mengapa ? Karena kepres itu tidak ada dasar UU nya. Mengapa pembangunan tidak merata seperti era Jokowi? karena memang belum ada amanah UU untuk itu. Ya SBY tidak salah. Dia kerja dasarnya adalah UU.
UU minerba baru ada tahun 2009. Itupun butuh 2 tahun untuk bisa diimplementasikan. Tahun 2011, belum juga bisa diimplementasikan. Karena ada pasal yang yang membelenggu pemerintah khususnya larangan ekspor. Nah tahun 2011 keluarlah UU 12/2011 yang mewajibkan semua UU sesuai dengan Pancasila. Tahun 2017 Jokowi keluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 (PP 1/2017). Itu sebabnya kita bisa membatalkan KK Freeport yang sudah menguasi SDA Papua lebih dari 30 tahun. Tahun 2020 barulah UU minerba direvisi sesuai dengan Pancasila.
Jadi kalau di era Jokowi pembangunan merata ( indonesia centris), dan banyak pejabat dan kepala daerah ditangkap KPK , itu karena UUD 45 kita yang direvisi tahun 2003, sudah sesuai dengan amanah Pancasila. Ratusan triliun uang digelontorkan ke Papua dan Sumatra membangun infrastrutkur, padahal secara ekonomi tidak feasible, dan mayoritas rakyat Sumatera tidak memilih Jokowi. Tetapi Jokowi tetap bangun. Itu karena amanah Pancasila. Kalau HTI dan FPI dibubarkan, itu karena amanah UU yang tertuang dalam UU Ormas sesuai dengan Pancasila.
Mengapa era Jokowi paling banyak presiden dibenci dan politik selalu memanas.? Itu juga karena perubahan dari negara kekuasaan menjadi negara Pancasila tidak semua elite suka. Terbukti era SBY selalu aman. Karena memang lebih banyak elite ( Partai dan agama) yang anti pancasila diterapkan dalam UU. Jadi sayang. Kalau pemerintah hebat sekarang. Itu karena kita punya UUD yangmana UU serta aturannya sesuai denga Pancasila. Contoh SMI itu adalah menteri era SBY. Mengapa era SBY dia tidak berprestasi hebat seperti era Jokowi ? Ya karena waktu dia jadi menteri negeri ini belum menerapkan Pancasila. Pancasila hanya sebatas retorika. Sifatnya masih kepada kekuasaan, bukan keadilan sosial.
PR bangsa ini banyak sekali. Masih banyak UU belum direvisi sesuai UUD. Nah UU Cipta Kerja itu salah satu cara jalan pintas agar UU yang berkaitan dengan ekonomi bisa sesuai dengan Pancasila. Yang lain seperti desentralisasi dan otonomi daerah serta lainnya masih berproses. Tentu butuh waktu. Loh ibarat usia, kita menerapkan pancasila baru 9 tahun. ABG juga belum. Sabar dan tetap semangat kawal negeri ini. Jangan pernah lelah mencintai negeri ini dan janga pernah kehilangan harapan.
***
UUD 45 itu disusun atas dasar pokok pokok pikiran sebagaimana tertuang dalam mukadimah. Apa pokok pokok pikiran itu ? ada empat alinea. Pertama. Alasan objectif mengapa kita harus bebas dari kolonialisme. Alasan subjectif bahwa kemerdekaan itu aspirasi rakyat Indonesia. Kedua. Mengapa kita harus merdeka. Ini berkaitan denga cita cita, berdaulat, adil dan makmur. Ketiga alasan spiritual yang luhur atas Proklamasi Kemerdekaan. Keempat. Menegaskan tujuan dan prinsip dasar untuk mencapai tujuan nasional. Bahwa negara Indonesia berbentuk Republik yang mempunyai dasar falsafah Pancasila.
Mari kita lihat apakah semua pasal pasal dalam UUD 45 itu sesuai dengan ruh yang ada pada mukadimah. Ternyata dari 37 pasal UUD 45, hanya ada empat pasal saja. Yaitu pasal 29 yang ada korelasinya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 34 yang ada kaitannya dengan sila kedua. Sementara sila ketiga yang berkaitan dengan Pesatuan Indonesia diatur dalam UU Kewarganegaraan, penggunaan hukum nasional dan membela tanah air. Dalam UUD 45 tidak ada. Padahal itu penting sekali. Pasal 2 Ayat 2 yang terkait dengan sila ke empat. Pasal 33 berkaitan dengan keadilan sosial.
Bagaimana dengan yang lain? Itu debatable ke MK. Lucu ya. Kok ada lembaga yang tidak dipilih langsung oleh rakyat punya hak mempersepsikan Pancasila. Lebih berkuasa daripada DPR. Mengapa ? karena dalam amandemen UUD 45 tahun 2002, tidak ada pasal yang khusus menyebutkan bahwa idiologi negara adalah Pancasila. Makna pancasila hanya tersirat pada Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 “Dengan ditetapkannya Perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia terdiri atas pembukaan dan pasal-pasal”
Perhatikan dengan logika sederhana. Kalau membaca pasal II, Mukadimah itu setara dengan pasal pasal yang ada dalam UUD 45. Atau dua hal yang berbeda dan berdiri sendiri sendiri. Padahal prinsip mukadimah kan adalah dasar atau ruh untuk lahirnya pasal pasal yang ada. Apa engga kacau Pasal II itu.? Lantas bagaimana dengan UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) harus sesuai dengan Pancasia. Bagaimana dengan eksitensi pasal pasal yang ada dalam UUD 45 ? Toh keduanya ( mukadimah dan Pasal pasal UUD 45 ) kan sama sama dasar negara. Itu sama dengan dua matahari kembar. Apa engga debatable lagi ? Kacau.
Megawati menyadari kerentanan dasar negara kita. Problemnya ada pada persepsi terhadap Pancasila yang tidak sama. Ini akan mengancam stabilitas politik karena instabilitis konstitusi Makanya Megawati mengusulkan RUU Haluan Idiologi Pancasila (HIP). Tujuannya adalah agar semua punya persepsi sama. Kesamaa itu dituangkan dalam RUU HIP. Siapa yang protes? Ya Golkar. Karena Golkar sudah punya persepsi sendiri soal Pancasila seperti mereka mengawal Pak Harto selama 32 tahun. PKB , PKS dan PAN, juga punya persepsi sendiri tentang Pancasila. Patokannya adalah piagam jakarta dimana mencantumkan syariah islam pada sila pertama. Sementara partai pragmatis seperti Nasdem, Demokrat , Gerindra mikir mikir dulu.
Akhirnya RUU HIP itu batal masuk Proglegnas tahun 2021 walau sudah didaftarkan. Padahal kalau masuk pembahasan di DPR kan semua pihak boleh bersuara untuk menyampaikan gagasannya. Tetapi mereka lebih memilih Pancasila berada di grey area. Dalam jangka panjang berbahaya bagi kelangsungan negeri ini. Dengan demikian, perjuangan untuk melahirkan sebuah idiolologi yang final dan menjadi sumber dari semua UU dan aturan yang ada masih panjang. Karena sebagian besar elite kita memang orientasinya adalah kekuasaan atas dasar promodial, elitis dan sentralistik. Semoga PDIP tetap semagat dan tidak pernah kehilangan harapan.
No comments:
Post a Comment