Wednesday, October 23, 2019

Tantangan Ekonomi dan Sosial Jokowi.

Rasio GINI
Kalau mau jujur dan objective, tidak ada orang yang bisa membantah bahwa diperiode pertama Jokowi mencatat sukses significant. Apa itu? Pertama, Indonesia sukses mempertahankan inflasi di bawah pertumbuhan ekonomi. Kedua, Indonesia juga mampu melakukan restruktur APBN yang berdampak naiknya rating surat utang Indonesia. Dua Hal ini secara makro hampir tidak ada presiden yang pernah berkuasa di Indonesia mampu mempertahankan kinerja selama 5 tahun seperti Jokowi. Padahal Jokowi melakukan itu di bawah tekanan krisis global dan ketidak pastian ekonomi global. Ditambah lagi adanya perang dagang. Walau banyak pihak tetap nyinyir yang katanya dibawah target, itu tetap tidak bisa membantah fakta bahwa Jokowi telah melakukan yang terbaik dibandingkan presiden sebelumnya.

Di balik sukses itu , tentu ada kekurangan yang harus menjadi PR bagi Jokowi diperiode kedua ini. Apa itu ? Rasio Gini, walau membaik tapi masih tinggi. per Maret 2019 menunjukkan Gini Ratio ( berdasarkan konsumsi ) berada di angka 0,382. Per Maret 2019, jumlah penduduk miskin sebesar 25,14 juta jiwa. Jumlah ini susut 2,59 juta jiwa dibanding posisi September 2014, sebulan sebelum Jokowi menjabat sebagai presiden atau secara persentase penduduk miskin turun 155 basis poin menjadi 9,41 persen. Padahal selama 5 tahun Jokowi berkuasa, indonesia telah belanja lewat APBN sebesar kurang lebih Rp. 10.000 triliun. Jadi penurunan rasio Gini, angka kemiskinan tidaklah significant dibandingkan dengan belanja pemerintah selama 5 tahun.

Kemana pengaruh berganda atas belanja yang begitu besar itu ? Berdasarkan data dari Global Wealth Report 2018 yang dikeluarkan oleh Credit Suisse, ketimpangan berdasarkan kekayaan ( bukan konsumsi), satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6,% kekayaan nasional. Itu terjadi peningkan dibandingkan tahun 2017 yang 45,4%. Artinya tahun ketahun ketimpangan kaya dan miskin itu semakin meningkat. Kalau dibandingkan dengan Turki, Thailand, Rusia, dan India, Indonesia lebih buruk. Buruk dari segi distribusi kekayaan secara adil atau mendekati adil.

Lantas apa penyebab ketimpangan kekayaan itu ? Berdasarkan Indeks Crony Capitalism, Indonesia berada dalam urutan ke-7 terburuk di dunia. Itu artinya sekitar dua pertiga kekayaan dari orang terkaya di Indonesia berasal dari sektor kroni (crony sectors). Memang Ini tidak datang mendadak tetapi merupakan warisan era presiden sebelumnya. Mereka menguasi konsesi tambang, perkebunan besar dan penguasaan lahan property yang sangat luas. Contoh luas lahan BSD, itu lebih besar dari kota Solo. Belum lagi yang lain.

Apa penyebab begitu besarnya sumber daya ekonomi dikuasai segelintir orang ? Hampir semua Pimpinan partai dan elitenya adalah pengusaha, yang terhubung dengan jaringan bisnis konglomerat dalam dan luar negeri. Contoh, semua tahu bisnis di belakang Prabowo dan Sandi dari Gerindra. Bisnis di balik Surya Paloh dari Nasdem. Di balik bisnis Erlangga ketua Umum Golkar. Walau ada partai lain yang bukan pengusaha tetapi di belakang mereka banyak konglomeratnya. Antara pengusaha dan penguasa sulit dipisahkan.

Lantas apa solusinya ? Pertama, harus ada UU yang membatasi penguasaan lahan dan tambang. Atau orientasi lahan dan tambang adalah produksi dan downstream. Kedua , diberlakukannya pajak progressive yang ekstrim atas penguasaan lahan yang tidak diolah. Jadi orang tidak mungkin bisa lagi spekulasi dilahan. Ketiga, sistem pencegahan korupsi in-line dengan reformasi birokrasi berbasis IT. Keempat,sistem pencegahan korupsi harus lebih efektif. Kelima, insentif kepada UKM dan perluasan akses terhadap sumber daya keuangan, yang tidak hanya mengandalkan perbankan.

Saya yakin, Jokowi memahami persoalan bangsa ini dan sudah memetakan solusi seperti yang saya sampaikan diatas. Saya berharap janji Jokowi yang berkata “ saya nothing to lose “ itu suatu isyarat bahwa dia akan hadapi semua hambatan yang menghalanginya melakukan upaya mengurangi Rasio Gini. Saya sangat mudah tahu keseriusan Jokowi itu. Cukup lihat siapa menteri ESDM, Pertanahan ( BPN) , Pertanian dan menteri Perdagangan/perindustrian, Koperasi dan UKM. Kalau mereka dari partai, itu artinya oligarki politik atau partai menyandera Jokowi. Saya akan mendorong Jokowi menghadapi itu lewat kritik keras terhadap setiap kebijakan kementrian tersebut.

Ketimpangan distribusi kekayaan.
Saya diskusi dengan konsultan untuk mendapatkan informasi prihal bisnis industri baterai di Indonesia. Ada yang menarik kata katanya. Sebagian besar pengusaha tergolong konglomerat di Indonesia hanya focus gimana membangun industri otomotif bertenaga listrik. Menurutnya ini ciri khas bisnis rente. Mengapa ? Karena mereka hanya melihat pontensi pasar otomotif dan fasilitas kredit dari bank. Tapi akhirnya tidak ada value yang bisa didapat secara nasional. Karena bisnis yang utama pada kendaraan listrik itu bukan manufaktur otomotif tetapi adalah industri baterai dan sistem recharge. Nah ini membutuhkan visi industri dan keberanian pengusaha.

Di Indonesia yang menyedihkan adalah 90 % pengusaha kaya raya tidak punya visi industri. Umumnya mereka mental pedagang. Perhatikanlah, yang kaya raya dari otomotif hanya menikmati rente tukang jahit saja sebagai ATM. Yang kaya raya dari kebun sawit, hanya menikmati rente dari jual CPO. Yang kaya raya dari tambang hanya menumpuk uang dari rente material tambang. Yang kaya dari properti, hanya menumpuk uang dari rente perumahan mewah. Yang kaya raya dari bisnis Unicorn hanya hidup dari rente market place. Begitu seterusnya.

Padahal mereka yang kaya raya dari bisnis rente itu hanya 1 % dari penduduk Indonesia atau 2,6 juta orang saja. Tetapi mereka menguasai 46,6% kekayaan nasional. Kalau kekayaan nasional itu dalam bentuk PDB senilai USD - triliun maka total kekayaan 2,6 juta orang itu mencapai hampir USD 500 miliar atau Rp 9000 triliun. Lantas apa jadinya bila segelintir orang yang punya harta Rp 9000 triliun itu kerjanya hanya dari menikmati rente tanpa ada value untuk pendistribusi kekayaan lewat distribusi peluang usaha dan sistem ekonomi ? Hasilnya ketimpangan kekayaan akan semakin lebar. Indonesia akan masuk jebakan kelas menengah dan berpotensi terjadi chaos ekonomi yang berujung revolusi.

Solusinya adalah focus kepada pemberdayaan UKM, yang pada waktu bersamaan memaksa semua pengusaha yang menguasai SDA harus melakukan industrialisasi secara terpadu. Yang tidak sanggup, cabut izin usaha konsesi nya. Nah masalah UKM itu engga sulit. Yang diperlukan adalah memberikan akses pasar, tekhnologi dan management. Soal mental enterpreneur sudah mereka miliki. Gimana caranya ? Kita bisa ambil salah satu contoh metodelogi bisnis franchise atau waralaba, dimana provider sang prinsipal menawarkan kemudahan akses bisnis secara modern agar mudah mitra nya mengakses market place, financial, tekhnologi.

Perhatikan data berikut. Data tahun 2016, Di Indonesia tercatat ada 698 waralaba dengan jumlah gerai 24.400 yang terdiri dari 63% waralaba lokal serta 37% mancanegara. Dengan omzet mencapai Rp 172 triliun. Peningkatan year to year tertinggi dibandingkan bisnis lain, yaitu mencapai 10%. Jumlah newcomer enterpreneur diciptakan dari bisnis Waralaba ini mencapai 90.000. Belum termasuk jumlah karyawan yang terlibat. Nah kalau metodologi waralaba ini diterapkan dalam berbagai bisnis UKM dan informal, dalam waktu singkat akan bermunculan bisnis UKM yang modern dan lentur terhadap perubahan. Apalagi pemerintah menyediakan sistem pasar modal sekunder untuk bisnis UKM, yang sehingga akses permodalan akan lebih mudah didapat.

Dan pemerintah seharusnya lebih hebat dari provider waralaba. Karena negera punya hak mengatur dan sumber daya besar untuk membina dan mengarahkan. Lakukanlah itu. Hanya itu cara terbaik agar Indonesia Jaya dan tidak berujung chaos sosial karena ketimpangan distribusi kekayaan...

1 comment:

Masa depan IKN?

  Jokowi mengatakan bahwa IKN itu kehendak rakyat, bukan dirinya saja. Rakyat yang dimaksud adalah DPR sebagai wakil rakyat. Padahal itu ini...