Pada 1978, AM Fatwa ditahan di Yon 202 dan RTM Guntur karena terlibat bersama Gerakan Dewan/Senat Mahasiswa serta Ormas Extra Universiter, mengkritik kebijakan Pemerintah Orba. Kritik paling keras terutama adanya Dwi fungsi ABRI. Kemudian, Pada 12 September 1984, AM Fatwa ditangkap dalam kasus lembaran putih peristiwa Tanjung Priok. Dia ditangkap lantaran khutbah-khutbah politiknya yang kritis terhadap Orde Baru. Pengadilan ketika itu menjatuhkan vonis 18 tahun penjara. AM Fatwa efektif menjalani hukuman selama 9 tahun dan setelah itu dia mendapatkan amnesti. Selain AM Fatwa ada juga Tony Ardi, Mawardi Noor, Oesmany Al Hamidy, Hasan Kiat, dan lainnya.
Budiman Soejatmiko, aktivis pro demokrasi ditangkap rezim Soeharto karena Peristiwa 27 Juli 1996. Ia divonis dengan hukuman 13 tahun penjara. Karena kemenangan gerakan demokrasi, Budiman hanya menjalani hukuman selama 3,5 tahun setelah diberi amnesti oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada 10 Desember 1999. Selepas dari penjara, Budiman melanjutkan pendidikan Ilmu Politik di Cambridge University, Inggris. Setelah kembali ke Indonesia, pada akhir 2004 bergabung ke PDI Perjuangan, dan membentuk REPDEM (Relawan Perjuangan Demokrasi), sebuah organisasi sayap partai
Zaman Soeharto betapa banyak Ulama dan Aktivis yang dimusuhi oleh Soeharto. Tetapi tidak ada satupun yang lari keluar negeri untuk mendapatkan simpatik masyarakat international. Beberapa dari mereka ada yang di penjara. Ada juga yang hilang tanpa nisan. Begitu kejamnya rezim Soeharo, tetapi itu tidak sampai membuat para aktivis dan ulama sampai menjadi pelacur asing dan mengharapkan simpati masyarakat international. Bagi mereka “ salah atau benar, tetaplah negera kami. Itu semua antara kami dengan penguasa. kami semua anak bangsa. Kalau karena itu kami di tahan dan di penjara, itu bukanlah sia sia. Kami siap jadi martir yang akan dicatat dalam sejarah, bahwa kami pernah berbuat”. Sejarah mencatat, perjuangan mereka tidak sia sia. Soeharto pun tumbang.
Kalau saya perhatikan aktivis sekarang, memang terkesan sangat berani menentang pemerintah tetapi dengan niat bukan untuk tegaknya keadilan. Tetapi lebih kepada agenda asing. Terbukti kalau kena kasus, lari keluar negeri. Seperti yang dilakukan oleh Veronica Koman, pegiat HAM, yang memilih lari keluar negeri dan berkoar koar di luar negeri. Merasa paling benar dan berhak mendapatkan perlindungan HAM international. Padahal RI masih bediri dan UU dan Hukum RI masih diakui oleh PBB. Seharusnya dia pulang ke Indonesia untuk menghadapi proses hukum.
Di era sekarang berbeda denga Era Soeharto. Era sekarang pengadilan terbuka. Semua orang bisa nonton proses pengadilan. Media massa bisa meliput. Tentu tidak mudah bagi pemerintah untuk merekayasa kasus. Tetapi mereka tidak siap untuk itu, dengan alasan distrust terhadap pemerintah. Sekali lagi, saya katakan bahwa mereka tidak memperjuangkan keadilan tetapi memperjuangkan agenda asing. Dan sadar bahwa apa yang dia lakukan itu salah, dan penuh dengan kemunafikan. Anehnya sikap Veronica itu didukung oleh 7 ormas pegiat HAM. Kalau saya pernah menulis soal proxy asing , maka yang mendukung veronica itu anda bisa simpulkan sendiri.
Di samping Veronica Koman ada juga yang lain, yang lari ke luar negeri , termasuk para koruptor dan penjarah BLBI. Hanya bedanya para penjarah, benar benar menghilang dari publik dan tak bersuara apapun di luar negeri. Bagi saya, mereka tidak pernah mencintai negeri ini. Masing masing punya cara untuk merusak negeri ini. Tujuannya adalah uang!
No comments:
Post a Comment