Sunday, July 28, 2019

Mental Feodalisme

Suka tidak suka, negara kita masih dikuasai oleh faham feodal. Saya rasakan sendiri. Waktu masih remaja, bagaimana keluarga PNS dekat rumah saya memandang rendah kepada keluarga kami yang miskin. Saya pernah datang ke rumah sepupu ibu saya yang kerja di Bank. Saya harus duduk dilantai untuk nonton TV, sementara anak anaknya duduk di sofa. Saya tidak mungkin makan satu meja dengan mereka. Mesin birokrasi memang di design dengan mental feodal itu.
Jarak antara rakyat dengan penguasa jauh sekali. Waktu SD saya harus latihan selama seminggu untuk mengibarkan bendera merah putih dari kertas. Itu dalam rangka menyambut kedatangan Pak Harto. Tapi ketika kendaraanya melaju depan sekolah, kami tidak bisa melihat Pak Harto. Kendaraan bersama rombongan melaju dengan kecang. Bahkan di era sekarang masih banyak orang bangga punya kendaraan mewah dan rumah mewah dikawasan elite sebagai lambang status ia berbeda dengan orang kebanyakan.
Kehadiran Jokowi di pentas Politik mendobrak budaya feodal itu sendiri. Jarak antara penguasa dengan rakyat sangat dekat. Disetiap ada kesempata, siapapun bisa berjabat tangan dengan presiden dimana saja kapan saja, Birokrat bukan lagi jabatan bergengsi yang bersih dari noda. Presiden tidak punya seragam seram. Berganti dengan baju putih lengan panjang yang digulung setengah lengan. Tidak sedikit birokrat dari level menteri, kepala Daerah, direksi BUMN masuk bui. Dipermalukan, digelandang dengan jacket kuning masuk gedung KPK.
Kalau dulu pedagang atau pengusaha adalah second class. Beda dengan PNS. Makanya hanya etnis China dan keluarga miskin yang tak punya kesempatan kuliah yang jadi pedagang. Tapi sekarang profesi pedagang atau pengusaha jadi terhormat. Artis merasa bangga kalau punya suami pengusaha. Presiden pun berlatar belakang Pengusaha. Banyak anggota DPR dan menteri berlatar belakang pengusaha. Era sekarang paham feodal sudah berderak tinggal tunggu hancurnya. Digantikan dengan paham egaliter. Lihat Jack Ma, Mark, keluarga Hartono boss Jarum dan BCA, semua miliarder tampil sederhana, egaliter.
Golkar, memang sudah berganti menjadi partai Golkar. Namun dari Golkar itu lahirlah Gerindra, Hanura, Nasdem, PD. Mindset nya masih kepada feodalisme itu. Jabatan menjadi segala galanya. TKN dan BPN dibubarkan namun kesibukan lobi minta jatah meteri terus berdengung seperti tawon ditengah ratu lebah. Politik dimaknai bagaimana menciptakan pundi pundi uang. Dari uang itulah pengaruh dibeli untuk melancarkan agenda uang dan harta. Dari uang itu suara rakyat dibeli walau harus dikemas dengan narasi agama dan utopia.
Tidak ada agenda yang sesungguhnya dari mereka untuk kepentingan pembangunan peradaban yang egaliter. Revolusi mental di era Jokowi sangat berat. Karena mengubah mental feodal itu sama saja mengusik jantung para elite politik yang masih terjebak dalam status quo. Masih ada partai yang terus berusaha mempertahankan status quo itu. Ingin mengekalkan faham feodal itu melalui sistem organisasi partai yang elitis. Bagi mereka politik hanya sebuah permainan. Siapapun dimanfaatkan dan akhirnya dilupakan. Yang pasti pesta harus terus belanjut tanpa jeda, walau kelak yang jadi Presiden 2024 adalah Anies.
Kita harus terus menyuarakan revolusi mental lewat moral politik dan kepemimpinan. Menjadi oposisi terhadap elite yang masih punya mental feodalisme. Setiap kebijakan bernuansa rente, kritik habis. Setiap dukungan politik kepada orang yang engga bener, harus di kritik. Engga ada urusan retorika itu hanya taktik atau apalah. Dengan kritik cerdas kita berharap mereka mau beruban dan punya rasa malu. Bahwa kita tidak terlalu bodoh untuk dibegoin. Sekali kita lengah negeri ini dibantai oleh elite untuk meneruskan feodalisme dan anak cucu kita jadi budak. Cukup satu kata. Lawan!

No comments:

Menyikapi keputusan MK...

  Pasar bersikap bukan soal kemenangan prabowo -gibran. Tetapi bersikap atas proses keputusan yang dibuat oleh MK. Pasar itu jelas cerdas, l...