Saturday, May 13, 2017

Menjatuhkan Jokowi..


"Di Thailand yang kaya dan miskin sama agamanya. Di Filipina juga begitu, baik yang kaya maupun miskin memiliki agama yang sama. Sementara di Indonesia yang kaya dan miskin berbeda agama," kata Wakil Presiden M Jusuf Kalla saat menutup sidang tanwir Muhammadiyah di Ambon, Ahad (26/2). JK menjelaskan di Indonesia sebagian besar orang yang kaya adalah warga keturunan yang beragama Khonghuchu maupun Kristen. Sedangkan orang yang miskin sebagian besar Islam dan ada juga yang kristen. Benarkah ? Tahun 2014 data BI, dari total 140 juta rekening nasabah perbankan, sebanyak 3% ( 4,2 juta) nasabah menguasai 67% dana di perbankan. Kalau total dana nasabah diperbankan sebesar Rp 3.392 triliun maka 4,2 juta nasabah menguasai Rp.2.270 Triliun atau kurang lebih sama dengan USD 200 miliar. Artinya komunitas elite yang jumlahnya hanya 3% dari penduduk Indonesia. Bagiamana kekuatan dari 3% orang itu dalam menguasai bisnis rente ? Menurut Merrill Lynch , Co serta perusahaan konsultan Capgemini Lorenz ( 29 september 2010 ) dalam laporannya menyebutkan hanya sekitar 20,000 saja dari 200 juta lebih rakyat Indonesia yang punya akses kesektor nontradable (rente) ini.Jadi bisa bayangkan 20.000 orang itu berapa persentasenya terhadap jumlah penduduk. Mereka elite dari yang ter-elite, termasuk keluarga JK.

Keberadaan mereka merupakan satu satunya kado terpahit dari era Soeharto kepada Rakyat Indonesia. Eksistensi mereka karena kebijakan diskriminasi politik rezim Soeharto terhadap etnis keturunan non muslim  yang tidak berhak mendapatkan posisi politik maupun birokrasi di pemerintahan. Mereka awalnya hanya dijadikan proxy kekuasan untuk memperkaya diri penguasa lewat bisnis rente. Namun lambat laun, keberadaan mereka bukan hanya sebagai proxy penerima komisi haram bisnis monopoli tapi juga sebagai mesin ekonomi pemerintah Soeharto dalam melaksanakan GBHN di bidang investasi dan perdagangan. Pada proses ini etnis keturunan bukan hanya sebagai proxy atau vehicle kekuasaan tapi juga mitra dari banyak keluarga Penguasa dan keluarga pejabat yang dekat dengan Cendana. Lambat laun proses ini menjadi sistem yang mungkin paling korup didunia. Dimana negara terjebak bukan hanya soal korupsi tapi juga kolusi dan nepotisme. Karena itu fundamental ekonomi sangat renta sekali. Sangking rentanya, hanya pukulan kecil dari fund manager sekelas George Sorros bisa membuat ekonomi yang siap jadi macan asia  berubah jadi kucing kurap. Indonesia terkena krisis moneter terburuk sepanjang sejarah. Soeharto pun jatuh. Apakah konglomerat itu juga jatuh ? 

Walau Soeharto jatuh, dan berganti rezim reformasi namun keberadaan mereka tetap eksis. Walau paska kejatuhan Soeharto, sebagian besar asset mereka disita oleh negara lewat BPPN , namun itu dapat disiasati dengan lahirnya proxy berupa konglomerat baru, yang menguasai kembali asset tersebut. Para proxy itu sekarang telah tercatat sebagai orang kaya baru di era reformasi. Tadinya mereka hanyalah consultant atau rekanan atau fund manager dari sang konglomerat. Sementara sang konglomerat yang sebenarnya sebagai tuan dari sang Proxy, menikmati masa tuanya dengan damai. Ada yang jadi kolektor lukisan dan benda seni, ada yang jadi dosen dan sekaligus pemilik Lembaga pendidikan, ada yang jadi pengamat, ada yang jadi filantropi untuk para aktifis LSM, ormas, dan menjadi silent supporter Partai. Karenanya tidak ada satupun perubahan kekuasaan paska reformasi tanpa campur tangan sang konglomerat. Jadi kalau ingin tahu siapa sebetulnya yang menciptakan stabilitas politik dalam negeri ? ya konglomerat. Dari balik kemewahan istana pribadinya yang ada dikawasan super elit di dalam dan luar negeri, mereka memberikan pengaruh lewat kepemilikan saham di perusahaan media massa, lewat yayasan sosialnya mereka memberikan pengaruh kepada ormas dan LSM yang didonasinya. Lewat LSM yang berafiliasi dengan yayasannya , mereka menjalin hubungan dekat dengan elite partai. Sehingga tidak ada satupun insfrastrutur dan suprastruktur sosial , politik ,budaya dan agama yang tidak bisa mereka akses. Semua karena tidak yang lebih penting yang di perjuangkan kecuali UANG. Dan lewat kekuatan uang itulah mereka betindak sebagai silent power. Mereka bergerak bagaikan bayang bayang dan ada dimana mana.

Era Jokowi.
Dalam jumpa pers setelah hasil quick Count menentukan Jokowi mengalahkan PS, nampak hadir Sofian Wanand. Saya tahu bahwa Sofian Wanandi adalah ketua Aosiasi Pengusaha Indonesia yang anggotanya pengusaha etnis keturunan, berada dibalik suksesnya Jokowi menjadi RI-1. Ini sudah bisa ditebak bahwa kemenangan Jokowi karena bersatunya konglomerat yang tidak suka kepada PS. Tapi ketidak sukaan mereka kepada PS bukan alasan idealisme. Tapi karena orientasi politik PS yang tidak bisa lepas dari pengaruh Hashim Sujono Djojohadikusumo. Citra Hashim sebagai pebisnis dianggap bukan mitra yang baik bagi konglomet. Itu dibuktikan pengalaman mereka berbisnis dengan Hashim ketika PS menjadi menantu kesayangan Soeharto. Ketidak-sukaan mereka kepada Hashim memang sistematis. Bahkan di era reformasi, bisnis Hashim di pertambangan di akuisisi secara paksa oleh Erwin putra keluarga William Soeyajaya melalui Sandiaga Uno sebagai proxy. Namun satu hal yang konglomerat itu lupa, bahwa dukungan mereka bukan kepada Jokowi tapi kepada PDIP. Karena itu JKW tidak perlu merasa punya hutang kepada mereka. 

Karenanya berbagai kebijakan Jokowi setelah berkuasa lambat laun menggerogoti portfollio mereka. Jokowi focus dan konsisten dengan program  pro rakyat melalui kebijakan keras memangkas business rente, reformasi ekonomi yang memberikan peluang bagi siapa saja untuk mengembangkan business nya di Indonesia. Perluasan insfrastruktur umum agar logistik system murah mendistribusikan potensi wilayah, dianggap mereka itu ancaman. Tidak ada lagi ekslusifitas. Mereka tidak ingin kesejahteraan rakyat itu lewat keadilan distribusi sumber daya. Mereka hanya inginkan rakyat semakin tergantung kepada Pemerintah dan pada waktu bersamaan pemerintah tergantung kepada pengusaha untuk mendatangkan pajak bagi APBN melaksanakan fungsi sosialnya memberikan subdisi dan lan lain kepada rakyat. Semakin mandiri rakyat semakin kuat pemerintahan, dan karena itu bisnis rente akan mati dengan sendirinya. Mereka tidak suka itu. Bisnis mereka sejak era JKW mulai menyempit dan semakin sulit. Serangkaian kebijakan jokowi memang membuat mereka gerah, dan karena itu perlu upaya serius menghentikan rezim Jokowi. Dalam hal ini PDIP dalam posisi dilematis, sama seperti mengusung Ahok.

Menjatuhkan Jokowi.
Jujur saat sekarang berdasarkan survey, belum ada pemimpin tingkat nasional yang bisa menandingi elaktabilitas dan popularitas Jokowi. Menjatuhkan Jokowi melalui hukum seperti Gus Dur tidak bisa. Karena jokowi tidak melakukan pelanggaran hukum dan lagi Jokowi di pilih langsung oleh rakyat. Maka cara efektif dan efisien menjatuhkan Jokowi adalah menutup akses kemungkinan Jokowi menang di pilpres 2019. Caranya ? Mereka mempersatukan semua kekuatan nasionalis maupun agama dalam satu barisan penentang Jokowi. Ya issue agama dan primodial akan digoreng terus menerus. Setelah Ahok berhasil di kalahkan lewat kampanye agama, kini Agama dipakai untuk menjatuhkan Jokowi karena bertanggung jawab memperlebar gap kaya miskin di indonesia. Dimana kemiskinan itu lebih banyak orang islam. Untuk memperluas keyakinan publik  bahwa Jokowi anti Islam adalah menjadikan issue pro-Beijing sebagai bukti Jokowi pendukung bangkitnya kembali PKI dan juga fitnah tentang Jokowi lahir dari keluarga Komunis terus di tebar lewat berbagai seminar gelap dan sosmed akun abal abal. Politik di jadikan gaduh. Dibalik itu semua uang di tebar agar ormas dan LSM jadi corong dan mesin propaganda menjatuhkan citra Jokowi. Uang itu tentu mengalir dari segelintir orang yang inginkan arah kebijakan ekonomi dan politik kembali ke era Soeharto. Dimana pesta tidak pernah usai…

Friday, May 12, 2017

Keadilan...?



Penduduk Jakarta itu mayoritas beragama Islam. Mereka tidak semua penganut agama yang taat.  Kehidupan malam yang bau lendir dan siang yang penuh kepengohanan di jalan raya tak menyiratkan penuh bahwa Jakarta kota religius. Tapi ada yang sesuatu yang tak pernah dilihat oleh sebagian orang tapi dapat dilihat dengan kacamata inteligent bagi yang pernah belaljar teror kota. Bahwa sejahat jahatnya orang Jakarta, selagi dia Islam maka dia akan terpanggil membela agamanya. Mengapa ? Karena di Jakarta antara agama dan budaya itu menyatu. Mereka tidak butuh panjang lebar penjelasan  tentang aqidah dari seorang ulama tapi menghina agama adalah menghina kedua orang tuannya. Bagi mereka itu sudah cukup untuk bergerak tanpa peduli dampak buruk dari sikapnya.   Lahirnya Indonesia  memang karena rahmat Allah. Semua orang merasa spontan sempurna bila membawa bendera Agama. Dan sorga menanti.   Namun sebetulnya  label Islam  menutupi  para mereka  yang lemah dan dungu. Juga menyembunyikan yang retak. Bertahun-tahun orang hidup dengan dalil agama yang berbeda.  Akhirnya adalah kekerasan – atau ledakan amarah, dan keadilan harus berpihak kepada mereka. Itulah Jakarta, dan itulah cermin dari Islam di Indonesia. Karena itulah islam di Indonesia bisa jadi potensi hebat menggerakan ekonomi dan politik namun bisa juga dimanfaatkan sebagai mesin politik untuk membakar apa saja demi kepentingan politik tentunya. Setelah itu mereka akan dilupakan oleh rezim yang berkuasa. Dan mereka juga tidak peduli.

Ahok memang bukan orang yang pandai berkata lembut kepada mereka yang menggangu idealismenya. Namun Ahok bukan seorang pendeta yang tak boleh bohong namun bisa saja salah. Suka tidak suka, ia adalah seorang politisi. Stigma tentang politsi memang buruk. Di negeri ini, politisi boleh berbohong seperti petinggi DPR yang menggunakan pejabat untuk menggelapkan pajaknya. Tapi tidak boleh terbukti bersalah. Salah yang dimaksud adalah terbukti secara formil, bukan fakta kasat mata. Karena formil itu ranah hukum maka sebagai driver Hukum, politisi punya daya ancam dan bargain untuk membuat fakta kasat mata menjadi bukan kebenaran formil. Urusannya selesai. Begitu banyak fakta kasat mata namun tidak pernah menjadi kebeneran formil. Tapi kebenaran formil dan kasat mata tidak dianggap kebenaran bila itu harus ditujukan kepada lawan politik yang harus dihabisi secara gotong royong. Dalam kasus Ahok, Hakim dapat mengabaikan fakta kasat mata dan formil selama persidangan dengan pendapatnya sendiri atas dasar kekuasaan hakim. Hukum Indonesia tidak bisa di intervensi oleh siapapun. Itu benar. Tapi rasa keadilan  itu menjadi hak dan wewenang Hakim untuk menentukan. Melalui sikap diskrisi rasa keadilan  itulah politik berperan menekan Hakim melalui aksi demo yang dibiarkan demi demokrasi, untuk membuat vonis yang sejalan dengan grand strategy politiknya.

Ahok yang hanya berkata dengan keterbatasan ilmu agamanya dianggap sudah cukup bukti bersalah menistakan agama dan pantas di hukum 2 tahun penjara. Padahal delik formil terhadap perbuatan Ahok tidak ada. Ahok tidak membakar alquran. Tidak membakar masjid. Ahok hanya dianggap salah oleh Ulama dan Hakim harus mendengar ulama demi rasa keadilan.  Sementara pelaku pembakar tempat ibadah umat Budha, jelas melakukan pembakaran vihara, namun hakim menetapkan hukuman 2 bulan. Tentu sikap hakim demi rasa keadilan bahwa menjaga dan mempertimbangkan suasana hati umat islam yang marah adalah dengan memberikan hukuman ringan bagi terdakwa. Begitulah bahwa ketidakadilan dapat dilakukan atas nama keadilan bagi orang banyak. Orang banyak itu umat islam yang tak ingin dipermalukan oleh seorang Etnis tionghoa yang non muslim, apabila sampai Ahok bebas. Mengapa ? justru karena Ahok tak bersalah dan saksi fakta pelapor yang lalai karena tidak bisa membuktikan Ahok bersalah di pengadilan, yang dihadapan KUHAP tidak memenuhi unsur sebagai bukti Ahok melakukan perbuatan yang didakwakan. Jaksa yang tadinya mendakwa dengan pasal 165a ternyata membatalkannya dalam tuntutan, dan hanya memasukan pasal 156 saja. Sementara Hakim justru mengeluarkan vonis atas pasal 156a. 

Tapi sikap hakim berbeda dengan cendekiawan Mulism, Ahmad Ishomuddin , yang juga ikut mempermalukan palapor. Walau ia adalah pengurus NU, MUI dan juga dosen IAN namun ia tampil secara pribadi sebagai orang muslim yang taat. Seharusnya ia di pihak orang ramai, kaumnya, sebab ia juga Islam dan Ketua MUI yang menandatangani Pendapat keagamaan MUI adalah ulama NU yang disegani. Tapi tidak. Ia menegaskan bahwa Ahok tidak menistakan agama. Ia memutuskan untuk bersaksi meringankan Ahok. Tanpa dibayar. Tanpa ragu meskipun ia harus menghadapi orang banyak yang marah, bahkan disesali oleh sebagian pengurus NU sendiri dan FUI. Dan meskipun ia tahu ia tak boleh banyak berharap, dari sebuah mahkamah di negeri ini untuk melihat seorang Ahok sebagai sesama manusia. Kepada seorang guru agama yang juga sahabat, saya tegaskan sikap saya tak ubahnya dengan Ishomuddin. “ kasus Ahok ini, sesuatu yang merasuk ke hati nurani. Saya malu kepada Tuhan bila saya tidak bisa berdiri tegak diatas kebenaran. Apa sebenarnya yang disebut ”hati nurani”, kita tak tahu. Tapi ada dorongan untuk kurang-lebih tak palsu. Saya mungkin bukan seorang yang tiap kali membaca Al Quran, tetapi saya  merasa harus ada hakim yang terakhir, sebuah kekuatan yang tahu persis kebenaran dan keadilan, ketika manusia begitu galau, tak tahu persis apa yang terjadi, tapi ikut berteriak-teriak, ”Penjarakan dia!”. Karenanya saya tetap percaya proses peradilan terhadap Ahok. Ada banding dan ada Kasasi, juga Peninjauan Kembali (PK).

Tapi Hukum tak identik dengan Keadilan. Hukum bahkan ruang tertutup, dan Keadilan tak selamanya betah di dalamnya. Dalam novel Kafka, Der Proseß, ada tokoh, Titorelli namanya, seorang perupa yang aneh, yang menggambar Keadilan dengan sayap pada tumit kaki. Keadilan selamanya akan terbang dari satu tempat yang terbatas, terutama ketika hukum merasa jadi Hukum, begitu angkuh, kukuh, dan kaku, bahkan akhirnya jadi bagaikan berhala yang membuat manusia jeri. Berhala: patung bikinan manusia yang disembah manusia—seakan-akan benda itu bebas dari tangan manusia, seakan-akan ada roh di dalamnya, atau seakan-akan ia bisa mewakili sang roh seutuhnya. Padahal mustahil. Sebab itu ada selalu akan datang para ikonoklas, yang dengan niat baik memperingatkan: berhala hanyalah berhala. Hukum hanya hukum. Yang transendental tak ada di sana. Dan para ikonoklas pun akan menetakkan kapak ke batu atau kayu atau logam itu….Jika Keadilan adalah sesuatu yang transendental, memang mustahil ia diwakili oleh hukum yang disusun di ruang para legislator, dicoba di depan mahkamah, dan dijaga jaksa dan polisi dengan sel-sel penjara yang sumpek.  Sesuatu yang transendental bukan produk dari dunia ini, rasa keadilan itu seperti surya di pangkal akanan. Kita akan selalu mendapatkan hangat dan cahayanya, dan kita senantiasa berikhtiar ke sana.

Andaikan Ahok ditingkat banding dan kemudian tingkat MA tetap saja bersalah dan dihukum penjara, maka tidak perlu kita kecewa dan marah. Karena memperjuangkan keadilan adalah sepanjang usia, Kita tidak mungkin meraih keadilan itu, menjangkau terang itu, dengan amarah dan kebencian. Hidup jadi berarti bukan karena mencapai. Hidup jadi berarti karena mencari, memberi dan mengasihi. Itulah nilai agama sesungguhnya. Tuhan ada dalam diri kita. Di hati kita! disitulah rasa keadilan itu ada. Pada akhirnya kepada Tuhan semua kembali atas semua urusan termasuk soal keadilan. Tugas kita hanya memperjuangkannya..




Wednesday, May 10, 2017

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)?

Karl Marx sering dijuluki sebagai bapak komunisme yang berasal dari kaum terpelajar dan politikus. Ia memperdebatkan bahwa analisis tentang kapitalisme miliknya membuktikan bahwa kontradiksi dari kapitalisme akan berakhir dan memberikan jalan untuk komunisme. Walaupun Marx menulis tentang banyak hal semasa hidupnya, ia paling terkenal atas analisisnya terhadap sejarah, terutama mengenai pertentangan kelas, yang dapat diringkas sebagai "Sejarah dari berbagai masyarakat hingga saat ini pada dasarnya adalah sejarah pertentangan kelas", sebagaimana yang tertulis dalam kalimat pembuka dari Manifesto Komunis. Tetapi tulisan hebat itu baru menjadi inspirasi untuk lahirnya perubahan setelah terjadi Revolusi Bolshevik atau dikenal juga dengan Revolusi Oktober yang dilakukan oleh pihak komunis Rusia, di bawah pimpinan Lenin.

Apa artinya bagi kita sejarah Komunis itu? Bahwa pemikiran hebat tidak harus diselesaikan pada zaman ketika pemikiran itu muncul. Menulis adalah kata kunci agar andai tidak bisa dilakukan sendiri maka akan ada orang lain yang akan mentunaiknya. Makanya pemikiran yang sehat dasarnya adalah niat baik, dan tak peduli kapan ide dan pemikiran itu akan sampai menjadi sebuah inspirasi bagi orang lain. Khilafah lahir dari itjihad ulama dari beberapa abad yang lalu. Konsep khilafah telah dibukukan begitu luasnya dari generasi ke generasi. Namun sejak pemikiran khilafah itu didengungkan, sampai kini konsep itu belum bisa membuktikan idealisme nya bisa diterapkan untuk sebuah negara. Bahkan belum bisa melahirkan sebuah revolusi hebat seperti Revolusi Bolshevik , yang gaungnya keseluruh dunia dan menjadi inspirasi bagi kaum pergerakan di seluruh dunia untuk lepas dari kolonialisme.

Apa sebab? Khilafah dan komunis sama sama punya target internationalisasi. Namun china setelah revolusi kebudayaan , tidak lagi memaknai Komunis sebagai paham internationalisasi. Khilafah dimaknai sebagai sebuah gerakan internationalisasi, bukan gerakan politik lokal yang international dan  karenanya konsep HTI berbenturan dengan kearifan lokal dan sulit menginspirasi orang untuk bergerak. Tulisan Karl Max setelah ia wafat lebih banyak dibahas dalam konteks akademis dari kaum terpelajar. Tidak pernah dibahas ditingkat rakyat tidak terdidik. Dari proses inilah lahir generasi tercerahkan lewat komunisme. Memang tidak banyak kaum terpelar yang terinspirasi akan komunisme, namun energi kaum terpelajar ini bagaikan maknit luar biasa yang mampu menarik jutaan rakyat jelata dalam satu barisan sehingga terjadilah revolusi. HT, harus menggunakan cara cara seperti ini melalui program pencerahan lewat kaum terpelajar, tidak melalui rapat  kolosal tapi lewat panggung akademis. Aktif terlibat menerbitkan beragam buku dari segala aspek kehidupan. Proses ini harus dilalui dengan sabar dan biarlah kehendak Allah yang akan menentukan kapan konsep khilafah ini dapat menjadi inspirasi orang untuk berubah.

Kalau HT tidak sabar dan ingin segera mewujudkan impiannya maka jalan yang paling bijak adalah lewat revolusi parlemen atau revolusi konstitusional. Caranya ? HT harus mau bermetamorfosa menjadi Partai Politik. Setelah itu, gerakan HT akan dilegitmasi oleh UU untuk menebarkan paham khiafahnya. Dan nanti waktu Pemilu, HT harus membuktikan konsep khilafah nya diterima oleh lebih separuh rakyat Indonesia, Dengan demikian Parlemen dua pertiga dikuasai HT. Tentu perubahan idiologi dan UUD dapat di laksanakan sesuai dengan agenda Khilafah nya HT. Tapi kalau gagal tentu harus menerima kenyataan bahwa khilafah memang belum bisa menggantikan Pancasila. BUkan karena khilafah tidak bagus tapi karena rakyat kebanyakan belum bisa menerima. Tapi kalau HT tetap sebagai ormas dengan mengusung progam khilafah maka walau bagaimanapun HT mengatakan tidak berpolitik dan tidak anti pancasila namun cara cara mengusung khilafah yang dilakukan diluar parlement adalah inskonstitusional.

Apalagi dengan keterlibatan HT dalam aksi bela islam kasus Ahok maka ini semakin memberikan legitimasi bagi pemerintah untuk membubarkan HT. Andaikan ..andaikan HT tetap tidak terlibat dalam politik praktis lewat aksi extraparlementer tentu program pencerahan HT yang sudah berjalan selama ini tidak akan mendapatkan hambatan. Tapi semua sudah terjadi. Suka tidak suka, publik dan pemerintah sudah punya persepsi bahwa HT engga punya dampak positip bagi pembangunan nasional. HT bisa saja menolak dibubarkan namun kehendak masyarakat  ( PBNU-Anshor) menolak kehadiran HTI. Namun itu semua akan ditempuh proses pengadilan untuk memastikan pembubaran HTI telah memenuhi unsur keadilan. Dalam Hukum NKRI, tentu HTI yang terdaftar sebagai badan hukum di Menkumham punya hak untuk membela diri. Apapun itu nanti keputusan pengadilan harus di hormati. Selama proses pengadilan itu HTI tidak bisa lagi bebas melakukan aksi dakwah seperti sebelumnya. Itulah harga yang harus dibayar..

Bukan sistem yang salah tapi moral.

  Kita pertama kali mengadakan Pemilu tahun 1955. Kalaulah pemilu itu ongkosnya mahal. Mana pula kita negara baru berdiri bisa mengadakan pe...