Saturday, June 25, 2016

Utang era Jokowi ?

Benarkah utang era Jokowi mengalahkan utang presiden sebelumnya. Demikian kata teman saya. Saya maklum teman ini karena pemahamannya terbatas dan informasi yang didapatnya adalah informasi instant dari sosmed. Sebelum saya jawab pertanyaannya maka saya luruskan dulu soal siapa yang berutang. Yang berutang adalah Negara Indonesia. Bukan pemerintah. Karena sejak reformasi maka tidak ada lagi utang pemerintah yang seenaknya di putuskan oleh seorang presiden seperti era Soeharto. Tapi utang Negara dimana hak DPR memutuskan besaran utang yang boleh pemerintah ambil. Untuk itupun DPR melaksanakan hak nya berdasarkan UU mengenai pagu utang yang bisa di tambah. Jadi jelas kan. Kembali kepada pertanyaan ,apakah benar Jokowi menarik utang lebih besar dari rezim sebelumnya. Baiklah kita lihat data. Utang di era pemerintahan Presiden Jokowi hingga akhir 2015 mencapai Rp 3.089 triliun setara 223,2 miliar dollar AS dengan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) 27 persen. Sebesar nilai ini bukanlah utang semua di lakukan oleh pemerintahan Jokowi tapi ini merupakan akumulasi dari pemerintah sebelumnya. Siapa saja ?

Ketika Soekarno wafat ia meninggalkan warisan utang sebesar USD 6,3 miliar. Itu utang selama Soekarno berkuasa selama 21 tahun. Data dari Kemenkeu Era Soeharto, selama 32 tahun berkuasa, menggali hutang sebesar USD 68,7 miliar. Soeharto jatuh, di gantikan ole Habibie.  Akumulasi hutang menjadi USD 132,2 miliar. Ada penambahan utang sebesar USD 63,5 Miliar sebagai konsekwensi penyelesaian BLBI era Soeharto. Habibie jatuh digantikan oleh Gus Dur. Akumulasi utang menjadi USD 122,3 Miliar atau turun sebesar USD 9,9 Miliar. Gus Dur di gantikan oleh Megawati yang akhir masa jabatannya akumulasi hutang mencapai USD 139,7 Miliar atau terjadi penambahan utang sebesar USD 17,4 Miliar. SBY berkuasa selama 10 tahun telah melakukan utang baru mencapai USD 136,6 miliar. Akumulasi utang ketika akhir masa kekuasaanya SBY atau pada kwartal juni 2014 menjadi sebesar US$ 276,3 Milyar. Nah pada akhir tahun 2015 total utang Indonesia sebesar USD 223,2 miliar. Atau kalau di bandingkan dengan masa akhir kekuasaan SBY, telah terjadi pengurangan utang sebesar USD 53 miliar. Ini terjadi karena restruktur utang yang dilakukan secara hati hati. Dengan kondisi ini Jokowi berhasil bertahan dengan memperkuat fiscal melalui pengetatan anggaran belanja rutin untuk di alihkan ke sector infrastruktur dan penambahan modal bruto pemerintah di bidang peningkatan saham di BUMN dan sarana umum.

Kalau di kurs-kan ke rupiah memang terjadi peningkatan significant namun harus di catat bahwa kurs selalu  berhubungan dengan cash in and cash out. Selagi keseimbangan terus di jaga dan transaksi berjalan di jaga tidak terlalu besar defisit atau kalau bisa surplus maka pelemahan kurs tidak berdampak kepada penurunan grafik fundamental ekonomi nasional. Karena ketika kurs melemah impor akan turun dan ekspor akan meningkat. Daya saing dalam negeri meningkat terhadap barang impor. Ini akan memicu produksi dan menekan konsumsi. Apakah tingkat utang Indonesia sekarang berbahaya ? Secara akuntasi kenegaraan kondisi utang itu belum berbahaya bahkan di nilai sangat exciting di pasar uang. Mengapa saya jadikan indikasikan pasar uang karena yang paling objectif menilai ekonomi suatu Negara adalah pasar uang. Mereka punya standar ketat terhadap penilaian resiko dan yield dari setiap Negara. Apa alasannya ? menurut data Bareksa ,Pertama , Naiknya peringkat kredit Indonesia ke kategori layak investasi (investment grade). Tidak dapat dipungkiri, kenaikan peringkat kredit ini sangat berpengaruh terhadap arus masuk dana asing ke dalam negeri. Hal ini tercermin dari peningkatan volume dana masuk ke pasar obligasi mulai pertengahan tahun 2015, dibandingkan periode sebelum Indonesia mendapatkan peringkat itu. Tidak tanggung-tanggung, lebih dari tiga lembaga pemeringkat dunia telah memberikan stempel 'layak investasi' dengan outlook 'stabil' terhadap Indonesia. Bahkan, Moody's dan Fitch Ratings memberikan peringkat 'layak investasi' pada waktu hampir bersamaan. Hanya Standard & Poor's (S&P) yang masih mempertahankan peringkat Indonesia pada level BB+ atau outlook positif.

Alasan kedua, turunnya risiko investasi di pasar obligasi Indonesia. Kondisi ini tercermin dari turunnya nilai Credit Default Swap (CDS) Indonesia. CDS merupakan kontrak swap di mana pembeli melakukan pembayaran ke penjual sementara pembeli menerima hak untuk memperoleh pembayaran bila kredit mengalami default atau kejadian lain yang tercantum dalam credit event, misalnya kebangkrutan atau restrukturisasi. Dengan kata lain, CDS adalah sejenis perlindungan atas risiko kredit. Nilai CDS 5 dan 10 tahun pada tiga bulan terakhir mengalami penurunan. Penurunan ini dapat disebabkan beberapa faktor, seperti membaiknya kondisi ekonomi. Ini termasuk menyempitnya defisit transaksi berjalan Indonesia, rendahnya inflasi tahunan, serta pertumbuhan ekonomi yang masih terjada di level 5 persen. Selain itu, CDS Indonesia baik yang periode 5 ataupun 10 tahun saat ini bergerak relatif stabil jika dibandingkan periode tahun 2008 dan 2011. Pada kedua tahun itu, CDS Indonesia bergerak dengan volatilitas yang sangat tinggi, karena berhubungan dengan ekspektasi akan kemampuan Indonesia dalam menghadapi krisis ekonomi.

Ketiga, yield obligasi yang ditawarkan lebih menarik dibandingkan negara sejenis. Yield yang ditawarkan obligasi Indonesia masih menarik dibandingkan negara-negara 'fragile five' lainnya, kecuali China. Berdasarkan data, yield obligasi Indonesia mengalami penurunan paling kencang yang kemudian disusul oleh Afrika Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa investasi surat utang di Indonesia jauh lebih menjanjikan dibandingkan tiga negara lainnya, yakni Afrika Selatan, India, dan Brasil. Ketiga hal di atas memicu berbondong-bondongnya investor asing masuk ke instrumen utang Indonesia.
Adapun ke empat, adanya aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mewajibkan peningkatan dana investasi asuransi dan dana pensiun pada instrumen obligasi. Lembaga jasa keuangan non-bank diwajibkan Peraturan OJK No.1/POJK.05/2016 untuk meng-investasikan sekitar 20-30 persen dana mereka di surat utang negara, baik obligasi konvensional ataupun obligasi syariah (sukuk) yang diterbitkan pemerintah. Perusahaan asuransi jiwa diharuskan menempatkan dana pada Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 30 persen dari keseluruhan nilai investasi. Sementara itu, perusahaan asuransi umum dan reasuransi, minimal 20 persen. Adapun Dana Pensiun diwajibkan sedikitnya 30 persen di SBN. Menurut data, porsi kepemilikan obligasi oleh perusahaan asuransi meningkat menjadi 12,36 persen pada tanggal 18 April 2016 dari sebelumnya hanya 11,74 persen pada akhir tahun lalu. Kepemilikan obligasi oleh Dana Pensiun juga mengalami kenaikan pada periode yang sama menjadi 3,55 persen dari sebelumnya 3,41 persen. Selain kedua lembaga tersebut, porsi kepemilikan obligasi dari perusahaan pengelola reksa dana juga mengalami kenaikan, menjadi 4,49 persen dari sebelumnya 4,21 persen.

Dengan demikian maka apa yang luar biasa di era jokowi adalah kemampuan pemerintah melakukan restruktur utang agar lebih besar pasar dalam negeri menyerapnya. Agar dalam jangka panjang porsi utang kepada rakyat lebih besar di bandingkan utang ke luar negeri. Dengan begitu kemandirian di bidang eknomi akan semakin kokoh dan ancaman hantaman krisis yang secara regular datang dapat di atasi. Jadi secara ekonomi dan moneter pemerintah telah bekerja dengan cara cara smart dengan langkah berani untuk berubah dari kesalahan masa lalu untuk menjadi lebih baik di masa depan…


11 comments:

moviemania said...

Mohon dijelaskan pengertian utang negara kepada rakyat.

605TA said...

CDS tahun 2008 sangat di pengaruhi dengan krisis ekonomian global dan tahun 2011 penurunan pertumbuhan ekonomi dunia , jadi bukan salah SBY , grafik CDS di semua negara yang identik hampir sama coba saja bandingkan CDS indonesia dengan malaysia , kalau kurang yakin bandingkan dengan brasil,india turki atau s.afrika. , kalau mau jujur era keemasan perekonomian setelah reformasi ada pada jaman SBY.
kalau raport ekonomi sekarang silahkan lihat datanya sampai hari ini tidak lebih bagus dari jaman SBY , tapi masanya belum selesai kita lihat saja apa nanti hasilnya setelah selesai masa jabatan Jokowi apakah lebih bagus , sama atau lebih buruk kondisi ekonominya, biarkan data yang bicara.

agung maulana azmi said...

Like

605TA said...

masalah CDS 2008 dan 2011 sangat di pengaruhi oleh perekonomian global . silahkan cari sendiri grafiknya di google. silahkan juga bandingkan CDS Indonesia dengan Malaysia nanti akan tahu sendiri jawabannya.

Erizeli Bandaro said...

Era SBY memang indonesia mengalami pertumbuhan luar biasa karena berkah kenaikan harga komoditas utama ( minyak,CPO ,Cacao, batubara dll). Namun kenaikan itu tidak mendorong tumbuhnya industrialiasasi , bahkan terajdi deindustrialisasi. Tahun 2013 mulai nampak dampak dari menurunnya ekonomi SBY yang di dominasi oleh sektor nontradeble .Debt servie ration meningkat tajam. Data ( BI) tahun 2013 , DSR Indonesia berada di kisaran 45-47 persen. DSR pada kuartal pertama 2014 mencapai 46,31 persen atau setiap 100 nilai ekspor 46,31 untuk bayar hutang.Ini terus berlanjut dengan tekanan jatuhnya penerimaan ekspor dan dirasakan sampai sekarang. Andaikan ketika booming harga minyak dan komoditas utama, SBY menggunakan kekuatan fiskal ke sektor infrastruktur ( tidak dibuang utnuk subsidi ) mungkin kini transumatera dan trasn java sudah selesai, juga transsulawesi dan 11 KEK sudah rampung. Namun itu kini menjadi kerja yang harus di rampung oleh Jokowi di tengah krisis global dan jatuhnya harga komoditas utama di pasar international.

Soal CDS yang ada sampaikan.benar bahwa CDS itu di tentukan oleh pasar global namun pasar menilai berdasarkan data fundamental dari suatu negara. Apa data fundamental itu ? Posisi current account negara yang positip.BIla negatif maka CDS akan jatuh baik karena sentimen pasar juga karena faktor fundamental..Demikian tanggapan saya

www.Adri Aulia.com said...

Mungkin malah sebenarnya Jokowi yang diuntungkan dengan rendahnya harga minyak dunia, karena pemerintah bisa mengalokasikan dana yang seharusnya buat subsidi BBM ke infrastruktur. Tapi btw, semua pemerintahan ada plus minusnya kok..

Unknown said...

Well put tp parameter yg dipakai ga konsisten. Sebaikya pake rupiah yg disesuaikan dengan kurs saat kejadian. Terlihat kurang cermat. Logika sederhana aja, tidak bisa menggerakan ekonomi hanya dr sisi supply, sementara sisi demand dibiarkan atau tidak di stimulasi agar menguat. Ujung2 akan defisit yg hrs dibiayai oleh utang...tac revenue adalah penerimaan yg sehat. Tax revenue naik biasanya krn daya beli naik. Skrng bisa diprdiksi bhw utang akan trus bertambah agar defisit tidak melebihi 3%. Ini bisa menjadi trap buat pemerintah sekarang.

605TA said...

saya kurang sependapat jika di katakan pertumbuhan industrialisasi di era SBY turun , saya sudah lihat data pertumbuhan industri kurvanya berhimpit dengan pertumbuhan ekonomi versi bps tentunya.
saya coba bandingkan grafik era sekarang pertumbuhan industrinya jauh terpangkas dibanding jaman SBY.
saya juga belum menemukan grafik korelasi antara pembangunan infrastruktur dengan kenaikan pertumbuhan ekonomi ataupun pertumbuhan industri bahkan pertumbuhan konsumsi.
walaupun sebenarnya saya hanya tukang listrik yang ahir-ahir ini mulai mengamati data saya bisa mulai memahami mashab ekonomi SBY dan mashab ekonomi Jakowi jauh berbeda , di era SBY menitik beratkan kenaikan konsumsi yang otomatis menaikkan kapasitas industri , menaikan perputaran uang dan otomatis menaikan pertumbuhan ekonomi. pertumbuhan infrastrukturpun ada kok di jaman SBY.
kalau di era Jakowi lebih menitikberatkan pembangunan infrastruktur yang di harapkan menaikkan konsumsi dan menggulirkan industri.
saya tidak tahu hasilnya lebih sakti mana mashab ekonomi ala SBY atau Jakowi , biar nanti waktu dan data ahir masa periode presiden yang menjawabnya.
saya juga mempunyai harapan jangan terlalu banyak membangun infrastruktur secara berlebihan , takutnya nanti begitu proyek selesai daya beli masyarakat sudah tidak ada dan tidak ada yang bisa memanfaatkan infrastruktur tersebut.

arie said...

Melakukan konversi seluruh utang Indonesia ke USD itu salah kaprah pak. Utang Indonesia itu terdiri dari valas dan rupiah. Utang Indonesia yang rupiah yaitu yang dalam bentuk SBN sedangkan yang valas (USD) itu ada sebagian kecil SBN dan pinjaman luar negeri. Hal tersebut sangat penting karena terkait dengan restrukturisasi utang pemerintah dari valas ke rupiah yang telah dilakukan dari sejak awal pemerintahan SBY.
Sebagai ilustrasi data dari saya dari DJA kemenkeu memperlihatkan bahwa posisi terakhir utang Indonesia dalam bentuk valas di tahun 2014 adalah USD90,6 milyar sedang dalam bentuk rupiah Rp1.476,6 trilyun. Jika kita bandingkan dengan tahun 2005 utang pemerintah dalam bentuk valas adalah USD97,5 Milyar sedangkan rupiah adalah Rp658,7 trilyun. Nah dari situ kita bisa lihat bahwa restrukturisasi utang dari valas ke rupiah sudah berlangsung dari jaman SBY dimana pemerintah lebih banyak menyerap dana yg ada dari dalam negeri ketimbang mengambil pinjaman luar negeri yang mana porsinya semakin lama semakin mengecil.
Argumen bapak terkait effisiensi belanja negara dari subsidi ke infrastruktur itu sudah benar tapi tidak ada hubungannnya dengan utang karena pada kenyataannya utang pemerintah tetap bertambah, kenapa? Karena besar pasak dari pada tiang yaitu belanja negara lebih besar dari pada penerimaan negara. Dalam hal ini pemerintah terlalu optimis utk bisa meningkatkan penerimaan pajak padahal situasi ekonomi dunia sedang melambat yang berimbas ke dalam negeri. Hal ini menyebabkan terjadinya defisit yang mau gak mau di tutup dengan berbagai cara. Saya tidak tahu effort apa yang dilakukan di tahun 2015 yang jelas ada beberapa cara untuk menutup defisit yang melebihi daro target APBN/APBNP. Menambah utang salah satu cara tapi bukan satu-satunya karena ada batas maximum berapa banyak utang yang bisa ditarik dalam satu tahun APBN. Mohon maaf saya tidak memegang data tahun 2015 tapi karena bapak punya data dari DJPPR seharusnya bapak bisa lihat bahwa porsi utang dalam negeri kita yang dalam rupiah pasti meningkat. Dan argument bapak saya katakan misleading karena jika seluruh utang di convert ke USD maka kita bisa lihat bahwa kurs rupiah di akhir 2015 lebih lemah dari akhir 2014 sehingga wajar jika utang pemerintah di akhir 2015 lebih rendah dari akhir 2014 dalm USD.
Saya mengambil sudut pandang APBN, dan saya akui APBN kita lebih baik di era Jokowi daripada era SBY karena tidak diberatkan dengan belanja subsidi. Tapi bukan berarti lebih sehat karena penerimaan kita justru terlalu optimis sehingga sulit untuk mencapai target. Per April 2016 saja pendapatan negara dalam APBN cuma mencapai 21,2% sedangkan belanja negaranya sudah 26%. Ini tanda bahwa APBN kita menjadi tidak sehat karena target penerimaan yang terlalu optimis dan memiliki risiko yang sangat besar untuk tidak tercapai. Solusi untuk masalah ini hanya ada 2 cara yaitu dengan mengurangi belanja negara atau menambah pembiayaan. Nah, untuk pembiayaan APBN tidak sekedar isinya cuma utang. PMN juga merupakan elemen pembiayaan dan semakin besar PMN maka pembiyaan APBN pun semakin berat sehingga salah satu cara untuk meningkatkan pembiayaan APBN selain dari menambah utang ya dengan mengurangi PMN.
Sekian kritik saya, semoga tidak ada kata yang menyingung. Wasalam

Erizeli Bandaro said...

Sebaiknya anda sampaikan data dan chart nya buka hanya retorika.

Erizeli Bandaro said...

Ekonomi itu dasar kebijakannya atas dasar asumsi dan setiap asumsi dengan prinsip ideal.Biarkan nanti waktu yang akan menilai. Yang penting beri kesempatan JKW melaksanakan amanahnya..

Jebakan hutang membuat kita bego

Politik Global dulu jelas. Seperti adanya block barat dan timur dalam perang dingin. Arab-israel dalam konflik regional di timur tengah. Dim...