Friday, July 11, 2014

UU MD3...?

Soeharto sudah lama tiada. Namun kini dia seakan bangkit dari kuburnya.  Ia dibangkitkan oleh sekelompok orang yang merindukan kekuasaan seperti era Soeharto. Liatlah cara Soeharto memimpin negeri ini, demikian saya ingat kata mentor saya ketika mahasiswa dulu, bahwa apapun kata katanya lebih sakral dibandingkan kitab suci. Perintahnya lebih menakutkan dibandingkan UU.Tak pernah ada yang menyalahkannya.Keluarganya selalu dipuja dan tak ada satupun yang membicarakan keburukan keluarganya,apalagi menghujat. Tak pernah pusing mendatangkan uang agar APBN tetap jalan untuk program pembangunannya. Karena ada sekumpulan negara donor yang selalu setia memenuhi kas APBN yang miskin penerimaan pajak kecuali hutang luar negeri. Dari seorang Soeharto itu, semua diuntungkan. Para sahabatnya mendapatkan konsesi business meluluh lantakan hutan untuk mendapatkan kayu dan menghancurkan bukit untuk mendapatkan barang tambang.Semua dijual ke luar negeri dengan harga obral. Dari kegiatan itu para putra putri,  kakak, adik,ipar,  sedulur mendapatkan berkah komisi kolusi. Mereka hidup bergelimang harta dan memanjakan hidupnya dikota kota mode  dan kosmospolitan di Eropa,Amerika,Hong Kong, Singapore. Rumah kawasan elite dinegeri tersebut dipenuhi oleh mereka,membaur menjadi first class dikomunitas jet set. Sementara rakyat tetap miskin. Orang miskin dikaburkan dengan program humanis yang dipropagandakan tiada hentinya lewat televisi yang dimonopoli oleh negara...

Seorang teman yang juga kader partai berkata kepada saya bahwa apa yang baik dari Soeharto adalah kekuasaan itu tidak membosankan dan menakutkan. Tapi kini , semua terasa duduk diatas bara api. Baik executive,judicative, legislative, harus ekstra hati hati sepanjang karirnya karena mata dan telinga KPK ada dimana mana. Tak ada yang aman. Gubernur, bupati,walikota, direktur BUMN, anggota DPR ,Ketua umum Partai bahkan besan presiden masuk bui. Kita harus menempatkan politik menghasilkan reward tentang kekuasaan bukan hal yang menakutkan tapi menyenangkan. Saya tak ingin mengomentari. Bagi saya teman ini sudah masuk dalam situasi patah hati dengan demokrasi yang di create oleh rezim reformasi. Sudah cukup bulan madu. Kini saatnya kembali kedunia nyata bahwa kekuasaan itu hak penguasa dan tak ada urusannya dengan hak rakyat mengawasi hingga membuat penguasa masuk bui. Apakah kembali kepada UUD 45 secara murni? Dengan tegas dia mengatakan bahwa UUD 45 yang diamandemen itu adalah produk traksaksional dengan pihak international agar indonesia bisa mendapatkan keuntungan dari peluang liberalisasi sektor financial ,investasi dan perdagangan. Setidaknya indonesia tidak perlu mengemis bila perlu hutang. Seorang pejabat eselon 1 bisa mengundertake commitment mendatangkan dana berhutang untuk menutupi difisit anggaran. Sangat mudah.Konsep dari amandemen UUD 45 ini harus dipertahakan.

Lantas apa yang harus dirubah agar kekuasaan menjadi hal yang menyenangkan? Yang harus dirubah adalah memastikan bahwa anggota DPR tidak bisa ditangkap atau diselidiki tanpa izin dari DPR sendiri sebagai institusi.Jadi hak imunitas anggota DPR sama dengan Presiden.  Kalau presiden didukung oleh partai koalisi maka aparat hukum tidak akan mudah mendapatkan izin dari DPR bila ingin melakukan penyelidikan atau menangkap anggota DPR yang terindikasi melakukan kejahatan korupsi. Jadi antara DPR sebagai lemabaga dan anggota DPR saling melindungi dari  jeratan hukum. Makanya ketua DPR harus dipastikan  hasil rapat pleno anggota DPR dan dukungan mayoritas anggota DPR. Agar koalisi DPR bisa menempatkan orangnya sebagai ketua DPR sehingga agenda DPR sejalan dengan presiden. Kalau begitu ,kata saya, tidak ada lagi balance power, yang ada adalah singel power. Teman itu mengangguk sambil tersenyum. Kemudian agar anggota DPR tetap eksis untuk periode berikutnya maka setiap anggota DPR berhak mendaptkan dana dari APBN  untuk membina konstitueannya di Dapil masing masing. Dana ini harus menjadi anggaran 16 alias anggaran bablas.Tidak ada keharusan untuk diaudit karena resiko moralnya kembali kepada anggota DPR bila dia tidak menyalurkan dana itu maka dia akan ditinggalkan oleh konstituennya. Saya sempat tidak percaya dengan kata kata teman ini. Saya pilkir itu hanya kisah imaginer saja. Karena system negara tidak memungkinkan adanya single power.

Apa jadinya bila Presiden terpilih didukung oleh koalisi besar yang mewakili 2/3 anggota DPR? Tentu single power bukan lagi imaginer. Ya dari  system demokrasi secara procedural bisa by design menempatkan satu gerombolan orang menjadi satu kekuasaan atau single power. Tapi itulah pilihan dari koalisi merah putih yang di design oleh kubu Prabowo Hatta paska Pileg. Setalah itu anggota DPR dari koalisi merah putih membangun kekuatan untuk perubahan atas Rancangan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, DPRD (RUU MD3). Sebelum Pilpres anggota DPR berhasil menggolkan UU MD3 dengan diwarnai aksi walk out dari PDIP, PKB dan Hanura.Dengan UU ini maka DPR punya hak imunitas yang tak mudah dijerat hukum. Untuk merubah UU tidak diperlukan ¾ anggota DPR tapi cukup 2/3 anggota DPR artinya sama dengan jumlah anggota koalisi merah putih. Dengan demikian agenda untuk merubah UU KPK agar dikebiri kekuasaanya dapat dilaksanakan. Ketua DPR akan dapat dipastikan berasal dari koalisi merah putih. Bila Prabowo-Hatta sebagai pemenang maka kita kembali ke era Soeharto tapi Ini lebih berbahaya dibandingkan Soeharto. Karena untuk menjatuhkannya tidak bisa dengan reformasi seperti menjatuhkan Soeharto tapi revolusi total. Bila Jokowi-JK sebagai pemenang maka reformasi dilanjutkan untuk dibelanya kebenaran, dilaksanakannya kebaikan dan tegaknya keadilan, dan UUMD3 pasti akan digugat melalui MK..Kita lihat nanti  tanggal 22. 

Negara puritan tidak bisa jadi negara maju.

  Anggaran dana Research and Development ( R&D) Indonesia tahun   2021 sebesar 2 miliar dollar AS, naik menjadi 8,2 miliar dollar AS (20...