Saturday, March 8, 2014

Solusi utang ?

Menjelang PEMILU , PDIP telah mewacanakan untuk menghentikan pinjaman luar negeri. Menurut saya ini bukan hanya sekedar retorika dari PDIP tapi sudah menjadi bagian dari prinsip PDIP sesuai dengan idiology Marhaennya yaitu berdikari. Ketika  Gus Dur jatuh dan digantikan oleh Megawati maka yang pertama dilakukannya adalah menghentikan program recovery economy dibawah IMF dan menetapkan kebijakan zero growth hutang atau tidak  ada pertambahan hutang baru.Pada waktu bersamaan Megawati menghentikan operasional FREEPORT dengan alasan melanggar AMDAL , dan juga  Menghentikan kontrak pertambangan minyak Caltex di Blok Natuna Kepri dan Riau Daratan serta menolak penguasaan Blok Cepu oleh Exxon. Hutang dan bagi hasil Tambang adalah dua sumber penghasilan yang menopang 80% penerimaan negara dalam APBN. Tapi kedua hal itu dikeluarkan oleh Megawati sebagai sumber penerimaan. Lantas bagaimana caranya menutupi APBN?  Caranya adalah dengan mengurangi subsidi sehingga negara bisa menghemat 40% belanja rutin. Kemudian, Megawati menjual  BUMN yang Public Service Obligation yang dibawah 50% seperti Indosat dll.Pendapatan ini dimasukan dalam penerimanaan negara. Sebetulnya masih banyak lagi program yang akan dijalankan Megawati ketika itu tapi  karena terbatasnya waktu dia berkuasa  programnya tidak bisa berjalan dengan sempurna. Lawan politiknya menggunakan kebijakan pengurangan subsidi untuk membuat Megawati dijauhi oleh wong cilik. Pemilu 2004 Megawi kalah, dan digantikan oleh SBY, negara kembali berhutang, blok natuna dan Cepu dikuasai oleh Exxon dan Freeport kembali beroperasi.

Pada 2004 rasio utang terhadap PDB masih 56,6%, kemudian terus turun menjadi 47,3% (2005); 39,0% (2006); 35,1% (2007); 33,0% (2008); 28,3% (2009); 26,0% (2010); 24,4% (2011); dan sekarang pada kisaran 22,9% (2012) [Bappenas, 2012]. Dengan data ini SBY bisa berbangga hati bahwa dia telah sukses mengurangi hutang berbanding terhadap PDB. Benarkah ?  Orang awam mungkin bisa dibodohi. Perhatikan ini, bahwa kehebatan suatu negara bukan diukur dari perbandingan hutang terhadap PDB tapi tingkat ( rasio ) kemampuan negara membayar hutang. Atau disebut dengan debt service ratio /DSR  atau rasio pembayaran utang dan bunga dibagi dengan jumlah penerimaan ekspor. Dalam international economy community  ada konsesus bahwa apabila  DSR diatas 20% berarti menggambarkan lampu kuning, atau harus ekstra hati-hati. Data yang ada menunjukkan DSR Indonesia terus meningkat oleh sebab kenaikan jumlah utang, sedangkan di sisi lain ekspor cenderung menurun pertumbuhannya. Pada Triwulan I-2012 DSR melejit menjadi 30,7%, padahal pada 2011 masih di kisaran 21,1%. Disampinng itu total jumlah utang terhadap penerimaan pemerintah (pajak dan pendapatan bukan pajak) selalu lebih tinggi. Misalnya, pada 2007 total penerimaan pemerintah Rp 706 triliun, namun utangnya mencapai Rp 1.389 triliun. Pada 2011 total penerimaan pemerintah Rp 1.205 triliun, tapi jumlah utang Rp 1.803 triliun. Dan ini terus berlanjut sampai dengan 2014 dimana utang Indonesia sudah mencapai Rp.2.465,45 Triliun

Keadaan tersebut harus dihentikan karena dari tahun ketahun ketergantungan akan hutang semakin besar dan ancaman default semakin besar pula.Inilah yang menjadi PR besar dan rumit bagi Presiden terpilih. Lantas bagaimana solusi bagi PDIP untuk menghilangkan ketergantungan APBN akan utang? Peninjauan seluruh kontrak blok Migas dan Mineral. Berdasarkan hasil study KPK yang dibantu oleh lembaga riset independent international dari sektor Migas saja (tidak termasuk Freeport, batubara) potensi ekonomi mencapai Rp.7,200 Ttiliun pertahun atau 4 kali dari APBN. Artinya dengan hanya program amendment PSC ( production Sharing Contract)  yang sesuai dengan kepentingan nasional maka dalam setahun indonesia sudah bisa melunasi hutang luar negeri dan selanjutnya APBN mandiri tanpa hutang. Seorang teman yang bekerja di lembaga keuangan international pernah berkata kepada saya bahwa apabila pemerintah baru mencoba merubah kontrak Block Migas maka investor akan kabur dari Indonesia.Indonesia akan masuk blacklist financial community sehingga kehilangan financial resource. Dengan demikian akan mengancam sumber penerimaan negara untuk memenuhi APBN. Saya tersenyum saja. Bagi saya itu adalah berkah bila semua investor kabur. Karena indonesia dapat leluasa mengelola sendiri ladang Migasnya.Bagaimana caranya? Dari mana duitnya? Soal tekhnologi tidak usah kawatir karena di era sekarang tekhnologi bisa dibeli dari mana saja dan lagi insinyur Indonesia yang berkarir hebat diluar negeri tentu akan pulang apabila kesempatan diberikan.

Darimana uangnya untuk mengolah Migas bila investor hengkang? Pernah Darmin Nasution ketika masih menjabat Gubernur BI mengatakan bahwa dari total 140 juta rekening nasabah perbankan, sebanyak 3% ( 4,2 juta) nasabah menguasai 67% dana di perbankan.Kalau total dana nasabah diperbankan sebesar  Rp 3.392 triliun maka  4,2 juta nasabah menguasai Rp.2.270 Triliun atau kurang lebih sama dengan USD 200 miliar. Ini merupakan Potensi financial resouce dalam negeri yang sangat besar dan dapat digunakan pemerintah untuk sumber pembiayaan pengelolaan MIGAS. Caranya? Pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan menukar ( SWAP) tabungan/deposito untuk 4,2 juta nasabah tersebut dengan  SUKUK RI (Obligasi berbasis revenue). SUKUK ini dijamin likuiditasnya oleh pemerintah asalkan disertai dengan underlying pembiayaan proyek  ( bukan untuk konsumsi). Sehingga pada waktu bersamaan pemerintah memaksa secara UU pemilik dana untuk terlibat langsung dalam produksi ( sektor riil). Jadi jangan ada lagi orang kaya menikamati rente tanpa kerja keras. Agar tidak timbul gejolak sehingga berdampak sistemik maka pemerintah menyertakan kebijakan SWAP itu dengan bebas pajak penghasilan atas pendapatan revenue dari SUKUK tersebut. Dengan demikian pemilik dana mendapatkan dua manfaat ; pertama dananya dikelola untuk usaha ( MIGAS) yang pasti mendatangkan laba yang bebas pajak dan kedua SUKUK dapat kapan saja dicairkan selagi digunakan untuk pembiayaan proyek sehingga tidak menghabat financial freedom nya. Dan yang penting pemerintah lepas dari bunga atau Riba. APBN lebih besar powernya menopang  tanggung jawab sosialnya untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh  rakyat Indonesia.

Namun ilustrasi tersebut diatas hanya mungkin bila PDJP bersama Partai sosialis kanan ( PKS,PBB,PPP) Sosialis nasionalis ( GARINDRA dan NASDEM) bersatu dalam aliansi dan menguasai mayoritas suara di Parlemen diatas 70%. Apabila aliansi ini hanya mencapai suara dibawah 50% maka dapat dipastikan walau presiden terpilih dari PDIP atau GARINDRA atau PKS tetap tidak akan bisa menerapkan kebijakan tersebut. Kekuatan kapitalisme international akan memanfaatkan pengaruhnya kepada  Partai seperti , PKB, PAN bersama  PD dan Golkar untuk menghadang setiap upaya hendak merubah UU yang bisa membuat kepentingan business Migas mereka tereliminasi. Semuanya kembali kepada Rakyat ketika PEMILU nanti. Apakah lebih suka menadahkan tangan dan gratis dari negara namun mencari rezeki sulit dan harga melambung tinggi ? Pilihlah Partai beraliran atau berkiblat kepada kapitalis. Ingin mendapatkan financial freedom karena mencari rezeki mudah dan biaya hidup murah? Pilihlah Partai yang tidak berkiblat kepada Kapitalis. Apabila anda Golput maka suka tidak suka anda ikut bertanggung jawab bila negara ini tetap hidup dari RIBA dan terjebak RIBA, karena anda diberi kebebasan memilih tapi anda milih lari dari arena. Cerdaslah! 

No comments:

ERA Jokowi, dari 16 target yang tercapai hanya 2

  Realisasi kuartal III-2024, ekonomi nasional tumbuh 4,95%. Konsumsi rumah tangga sebagai pemberi andil terbesar hanya mampu tumbuh 4,91%. ...