Sunday, May 19, 2013

PKS?


Jam menunjukan pukul 8 malam. Diluar nampak hujan gerimis. Dia masih bersemangat berbicara. Menurutnya kini muncul wacana bisik bisik dikalangan elite untuk kembali kepada Pancasila dan UUD 45 secara murni. Pancasila adalah rumus pemersatu keaneka ragaman paham dan agama. Sebagai keyakinan bahwa tidak boleh satupun meng claim dia paling benar kecuali Tuhan yang Maha Esa.  Kita membutuhkan Pancasila kembali, benarkah itu? tanya saya. Ketika Bung Karno bicara tentang Pancasila , ketika ia mengakui bahwa sebuah negara mau tak mau mengandung ‘perjuangan sehebat-hebatnya’ di dalam persoalan ‘faham’, ia menatap ke sebuah arah: ia ingin membuat tenteram kalangan politik Islam. Ia menganjurkan agar ‘pihak Islam’ menerima berdirinya sebuah negara yang ‘satu buat semua, semua buat satu’. Ia menolak ‘egoisme-agama”. Tapi ia juga membuka diri kepada kemungkinan ini: bisa saja suatu saat nanti hukum yang ditegakkan di Indonesia adalah hukum Islam – jika ‘utusan-utusan Islam’ menduduki ‘sebagian yang terbesar daripada kursi-kursi badan perwakilan rakyat’.  Nah, benarkan, bahwa perjuangan ke arah hegemoni diakui sebagai sesuatu yang wajar dan syah. Pancasila membuka ruang untuk Islam tegak, juga bagi yang lainnya. Hegemoni penting. PKS berjuang untuk itu.

Dengan demikian, menurutnya bahwa Pancasila sebagai Weltanachauung ( idiologi ) yang dirumuskan sebenarnya bukan fondasi yang kedap, pejal, sudah final dan kekal, hingga meniadakan kemungkinan satu ‘faham’ menerobosnya dan mengambil-alih posisi ‘filsafat dasar’ itu. Syariah islam kelak akan menggantikannya. Dengan kata lain, Pancasila bukan sesuatu yang ‘sakti’. Saya hanya terdiam. Saya menyadari bahwa kita hidup di sebuah zaman yang makin menyadari ketidak-sempurnaan nasib manusia. Keadilan social adalah utopia. Gagasan ‘sosialisme ilmiah’ yang ditawarkan oleh Marx dan Engels pernah meramalkan tercapainya ‘surga di bumi’, sebuah masyarakat di mana kapitalisme hilang dan kontradiksi tak ditemukan lagi. Tapi cita-cita itu terbentur dengan kenyataan yang keras di akhir dasawarsa ke-8 abad ke-20: Uni Soviet dan RRC mengubah haluan, dengan menerima ‘jalan kapitalis’ yang semula dikecam. Sosialisme pun terpuruk: ternyata ‘ilmiah’ bukan berarti ‘tanpa salah’, ternyata Marxisme sebuah gagasan yang akhirnya harus mengakui bahwa dunia tak akan pernah bebas dari kontradiksi. Tak ada salahnya untuk tidak lagi “menggali” pancasila tapi “menggali” Al Quran dan Hadith. Disana ada semua sebagai cara yang bijak mengakui ketidak sempurnaan manusia dan juga berlindung dari itu.  

Dewasa ini cita-cita menegakkan ‘Negara Islam’ atau Khilafah mungkin satu-satunya yang masih percaya bahwa kesempurnaan bisa diwujudkan.Lanjutnya. Jika hukum Tuhan adalah hukum yang hendak diterapkan, mau tak mau hasil yang diharapkan adalah sebuah kehidupan sosial yang tanpa cacat. Mungkinkah, tanya saya bersemangat! Dia menggelengkan kepala. Sejarah yang terbentang dalam jangka waktu lebih dari 21 abad – sebuah sejarah harapan dan kekecewaan yang silih berganti, sebuah sejarah ide dan rencana cemerlang yang kemudian terbentur, sebuah riwayat pemimpin dan khalifah yang tak selamanya tahu bagaimana menjauh dari nafsu kekuasaan. Bukankah setiap agama selamanya menjanjikan kehidupan alternatif: di samping yang ‘duniawi’ yang kita jalani kini, ada kelak yang ‘ukhrowi’ yang lebih baik. Maka sebuah ‘Negara Islam’ yang tak mengakui ketidak-sempurnaannya sendiri akan salah secara akidah. Tapi sebuah ‘Negara Islam’ yang mengakui ketidak-sempurnaannya sendiri akan menimbulkan persoalan: bukankah ajektif ‘Islam’ mengandaikan sesuatu yang sempurna? Dilema itu berasal dari pengalaman kita: bumi adalah bumi; ia bukan surga. Ketidak-sempurnaan, bahkan cacat, berlangsung terus, berselang-seling dengan saat-saat yang mengagumkan. Agaknya akan demikian seterusnya.  Dia tersenyum usai menyampaikan analogisnya sambil melirik kearah jendela. Hujan sudah mulai turun deras seperti dicurahkan dari langit. Sebentar lagi Jakarta akan banjir.  

PKS tak ingin mendirikan Negara Islam. Tak ingin membawa paradox kehidupan dalam symbol Islam. BIarlah Islam sebagi sesuatu yang suci tak ternoda sebagai suara Tuhan. Keimanan yang di formalkan lewat icon demokrasi justru akan menodai kesucian islam itu sendiri. Karena islam tidak bisa ditempatkan dimanapun kecuali didalam hati manusia yang ikhlas.  Para pendiri PKS  menyadari itu ketika mereka menjadi bagian dari system demokrasi. NIlai nilai Islam adalah substansi atau hakikat yang mereka perjuangkan. Didalam hati mereka ada Islam. Ada  Weltanachauung ( idiologi ) tentang kebaikan, kebenaran dan keadilan. Namun mereka tidak mengatakan bahwa mereka pejuang khilafah islam yang utopis itu. Mereka hanyalah manusia yang zhalim dan lemah. Manusia yang tak akan bisa sempurna tanpa pertolongan Allah. Yang tak mungkin bisa mencapai kemenangan tanpa pertolongan Allah. Yang tak mungkin berbuat apapun tanpa kehendak Allah. Karenanya mereka hanya ingin berjuang untuk keadilan ( Q.S.al-Maidah:8) dan itupun tak lain sebuah harapan untuk  bisa mendekati sifat Taqwa kepada Allah. Salah dan benar akan selalu bersanding didunia ini. Tak ada manusia yang bisa meng claim dia paling suci. Karena manusia bukanlah malaikat. Namun niat untuk tegaknya keadilan dan kesejateraan tak boleh surut. Sikap ini harus tetap menyala nyala didalam hati setiap umat islam sebagai cara meninggikan kalimat Allah. 

PKS adalah wadah dan sarana dakwah, itu saja. Para kader harus mengelola ketidaksempurnaan melalui proses pembelajaran dari kesalahannya. Belajar adaiah proses berubah secara konstan untuk menjadi lebih baik dan sempurna dari waktu ke waktu. kami mengakhiri Pertemuan itu. Hujan deras diluar membuat jalanan macet dan banjir. Namun Jakarta akan baik baik saja, begitupala Indonesia,juga PKS

No comments:

Menyikapi keputusan MK...

  Pasar bersikap bukan soal kemenangan prabowo -gibran. Tetapi bersikap atas proses keputusan yang dibuat oleh MK. Pasar itu jelas cerdas, l...