Sunday, May 5, 2013

Elite dan Demokrasi.


Pada tanggal 4 Juli 1776 sejumlah orang — banyak di antaranya pandai, berani, bercita-cita tinggi, dan pintar berdebat — berkumpul di Philadelphia, di koloni Inggris yang bernama Amerika. Mereka ingin menyatakan kemerdekaan dari Inggris. Setelah berdiskusi kurang-lebih sepekan, mereka akhirnya menyetujui rancangan deklarasi yang ditulis oleh Thomas Jefferson, untuk menyerukan bahwa semua manusia “dikaruniai oleh Sang Pencipta hak-hak tertentu yang tak dapat disisihkan” — yakni hak untuk “hidup, kebebasan, dan mencari kebahagiaan”. Tapi toh ketika Jefferson menyusun naskah deklarasi itu di kamarnya di tingkat kedua sebuah rumah bata Philadelphia itu, ia tak berpretensi ingin menyajikan sebuah gagasan yang orisinil. Benih deklarasi ini memang tak bermula di kepalanya. Itu berasal dari pesan Gereja namun hanya digunakannya untuk meyakinkan rakyat untuk bersatu dibawah satu bendera. Tak ubahnya dengan Deklarasi Kemerdekaan Indonesia yang diawali dengan piagam Jakarta tentang kewajiban melaksanakan syariah islam.  Terbukti seusai Kemerdekaan, baik AS maupun Indonesia tidak pernah melaksanakan pesan deklari kemerdekaan itu secara orisinil. Tidak ada pesan Gereja yang diikuti walau para elite disumpah atas nama Tuhan dengan Alkitab sebagai saksi. Tidak ada pesan Al Quran yang diikuti walau para elite disumpah atas nama Allah dengan Alquran sebagai saksi.

Mengapa ? dari awal mereka sudah berdusta atas nama Tuhan. Berdusta atas nama kebaikan, kebenaran dan keadilan. Bila kebaikan itu bagus untuk rakyat namun mengekang nafsu para elite untuk terus berkuasa maka kabaikan harus dihapus. Bila kebenaran itu harus diperjuangkan demi rakyat namun karenanya membuat para elite tidak bebas korup maka kebenaran itu diperdagangkan. Bila hukum  itu penting untuk ketertipan maka itu cukuplah berlaku bagi rakyat , dan tidak perlu bagi Elite penguasa. Keadilan hanya untuk elite dan rakyat harus jauh dari itu semua. Makanya tidak mungkin terdengar para elite berkata bahwa Freeport harus angkat kaki dari Indonesia, kontrak Konsesi MIGAS ditangan asing harus direvisi seperti yang dilakukan oleh  Bolivia atau Venezuela. ,landreform harus dilakukan untuk memberikan keadilan bagi rakyat secara luas, UU dan Peraturan harus sesuai dengan Agama, pelaku korupsi harus dihukum mati dan keluarganya dipastikan miskin melalui hukum pembuktian terbalik.

2014 nanti kita akan kembali menggelar PEMILU dengan anggaran diperkirakan sebesar Rp. 16 triliun. Setelah melakukan verifikasi terhadap calon legislative yang diajukan oleh masing masing partai , tentu KPU akan memutuskan nama caleg yang lolos verifikasi. Selanjutnya , calon itu harus mempersiapkan diri bertarung di daerah pemilihannya dengan calon dari partai lain. Dari sekarang persiapan sudah dilakukan, termasuk menggalang dana untuk biaya kampanye kelak. Teman saya dari New York seorang aktifis kemanusiaan pernah berkata kepada saya bahwa satu satunya penipuan yang tidak bisa dituntut didepan pengadilan adalah janji politisi. Semua tahu ketika Pemilu , semua politisi berbicara begitu hebatnya. Orasinya diatas panggung menggunakan berbagai cara untuk menarik simpatik rakyat. Janji ditebar, kata kata hikmah atau magic word dari filsup, negarawan hebat sampai kepada firman Allah disampaikan dengan begitu indahnya. Seakan  sang politisi berkata kepada semua orang bahwa ia tidak berbeda dengan sang fisuf hebat atau negarawan hebat dan memilih dia adalah bagian dari firman Allah.  Itu semua adalah bualan belaka. Sebuah cara culas yang harus dilakukan oleh  siapapun yang masuk dalam system demokrasi liberal. Tipu , berbohong, itu adalah seni untuk menjadi pemenang.

Demokrasi tak ubahnya dengan dictator, yang keduanya punya prinsip mensejahterakan elite politik. Demi stabilitas maka kesepakatan lendir diantara mereka sudah menjadi kelaziman.  Mau bukti? siapapun yang tampil dipanggung politik demokrasi dan unggul , tidak pernah berani malakukan perubahan untuk kebaikan, kebenaran dan keadilan. Karena perubahan berarti Chaos. Semua tak ingin chaos. Walau ia berbicara tentang perubahan maka hanyalah dialogh actor kelas panggung. Obama tampil sebagai president dengan jargon  perubahan “Change will not come if we wait for some other person or some other time. We are the ones we've been waiting for. We are the change that we seek.” Semua orang terpukau dengan magic world tentang perubahan. Namun setelah berkuasa, janji tinggal janji. Perubahan tidak terjadi seperti yang dibayangkan oleh rakyat Amerika ketika memilih Obama.  Lima tahun setelah putaran pertama berkuasa, Obama punya janji lain untuk meyakinkan rakyat Amerika agar memilihnya kembali. Jadi ya sama seperti business ponzy yang terus berputar putar sampai tidak ada lagi orang yang mau datang kebilik Pemilu, ketika itu barulah kita sadar bahwa para elite itu tak lebih pengangguran berdasi yang kerjanya hanya menipu untuk hidup senang.  Yang pasti siapapun yang kita pilih maka mereka adalah gerombolan satu rezim , satu platform untuk status quo.

No comments:

Masa depan IKN?

  Jokowi mengatakan bahwa IKN itu kehendak rakyat, bukan dirinya saja. Rakyat yang dimaksud adalah DPR sebagai wakil rakyat. Padahal itu ini...