The Third Steering Committee
Meeting antara Indonesia-Jepang yang berlangsung di Tokyo pada 9 oktober
lalu. Berita ini menyebar sampai keluar negeri. Dua minggu kemudian teman saya kirim email berkaitan
dengan program pembangunan infrastruktur DKI khususnya MRT. Sebagai consultant dibidang
value engineering , teman ini sempat mempertanyakan kebijakan pemerintah pusat menerima
bantuan dana berupa soft loan dan hibah dari jepang ini. Padahal sebagian besar sumber pembiayaan project ini 55% swasta dan sisanya 45 % bersumber dari public ( Bond
), private investor, APBN, loan dan
hibah dari jepang. Semua tahu bahwa bantuan dari jepang itu tidak
gratis. Ini murni business. Yang pasti bahwa jepang punya bargain position menentukan apa yang dia mau sebagai lender MRT tersebut. Terbukti didalam daftar peserta tender project MRT ini semua berasal dari jepang dan indonesia hanya sebagai "pendamping". Menurut
saya wajar saja. Ini hanya business. Tapi teman itu menghitung dari sisi value
engineering. Dari hitungannya bahwa dana hibah dan soft loan itu dalam jangkan
panjang justru menjadi sangat memberatkan bagi project dan pada akhirnya menjadi
mahal. Mengapa ? karena project MRT akan dibebani biaya maintenance yang tidak
murah dari vendor. Ini akan terus tergantung dengan vendor ( jepang)
Jepang sudah berkomitment
untuk memberikan bantuan dana untuk project MRT sebesar 120 MIliya Yen berupa
soft loan dan hibah. Menurut teman saya bahwa namanya project soft loan dan
hibah sarat dengan korupsi berupa mark up. Soal ini jepang berpengalaman di
Indonesia dan ahli menyemir pejabat. Baiklah, seandainya JOKOWI berkeberatan dengan biaya
yang mahal ini dan akhirnya mengeluarkan jepang dari project ini. Lantas dari
mana sumber pendanaannya? Akankah swasta betul betul punya komitmen untuk membiayai project ini? Apakah
ada bank dalam negeri yang berani ambil resiko mendanai project ini? Mungkinkah
private investor berani menempatkan dananya dalam project ini? Demikian tanya
saya. Karena melihat situasi dan kondisi moneter global yang tidak kondusif
untuk menggalang mega dana ini. Teman itu menjelaskan dalam emailnya bahwa
financial resource untuk project infrastruktur masih terbuka lebar asalkan ada
jaminan kepastian hukum dan system pengelolaan yang professional. Skema pembiayaan yang ditawarkannya adalah
inkind loan ( Non Cash Loan/NCL). Inkind loan adalah pinjaman yang diberikan oleh private investor
atau lembaga keuangan dalam bentuk barang atau project jadi. Dengan skema
inkind loan ini memungkinkan pembangunan project dapat transfarance dan memenuhi risk management compliance.
Skema inkind loan itu
sederhana saja, kata teman itu. Pihak Pemilik project (
BUMD ) menunjuk Asset Management dan Project Management untuk mengorganisir
penggalangan dana. Penyandang dana tidak mengeluarkan dana kepada project tapi
memberikan jaminan pembayaran ( payment guarantee ) dalam bentuk Letter of credit kepada EPC ( engineering,
Procurement , contractor ). Jaminan ini sifatnya bersyarat, yang akan dicairkan
bila project selesai dibangun. Hal ini masuk akal karena mana ada yang mau
kasih dana bila project hanya berupa mimpi dan studi. Berdasarkan payment
guarantee ini , pihak EPC akan mengajukan kredit kontruksi kepada bank atau
bisa juga dengan skema bagi hasil melalui bank syariah. Pihak bank memberikan
kredit kontruksi ini tentu memperhatikan qualifikasi EPC nya. BIla EPC tidak
qualified maka pasti di tolak oleh bank. Artinya hanya EPC yang bermutu dan
qualified dari sisi perbankan yang bisa mengerjakan project ini. Dengan begitu project akan aman dari
kontraktor petualang. Setelah project
selesai EPC akan mencairkan payment guarantee tesebut untuk melunasi hutangnya.
Setahun beroperasi, BUMD sebagai pemilik project dapat menerbitkan revenue bond ( seperti SUKUK)
dan menjualnya kepada public. Hasil penjualan itu untuk membayar hutangnya kepada penyandang dana inkind loan. Tiga
tahun kemudian, BUMD melakukan IPO untuk melunasi revenue bond itu atau
mengajukan conversi bond dengan saham. Selanjutnya pemilik project adalah public
dan pengguna project juga public. BUMD hanya pengelola untuk dan atas nama public.
Walau project ini volume nya
sangat besar namun pengerjaannya tidak mungkin sekaligus. Tentu bertahap. Melalui inkind loan tersebut diatas , setiap tahapan selesai langsung dioperasikan untuk menghasilkan cash ini dan
sekaligus meningkatkan performance financial project agar terjadi project derivative value untuk mendapatkan sumber pendanaan tahap berikutnya sampai akhirnya semua
tahapan selesai. Artinya untuk nilai project sebesar Rp. 420 triliun , sebetulnya
diperlukan dana pendorong hanya sebesar Rp. 12 triliun atau kurang lebih 3
persen. Selebihnya cash flow project itu sendiri yang akan menjadi trigger pembiyaan project. Tidak perlu kawatir mengenai sumber dana. Kata
teman saya. Sumber dana dalam negeri khususnya perbankan nasional dan lembaga keuangan sangat mampu
untuk menggalang dana tanpa harus menggunakan dana APBD atau APBN. Jadi sudah benar bila JOKOWI harus meninjau ulang
project MRT. Itu bukan berarti JOKOWI menolak project itu dibangun tapi ingin
agar project tersebut dimasa depan tidak membebani rakyat. Caranya harus smart
untuk membela kepentingan rakyat tanpa harus didikte oleh asing.
Agar inkind loan ini dapat
terlaksana tentu membutuhkan organisasi pembangunan yang professional dengan
melibatkan jasa keahlian dibidang Project Management, Contractor, Procurement,
Asset Management. Semua keahlian itu ada di Indonesia , khususnya dibawah BUMN.
BUMN Indonesia dibidang EPC ( engineering, procurement, contracting) rata rata
sudah berkelas dunia dan listed di Bursa Begitupula dengan industry rekayasa
untuk Kereta api seperti INKA dinilai mampu asalkan diberi kesempatan.
Begitulah dengan Lembaga Electronica Nasional mampu menyediakan system berbasis
electronic untuk MRT. Sebagaimana China, bahwa setiap ada mega project maka itu
merupakan kesempatan besar bagi BUMN untuk menunjukan kemampuannya dan
sekaligus sebagai wahana on the job training untuk menjadi BUMN berkelas dunia.
Untuk itu BUMN harus menjadi Main- contractor bukannya menjadi subcontractor
atau hanya sebagai pendamping kontraktor jepang. Untuk itu diperlukan dukungan
politik dari pemerintah baik pusat maupun DKI agar pembangunan tidak hanya sekedar menyediakan sarana
tapi juga memperkuat kemampuan untuk mandiri dalam jangka panjang, baik dana maupun tekhnologi. Disinilah peran Dahlan Iskan untuk bergandengan tangan dengan JOKOWI mengawal mega project MRT untuk kejayaan bangsa.
No comments:
Post a Comment