Friday, October 12, 2012

Hak Grasi Presiden


"Ya Umar! Takutlah kepada Allah dalam memerintah manusia. Jangan takut kepada manusia dalam menjalankan agama Allah! Jangan berkata berbeda dengan perbuatan. Karena sebaik-baik perkataan ialah yang dibuktikan dengan perbuatan". Itulah yang dikatakan oleh Said bin Amr kepada Umar ketika terpilih sebagai khalifah. Umar Bin Khatap menerima nasehat itu dan membuktikannya ketika berkuasa sebagai khalifah. Dengan tangannya sendiri Umar Bin Khatap menghukum rajam putranya sampai mati karena terbukti memperkosa seorang wanita. Tapi kepada seorang budak dari Hathib bin Balta'ah yang terbukti mencuri onta kabilah Mazinah, Umar membatalkan hukuman potong tangan. Hanya karena Umar mengetahui bahwa budak itu mencuri karena kemiskinan dan kelaparan akibat tuannya yang zolim. Umar bahkan menghukum  Hathib bin Balta'ah dengan cara ia harus merasakan lapar dan mengganti onta itu dengan harga dua kalilipat kepada pemiliknya. Belakangan Said Bin Amr dipilih oleh Umar bin Khatap sebagai Gubernur Hismsh ( Horm/Syiria) karena yakin Said akan menegakan kebenaran dan keadilan disana. Semasa menjadi Gubernur , Said dikenal sebagai pemimpin yang patut dizakati karena miskin tapi berhasil membuat penduduk Horn tertip dan berkahlak mulia.

Hukum harus ditegakkan namun para pemimpin atau hakim harus punya hati nurani untuk keadilan itu sendiri dan keteladanan akhlak mulia. Suatu hari Usamah bin Zaid, ra., datang kepada Rasulullah SAW untuk membantu membebaskan atau meringankan hukuman bagi seorang wanita Bani Makhzum dari golongan bangsawan. Rasulullah SAW melihat sikap Usamah seketika marah, seraya bersabada : " Kau (wahai Usamah) akan membebaskan seseorang dari hukum yang telah Allah tentukan?! Melihat kejadian itu Rasulullah segera berdiri di depan khalayak, dan bersabda : "Sungguh orang-orang terdahulu sebelum kelain dihancurkan ( oleh Allah ) karena bila pemuka mereka mencuri dibebaskan dari hukum, dan bila orang-orang lemah yang mencuri ditimpakanlah kepada mereka hukuman. Demi Allah, seandainya Fatimah putri Muhammad melakukan pencurian, niscaya akan saya potong tangannya. Untuk bersikap seperti ini maka memanglah pribadi pemimpin dan hakim harus berlandaskan kepada Al Quran yang selalu dalam tutunan Allah. Tak mungkin ada bagi pemimpin yang hidupnya begitu mencintai kekuasaan hingga ragu bersikap kebenaran dan mengabaikan kebaikan untuk tegaknya keadilan.

SBY pernah bertutur dalam pidatonya pada peringatan Hari Anti Narkoba (2006) bahwa "Saudara ketua Mahkamah Agung, saya sendiri, tentu memilih untuk keselamatan bangsa dan negara kita, memilih keselamatan generasi kita, generasi muda kita dibandingkan memberikan grasi kepada mereka yang menghancurkan masa depan bangsa."  Tapi anehnya apa yang dikatakan SBY tidak sesuai dengan perbuatannya. Presiden memberikan grasi kepada pengedar Narkoba agar terbebas dari hukuman mati dengan alasan hak azazi kemanusian. Tapi kita tidak pernah mendengar Presiden memberikan grasi kepada orang miskin yang mencuri karena lapar. Seperti dulu pernah ada seorang nenek yang ketahuan mencuri 3 biji kakao harus mendekam dipenjara. Apakah kemiskinan hingga membuat orang menjadi pencuri bukan pelanggaran hak azazi kemanusiaan? Apakah hukum dan hak grasi yang dimiliki presiden tidak punya empati untuk keadilan bagi simiskin? Entahlah. Yang pasti kita kini tidak hidup dinegeri dimana para pemimpin hidup berdasarkan Akhlak Al Quran. Kita hidup didunia yang semua ada nilai transaksional. Hukum dibentuk atas dasar transaksional dan keadilan menjadi komoditi.

Lantas apakah begitu istimewanya  seorang pengedar narkoba bagi seorang presiden dan hakim?  Semua tahu bahwa kejahatan bisnis narkoba itu adalah kejahatan yang luar biasa. Dalam islam ini katagorikan sebagai kejahatan syirrir yang pantas dihukum mati. Hukum republic ini juga sudah menegaskan bahwa hukuman mati bagi pengedar. Tapi karena hak grasi yang dimiliki oleh Presiden yang bisa mengabaikan hukum tertulis maka ini digunakan oleh jaringan mafia narkoba untuk melobi seluruh saluran birokrasi agar mendapatkan keringanan hukuman menjadi seumur hidup dan akhirnya bebas karena waktu. Bagaimanapun public tidak bisa dibohongi bahwa ini ada transaksional dibalik keputusan grasi itu. Yang pasti ada pihak yang diuntungkan secara materi akibat keputusan grasi ini. Kita tidak bisa tunjuk hidung siapa itu. Yang pasti kata dan perbuatan tidak lagi seiring dinegeri ini, hingga hukum benar benar menjadi komoditi yang diperdagangkan diruang remang remang. Kita bertanya dalam kebingungan “ Apakah karena system hukum membuat presiden lulusan west point dan Phd ini menjadi lemah bersikap untuk berkata tidak ketika bawahannya meminta agar dia menggunakan hak grasinya bagi gembong narkoba? Yakinlah  karena itu, citra pemerintah lambat namun pasti akan hancur dihadapan rakyat.

Karena telah luas diketahui, dimana pada sebuah zaman ketika semua dapat diperjual-belikan, termasuk kebenaran, kebaikan dan keadilan. Wahana lahirnya kepemimpinan, orang cenderung percaya bahwa bahkan partai harus juga dianggap sebagai komoditas. Pemimpin yang lahir karena partaipun kadang tak menyadari bahwa dia adalah bagian dari komoditas. Dan di tengah berisiknya jual beli  itu rasanya tidak adalagi prinsip tentang kebaikan , kebenaran dan keadilan? Semuanya untuk kepentingan subyektif, dan tak ada suatu nilai universal yang menggugah hati dan membentuk akhlak mulia? Ini tidak akan terjawab dengan benar. Hanya Al Quran dan hadith yang bisa menjawabnya dengan benar. Bagaimanapun ini bukanlah salah seorang presiden saja. Ini adalah buah yang kita petik dari kesalahan proses tumbuhnya pohon besar republic ini. Akarnya bukan agama. Rantingnya bukan budaya . Ini hanya pohon plastic yang indah tapi tak bernyawa alias fake one.

No comments:

ERA Jokowi, dari 16 target yang tercapai hanya 2

  Realisasi kuartal III-2024, ekonomi nasional tumbuh 4,95%. Konsumsi rumah tangga sebagai pemberi andil terbesar hanya mampu tumbuh 4,91%. ...