Tuesday, April 26, 2011

Budaya ?

Apa sih yang dimaksud dengan budaya?. Demkian tanya teman saya ketika terjadi pembicaraan soal maraknya budaya asing masuk ke Indonesia. Bagi saya budaya adalah prilaku manusia untuk bersikap dan berbuat terhadap segala asek kehidupan dimana dia tinggal, yang diperoleh lewat belajar. Belajar ini tidak harus dari bangku sekolah tapi bisa dari mana saja.. Orang minang berkata ” alam takambang jadi guru.” . Ketika Allah menciptkan bumi dan makhluk bernama manusia maka Allah pun menciptakan system pembelajaran budaya untuk hidup dibumi.. Ingat kisah waktu qabil putra adam usai membunuh Habil, dia melihat dua burung bertikai dan salah satunya mati. Burung yang hidup mengais ngais tanah. Setelah itu menarik buruk yang mati itu kedalam tanah yang sudah digali. Itulah yang dicontoh oleh Qabil untuk menguburkan Habil. Artinya alam mengajarkan manusia untuk berbudaya.

Seorang Arkeologh Belanda bernama Dr. Jan Laurens Andries Brandes pernah menulis hasil penelitiannya bahwa terdapat 10 jenis unsur kebudayaan asli Jawa (Indonesia) sebelum ada pengaruh dari bangsa asing, yaitu: teknik bercocok-tanam dengan sistem irigasi, pelayaran, astronomi/ ilmu perbintangan, organisasi sosial/ sistem pemerintahan yang teratur, wayang, gamelan, batik, metrum, pengecoran logam, sistem transaksi dengan menggunakan mata uang logam. Artinya jauh sebelum tekhnologi modern ada , orang jawa sudah berbudaya. Begitupula suku lainnya. Siapa yang mengajarinya? Ya Allah, dengan menyediakan alam lingkungan sebagai pembelajaran bagi manusia untuk hidup dibumi. Karena proses pembelajaran itu bersumber dari Alam maka budaya itu menghidupi masyarakat untuk bertahan terhadap pengaruh alam itu sendiri. Bahkan manusia dapat memakmurkan dirinya dari segala keterbatas phisik yang dimilikinya. Manusia survive dilingkungannya karena lingkungannya mengajarkan untuk itu.

Budaya itu menyatu dengan alam. Ini fakta. Seperti cara berpakaian , cara berbicara dan lain sebagainya tak bisa dipisahkan dengan geographis. Orang yang tinggal di daerah tropis berbeda pakaiannya dengan orang yang tinggal di subtropis. Orang yang tinggal didaerah pesisir, logat bahasanya berbeda dengan orang yang tinggal di daerah pegunungan. Bandingkanlah logat bicara orang Sunda dengan orang cirebon. Atau bandingkan logat bicara orang Pariaman dengan orang Agam. Pasti berbeda. Yang satunya lembut bagaikan angin pegunungan yang sepoi sepoi dan satunya lagi keras seperti deru angin dan ombak dipinggir pantai. Bayangkanlah Sunda dan Cirebon hanya berjarak sejengkal ( masih jawa barat juga ). Pariaman dan Agam masih satu propinsi yaitu Sumatera Barat. Berbeda jarak sedikit saja , sudah begitu berbeda soal budaya apalagi jaraknya jauh. Artinya antara manusia dan alam tempat tinggalnya tidak bisa dipisahkan. Dia melekat seperti gelas dengan tatakan. Singkron sekali,. Begitulah Allah mendesign kehidupan ini.

Belakangan ini banyak orang berkata bahwa kemajuan Negara lain disebabkan oleh kebudayaan. Mereka menganggap kemunduran Indonesia karena budaya Indonesia sebagai penghambat kemajuan. Makanya tesis modern yang dijadikan rujukan pembangunan di Indonesia lebih banyak berasal dari luar Indonesia. Para cerdik pandai yang duduk di birokrasi dan parlemen semakin hari semakin tidak mengenal Indonesia.. Mereka lebih asyik memahami budaya asing lewat studi banding ke luar negeri, baca buku terbitan universitas Luar negeri. Dengan itulah UU dibuat, Program dibuat untuk sebuah negara bernama Indonesia. Dan bila program itu tidak jalan, mereka menyalahkan rakyat , menyalahkan budaya Indonesia yang tidak sama seperti bangsa lain. Bahkan kemajuan China dan Eropa, Amerika dijadikan pembanding. Ini jelas ke blinger. Bagaimana mungkin budaya orang yang tinggal disubtropis , dipaksakan untuk diterapkan di Indonesia yang tropis? Ini jelas antara cangkir dan tatakan tidak singkron.

Yang membuat Indonesia mundur dan terkesan kalah bersaing dengan dunia luar lebih disebabkan karena kebijakan nasional tidak lagi membumi. Karakter bangsa telah terkikis lewat pencerahan budaya dari luar yang notabene tidak sesuai dengan manusia Indonesia. Mungkin sebagian orang menuduh kesimpulan saya ini picik. Apalagi dikaitkan kemajuan IPTEK negara lain. Saya katakan bahwa IPTEK juga adalah proses budaya tapi tidak bisa digeneralkan IPTEK cocok bagi semua orang yang berbeda wilayah.. Contoh. Obat kimia , kemajuan IPTEK dibidang Pharmasi di Barat memang lahir akibat geographisnya miskin flora fauna hayati, tapi tidak untuk Indonesia yang kaya akan sumber tanaman obat alami. Demokrasi di AS , memang paling cocok untuk AS yang pluralis dan penduduknya sebagian besar berasal dari banyak bangsa dengan geographis berbeda. Tapi tidak cocok untuk indonesia yang walau berbeda suku namun tetap berasal dari satu wilayah dibawah khatulistiwa. .

Contoh lain , seperti kebijakan petumbuhan ekonomi nasional sebagai cara untuk mendistribusikan pemerataan ekonomi. Apa yang terjadi,? Justru melepaskan rakyat dengan lingkungannya. Hutan ditebang, kayunya dijual, tanahnya di gerus untuk tambang dan dirubah ekosistemnya dengan tumbuhan komersial berjenis sama ( Sawit dll ). Tapi pada waktu bersamaan masyarakat yang tinggal dilokasi itu ikut tersingkir dari alamnya. Kalau mereka tidak bisa bersaing dengan pendatang soal memanfaatkan alamnya , ini memang beda chemistry nya. Bagi orang Indonesia , kekayaan alam yang luar biasa itu disikapi dengan biasa. Karena itu sudah menjadi bagian dari mereka. Tapi bagi orang yang tinggal didaerah yang tidak sekaya Indonesia alamnya , melihat Indonesia seperti serigala lapar.

Hancurnya alam dan ekosistem tanpa memberikan kemakmuran bagi bangsa Indonesia tak lain adalah kesalahan dari segelintir orang yang merusak lewat kebijakan politik. Daya rusaknya sangat sistematis. Tercabutnya akar budaya, hilangnya karakter bangsa yang gemar bergotong royong untuk berproduksi, yang santun, cinta kasih dalam musyawarah mufakat. Kini tergantikan oleh individualisme, konsumerisme, berkompetisi untuk yang kuat menang. Akibatnya kita menjadi bangsa yang gagal menjadi dirinya sendiri. Kita tidak lagi berdiri diatas pijakan kita. Seharusnya kebijakan publik itu membumi dengan budaya lokal ( geopolitik ). Atau istilah romatisnya pembangunan yang berlandaskan kepada kearifan local namun tak terasing dengan dunia luar. Atau visi The world's local country. Membangun dengan budaya local namun berkelas dunia.

No comments:

Menyikapi keputusan MK...

  Pasar bersikap bukan soal kemenangan prabowo -gibran. Tetapi bersikap atas proses keputusan yang dibuat oleh MK. Pasar itu jelas cerdas, l...