Dubai, adalah negara bagian dari Uni Emirat Arab. Beberapa tahun belakangan ini , masyarakat dunia terpesona dengan pesatnya kemajuan Dubai. Kota gurun yang sepi, berkat kekuatan petro dollar dari Arab, negara ini disulap menjadi kota super modern. Kehebatan pembangunan property di Dubai mengalahkan Hong Kong dan New York. Hampir berbagai project marcusuar yang ada di negara lain, terpaksa harus menerima kalah dengan Dubai. Ketika berkunjung kesana , saya dapat merasakan geliat uang dan ambisi. Hampir setiap kesempatan saya mendengar pembicaraan tentang arus investasi masuk keberbagai project ambisius.
Dubai adalah sebuah icon dari wajah Arab. Teman saya sempat berbisik ketika masuk kesuatu tempat mewah ” Andaikan konstitusi PBB mengizinkan invasi kenegara lain maka seluruh negara Arab sudah menjadi negara bagian AS. Negeri ini hanya punya lambang dan bahasa selebihnya adalah kepentingan AS. ” Teman ini tidak berlebihan karena hampir sebagian besar penasehat investasi di Dubai adalah orang AS atau perusahaan consultant investasi dari New York. Memang Dubai di design oleh AS dan Eropa sebagai salah satu financial center mata uang dollar. Tujuannya adalah mengendalikan financial resource yang dikuasai oleh negara negara arab. Abu dabhi sebagai ibu kota Emirat Arab merupakan kota pelabuhan minyak terbesar di Timur Tengah. Negara ini memiliki devisa lebih dari USD 100 miliar.
Apakah Emirat Arab diuntungkan dari situasi tersebut diatas? Kenyataannya tidak. Sekali lagi tidak ada yang dikejar oleh investor di Dubai melainkan kepentingan jangka pendek. Selama proses pembangunan besar besaran yang dilakukan oleh Dubai World , berbagai lembaga keuangan di AS , Eropa berperan penuh sebagai vehicle mengalirnya dana warga kaya arab keberbagai kegiatan investasi dan salah satunya pada Dubai world yang mengeluarkan SUKUK atau Surat Hutang berbasis Syariah. Namun minggu lalu dunia terkejut ketika SUKUK yang dikeluarkan Dubai World dinyatakan gagal bayar atau penundaan pembayaran hutang pokok ( standstill) sampai tahun 2010. Pasar keuangan regional maupun international goncang.
Keadaan ini memaksa Abu dabhi untuk berencana mem bail out kewajiban Dubai World. Maklum saja karena Dubai World adalah BUMN yang dimiliki oleh Dubai. Resiko gagal bayar ini akan merusak kepercayaan investor kepada Dubai. Nilai surat Hutang Dubai World mencapai USD 60 miliar. Namun total investasi yang kini ada , menurut analisis tidak lebih 50%. Artinya terjadi penurunan nilai akibat krisis global. Yang pasti diuntungkan adalah para kontraktor, Asset Manager, Consultant , banker, yang sebagian besar berkantor pusat di London dan New York. Mereka sudah mendapatkan fee didepan sebelum proyek itu usai. Dan kini mereka memaksa Pemerintah Dubai untuk membayar semua kewajiban itu. Mungkinkah ?.
Dari peristiwa gagal bayar SUKUK Dubai World ini ada indikasi suatu skenario besar untuk membuat produk obligasi berbasis syariah ( Islam ) kehilangan trust di market. Yang tadinya orang begitu yakin bahwa inilah produk yang tahan resesi dibandingkan produk obligasi umum ( riba ). Namun dengan kejadian ini publik jadi tahu bahwa produk syariah juga tak ada bedanya dengan riba. Makanya saya dapat memaklumi pendapat teman yang bekerja sebagai analis keuangan di Dubai " Hampir tidak mungkin Pemerintah Dubai dan Abu Dhabi bersedia mem bail out SUKUK itu. Keliatannya ini akan menjadi mimpi buruk bagi kreditur dan investor yang sebagian besar berasal dari arab sendiri.
Gaya Arab tak beda jauh dengan Indonesia, memang selalu ikhlas berkompromi soal syariah. Termasuk membuat produk riba berlabelkan islam. Dunia mereka hanyalah uang dan kepentingan. Akidah tak begitu penting. Seperti halnya produk SUKUK yang dimaksud bukanlah produk syariah murni. Hanya memakai nama islam tapi esensinya tetap riba. Karena ketentuan mengenai penghasilan tetap, tak ada bedanya dengan bunga.
Dubai adalah sebuah icon dari wajah Arab. Teman saya sempat berbisik ketika masuk kesuatu tempat mewah ” Andaikan konstitusi PBB mengizinkan invasi kenegara lain maka seluruh negara Arab sudah menjadi negara bagian AS. Negeri ini hanya punya lambang dan bahasa selebihnya adalah kepentingan AS. ” Teman ini tidak berlebihan karena hampir sebagian besar penasehat investasi di Dubai adalah orang AS atau perusahaan consultant investasi dari New York. Memang Dubai di design oleh AS dan Eropa sebagai salah satu financial center mata uang dollar. Tujuannya adalah mengendalikan financial resource yang dikuasai oleh negara negara arab. Abu dabhi sebagai ibu kota Emirat Arab merupakan kota pelabuhan minyak terbesar di Timur Tengah. Negara ini memiliki devisa lebih dari USD 100 miliar.
Apakah Emirat Arab diuntungkan dari situasi tersebut diatas? Kenyataannya tidak. Sekali lagi tidak ada yang dikejar oleh investor di Dubai melainkan kepentingan jangka pendek. Selama proses pembangunan besar besaran yang dilakukan oleh Dubai World , berbagai lembaga keuangan di AS , Eropa berperan penuh sebagai vehicle mengalirnya dana warga kaya arab keberbagai kegiatan investasi dan salah satunya pada Dubai world yang mengeluarkan SUKUK atau Surat Hutang berbasis Syariah. Namun minggu lalu dunia terkejut ketika SUKUK yang dikeluarkan Dubai World dinyatakan gagal bayar atau penundaan pembayaran hutang pokok ( standstill) sampai tahun 2010. Pasar keuangan regional maupun international goncang.
Keadaan ini memaksa Abu dabhi untuk berencana mem bail out kewajiban Dubai World. Maklum saja karena Dubai World adalah BUMN yang dimiliki oleh Dubai. Resiko gagal bayar ini akan merusak kepercayaan investor kepada Dubai. Nilai surat Hutang Dubai World mencapai USD 60 miliar. Namun total investasi yang kini ada , menurut analisis tidak lebih 50%. Artinya terjadi penurunan nilai akibat krisis global. Yang pasti diuntungkan adalah para kontraktor, Asset Manager, Consultant , banker, yang sebagian besar berkantor pusat di London dan New York. Mereka sudah mendapatkan fee didepan sebelum proyek itu usai. Dan kini mereka memaksa Pemerintah Dubai untuk membayar semua kewajiban itu. Mungkinkah ?.
Dari peristiwa gagal bayar SUKUK Dubai World ini ada indikasi suatu skenario besar untuk membuat produk obligasi berbasis syariah ( Islam ) kehilangan trust di market. Yang tadinya orang begitu yakin bahwa inilah produk yang tahan resesi dibandingkan produk obligasi umum ( riba ). Namun dengan kejadian ini publik jadi tahu bahwa produk syariah juga tak ada bedanya dengan riba. Makanya saya dapat memaklumi pendapat teman yang bekerja sebagai analis keuangan di Dubai " Hampir tidak mungkin Pemerintah Dubai dan Abu Dhabi bersedia mem bail out SUKUK itu. Keliatannya ini akan menjadi mimpi buruk bagi kreditur dan investor yang sebagian besar berasal dari arab sendiri.
Gaya Arab tak beda jauh dengan Indonesia, memang selalu ikhlas berkompromi soal syariah. Termasuk membuat produk riba berlabelkan islam. Dunia mereka hanyalah uang dan kepentingan. Akidah tak begitu penting. Seperti halnya produk SUKUK yang dimaksud bukanlah produk syariah murni. Hanya memakai nama islam tapi esensinya tetap riba. Karena ketentuan mengenai penghasilan tetap, tak ada bedanya dengan bunga.
No comments:
Post a Comment