Tuesday, December 1, 2009

Sketsa tentang Bursa.

Kita boleh berbeda dalam segala hal tapi tujuan kita sama. Ya kan ?, Begitu cerita dibuat diputaran pilkada, Pilpres, Pileg sampai ke pada pemilihan lurah dan RW. Cerita ditampilkan menghias panggung, diatas kilatan lampu berderet artis tenar. Semua memukau. Jelaslah sudah dan tak perlu diragukan. Demokrasi memang piawai bercerita. Tak ada dokrin yang laku jual, Tak ada kiyai yang laris mendatangkan massa. Semua berakhir pada satu pandangan bagi semua. Bahwa kita punya tujuan yang sama : Kekayaan.

Biang persoalan dari runtuhnya akar budaya gorong royong, tepo seliro, cinta tanah air, bela negara hanya karena moral ilmu ekonomi : culas. Soal heroik masa lalu , sudah dikalahkan oleh pentas sejuta bintang di televisi. Soal pancasila sudah dipinggirkan oleh cinta blackberry. Soal cinta ibu pertiwi , tenggelam oleh cinta di Cottage Pantai Ancol bersama PSK. Disini berlaku soal harga sebagai sebuah transaksi yang lumrah. Market place berada dimana mana. Dari tempat remang remang di lounge executive, di gedung DPR, di gedung Departement, sampai ditempat cyber , telphone cellular, market place tersedia. Kemana mata diarahkan, market place tersedia dan transaksi terjadi.

Uang dikejar, tak peduli bila sang waktu memakan jasad. Wajah lelah bertaburan dimana mana dari pejabat tinggi sampai lurah, Dari pedagang saham sampai pedagang asongan. Dari first lady sampai the second lady. Wajah lelah ini dihias oleh kosmetik yang mahal. Jas yang mahal. Mobil yang mahal.Rumah yang mahal. Semua mahal dan itulah moral ekomomi yang sesungguhnya. Uang ditebar, kesedihan, kekecewaan, kesenangan, kegalauan bercambur baur menjadi satu , hingga tak ada ruang lagi yang bisa diselesaikan dengan Bismillah. Tak ada ruang lagi untuk berdialogh dengan Allah di keheningan malam. Taffakur menjadi hablur karena semua tak ada lagi yang gratis.

Mari berhitung hari, sahabat. Begitu terdengar suara berbisik. Ketika hak angket DPR bergulir dari road show keberbagai elite politik. Tak ada satupun elite politik yang dimintai dukungan bersih lahir batin. Mereka sudah menjadi icon dari sebuah propaganda. Marketing tools untuk lakunya produk dipasar. Produk tak melulu soal barang yang dipahami oleh si Dulah kuli tani. Atau Si Somad, pedagang tempe goreng dipojok jalan. Produk pada tataran elite menjadi komoditi ekslusip untuk diperdagangkan di lingkungan elite pula. Ini produk dengan harga tak jelas namun pasti high value. Layaknya bursa saham. Ada yang menggoreng harga lewat transaksi culas untuk mendapatkan laba secara culas.

Dari lantai bursa peradilan, lahirlah makelar kasus, Dari lantai bursa project, lahirlah makelar project. Dari lantai bursa uang, lahirlah money broker. Semua itu adalah berkah tak terhingga bagi yang disebut dengan makelar. Hidup mereka bergelimang harta tanpa indentitas apalagi kantor mentereng. Dari para makelar inilah rekening offshore banking penuh padat. Namun semua itu terjadi dan akan selalu hadir sebagai sebuah creativitas komunitas elite karena berawal dari lantai bursa politik yang melahirkan makelar politik. Dari makelar politik inilah isu dicreate, tak penting bila karena itu institusi negara ditertawakan , diejek, dipermalukan dihadapan publik.

Tak ada yang perlu ditakutkan apalagi kekawatiran akan lahirnya chaos. Karena pada akhirnya semua itu bergerak kepada satu tujuan yang sama; Kekayaan. Kompromi pasti terjadi untuk saling berbagi. Kita tak pernah ribut soal berbeda pendapat kecuali pendapatan kita berbeda. Ya kan. Soal Si Dullah buruh tani, dan Si Somad pedagang tempe dijalan itu, mereka tak perlu pula dirisaukan. Mereka diperlukan untuk lahirnya data statistik tentang kemiskinan agar bursa SUN tetap laku dijual dan bursa demokrasi tetap hidup. Ya ,kan....

No comments:

ERA Jokowi, dari 16 target yang tercapai hanya 2

  Realisasi kuartal III-2024, ekonomi nasional tumbuh 4,95%. Konsumsi rumah tangga sebagai pemberi andil terbesar hanya mampu tumbuh 4,91%. ...