Memang agak sulit untuk mengetahui pasti jumlah Kelompok Menengah di Indonesia. Tapi berkaca pada indicator minat konsumen berdasarkan kelompok pembeli, maka hasil survey AC Nielsen mungkin cukup mewakili data yang ada. Berdasarkan hasil survey tersebut , bahwa kelompok menengah adalah mereka yang “ membelanjakan “uangnya per bulan ( bukan data income ) sebesar minimum sekitar Rp. 3,45 Juta per orang ( bukan per keluarga ) atau Rp 41 jutaan pertahun atau USD 4.000 per kapita. Jadi kalau dikeluarga ada empat orang ( dengan dua anak ) maka total pengeluaran per keluarga adalah sekitar Rp. 13,8 juta Tentu kita tidak tahu pasti berapa penghasilan keluarga itu sebulannya yang mampu belanja diatas Rp. 10 juta.
Mereka yang mampu berbelanja dengan standard minimum tersebutlah yang disebut sebagai Middle class di Indonesia. Jumlahnya ada 30 jutaan orang dengan tingkat penghasilan per orang ( kapita ) sebesar rata rata USD 7000 per tahun. Fantastic. Jumlah ini lebih besar dari penduduk Malaysia dan Singapore atau Eropa atau Hong Kong. Selama reformasi memang peningkatan jumlah kelompok menengah ini naik secara significant seiring dengan kenaikan PDP dan APBN. Makanya jangan kaget bila Indonesia mempunyai Grand Mall terbesar di dunia. Hampir semua produk waralaba asing ada di Indonesia dan selalu dipadati oleh konsumen kelas menengah itu.
Indonesia masuk katagori negara dengan kelompok menengah yang paling rakus soal belanja. Setiap dua dari 10 konsumen kelas menengah Indonesia yang disurvei ACNielsen mengatakan, mereka memilih membeli produk karya desainer internasional, kendati 90 persen dari mereka menganggap barang tersebut terlalu mahal dan kualitasnya tidak istimewa. Mereka membeli itu lebih untuk status. Hal serupa juga berlaku untuk consumer goods. Pada semester I-2006, menurut ACNielsen, angka penjualan 51 kategori produk consumer goods meningkat 10 persen dan untuk keseluruhan 2006 naik setidaknya 15 persen. Ini angka tertinggi kedua di antara 15 negara di Asia Pasifik. Keterpurukan ekonomi dan daya beli masyarakat, terutama akibat kenaikan tajam harga bahan bakar minyak pada 2005, tidak memengaruhi konsumsi kelompok menengah ini untuk tetap rakus.
Keberadaan kelompok menengah ini datang karena orientasi kebijakan negara yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi lewat konsumsi. Intinya pasar harus diberi kebebasan untuk memungkinkan produsen mampu mensuplai barangnya. Tidak penting darimana datangnya uang dan darimana barang itu datangnya ( walau sebagian import) . Makanya jangan kaget bila kredit Usaha Kecil didominasi oleh kredit konsumsi ( beli rumah, apartement, kendaraan dll ) dan hanya sedikit sekali untuk kegiatan produksi dan inovasi. Makanya jangan kaget bila Political and Economic Risk Consultancy menggambarkan Indonesia sebagai kebalikan total dari Singapura. Meskipun memiliki angka kemiskinan tinggi, konsumsi masyarakat di Indonesia mampu menjadi motor utama pertumbuhan ekonominya.
Nah model kelompok menengah seperti inilah yang ada di Indonesia. Sebagian besar mereka cenderung individualisme dan tidak empati kepada orang miskin. Tidak peduli dengan istilah neoliberal dan neocolonialism.Apalagi kalau kita minta mereka merasakan penderitaan rakyat miskin yang ada di NTT, Irian, dan lain tempat yang berjumlah 49,5% dari penduduk Indonesia , yang setiap hari hanya (menurut survey World Bank) memiliki penghasilan USD 2 atau Rp. 20,000. ( masih dibawah segelas kopi di starbuck ). Mereka tumbuh karena sebuah system yang di create oleh negara dan itulah sebabnya ketika ada yang minta system pro rakyat miskin , maka komunitas ini pula yang menapik. Pooling SMS capres membuktikan itu karena maklum hanya kelompok menengah yang bisa ber SMS tanpa harus mikir tariff SMS itu.
No comments:
Post a Comment