Tuesday, July 14, 2009

Infrastrukture Ekonomi

Salah satu janji SBY-Budiono dalam kampanye adalah pembangunan infrastruktur ekonomi akan dipercepat selama masa kepemimpinannya. Karena sebelumnya mengutip data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), kebutuhan pendanaan infrastruktur sepanjang 2005-2009 tak kurang dari USD90 miliar atau Rp900 triliun.Untuk menutup kebutuhan ini, pemerintah mengaku hanya mampu mengalokasikan anggarannya tak lebih dari 38 persen. Namun saat diimplementasikan, alokasi belanja infrastruktur ini tak lebih dari 3 persen PDB per tahun anggaran. Kondisi ini tentunya menyisakan celah kebutuhan dengan kapasitas pendanaan sebesar 62 persen. Sepanjang lima tahun ke depan (2010-2014), kebutuhan pendanaan infrastruktur diproyeksikan membengkak lebih besar dibanding lima tahun sebelumnya menjadi Rp1.429 triliun ( USD 140 milliar ) untuk menopang pencapaian pertumbuhan ekonomi 4-5 persen. Untuk memenuhi kebutuhan dana ini, pemerintah diperkirakan hanya mampu memenuhi Rp451 triliun atau 31 persen dari total dana dibutuhkan.

Laporan World Competitiveness tahun 2008-2009 menempatkan posisi Indonesia pada urutan ke-96 dari 134 negara dalam daya saing infrastruktur.Posisi itu jauh di bawah Argentina yang berada di peringkat 89, Korea (18), China (58), Thailand (35), dan Malaysia( 19).Indonesia hanya sedikit lebih baik dari Vietnam yang menempati posisi 97 dan Brasil ke-98. Khusus infrastruktur jalan, Indonesia berada pada peringkat 105, jalan rel kereta api (58), pelabuhan laut (104), transportasi udara (75), tenaga listrik (82), dan telekomunikasi (100).

Hampir semua BUMN yang mengelola insfrastrukture mengalami kesulitan mendapatkan dana untuk pembangunan infrastructure. Penyebabnya adalah project infrastructure itu adalah project jangka panjang. Resiko yang dihadapi adalah masalah exchange rate, regulation, political risk. Tak banyak investor institution yang berani langsung masuk dalam bentuk private placement. Kalaupun ada, mereka berpikir untuk masuk ketempat yang lebih aman di negara yang bersedia memberikan jaminan penuh. Hal ini dicermati oleh Departement Keuangan dengan membentuk kelembagaan guna mendukung percepatan pembangunan infrastructure ekonomi.

Ada tiga lembaga yang dibentuk oleh pemerintah yaitu PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) dan anak perusahaanya (Indonesia Infrastructure Financing Facility/IIFF) yang bertugas sebagai perusahaan pembiayaan infrastruktur di dalam negeri. Perusahaan ini kepemilikan sahamnya oleh lembaga multilateral, yaitu ADB dan world bank. Dalam usaha patungan ini pemerintah menempatkan saham sebesar Rp.1 triliun dan ADB senilai USD140 juta dan Bank Dunia USD100 juta. Jadi mayoritas pemegang sahamnya adalah asing. Yang ketiga adalah Lembaga Penjaminan Insfrastruktur. Untuk memenuhi kebutuhan pendanaan ini tentu perusahaan ini akan menarik dana jangka panjang dari luar negeri. Karena maklum saja dana dalam negeri yang berjangka panjang umumnya dikuasai oleh dana pensiun dan itu tidak dibenarkan masuk dalam business real kecuali deposito, obligasi (fixe income.).

Dengan structure perseroan yang bermitra dengan asing, sudah dipastikan , bagi BUMN atau Project taker yang memilik project insfrastructure harus siap siap membuat proposal yang menjamin laba. Sekali anda berpikir untuk kepentingan social dengan low return maka proposal anda pasti akan ditolak…Karena dana tersebut dari investor dan investor akan menjadikan SUN sebagai acuan dalam setiap menempatkan dananya. Karena resiko dijamin oleh negara dan lembaga multilateral. Maka fund raising melalui lembaga ini akan sangat efektif untuk menjadikan infrastructure terbangun minus fungsi sosialnya. Inilah yang disebut dengan privatisasi layanan public secara terselubung. Tidak dalam bentuk pelepasan phisik/ saham tapi melalui system yang mengikat dan menjebak. Rakyat hanya merasakan ketika harga jasa layanan public tidak lagi murah dan BUMN yang terpasung oleh kekuatan kapitalis.…

No comments:

ERA Jokowi, dari 16 target yang tercapai hanya 2

  Realisasi kuartal III-2024, ekonomi nasional tumbuh 4,95%. Konsumsi rumah tangga sebagai pemberi andil terbesar hanya mampu tumbuh 4,91%. ...