Thursday, April 16, 2009

Sistematis ?


Sistem itu berbicara soal jalinan yang utuh, menyeluruh, terpadu, menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Sistem itu suatu keteraturan dan logis. Tentu tak ada system buatan manusia yang sempurna. Manusia hanya berusaha mendekati sempurna. Apalagi system itu ada karena tuntutan pencipta aturan untuk melancarkan strateginya mencapai tujuan. Kita semua paham akan hal ini. Makanya sering terdengar orang berbicara tentang “sistematis”. Contohnya kasus BLBI adalah sistematis. Kasus Lapindo adalah sistematis. Kasus MIGAS adalah sistematis.Semua yang berhubungan dengan sistematis maka pemerintah tidak bisa disalahkan atau disebut melanggar hukum.

Ketika usai pemilu kita mengetahui banyak orang yang tidak mendapatkan hak politiknya karena tidak terdaftar sebagai pemilih tetap. Bagaimanapun Pemilu telah terlaksana dan kalaupun ada yang kecewa maka itu logis.. Semua proses pemilu berjalan sesuai system yang ada dinegeri kita. DPR telah mensyahkan UU tentang KependudukanNo.23 tahun 2006 dan kemudian pemerintah mengeluarkan aturan pelaksana sesuai PP N0. 37 2007. Ruh dari UU dan PP ini adalah demokratisasi administrasi kependudukan.Artinya peran serta active masyarakatlah yang menentukan tertipnya administrasi kependudukan. Disamping itu data kependudukan adalah data yang didukung oleh documentation yang lengkap sesuai ketentuan yang berlaku.

Sebagaimana bunyi pasal 3 UU No. 23 /2006 menyebutkan bahwa “Setiap Penduduk wajib melaporkan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialaminya kepada Instansi Pelaksana dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil”. Pasal ini sebagai acuan pemerintah menetapkan Daftar Pemilih Tetap. Jadi kalau ada data yang tidak sesuai dengan kenyataan dilapangan maka itu adalah kesalahan penduduk yang tidak melaksanakan kewajiban melaporkannya. Misalnya, ada penduduk yang tidak melaporkan kepindahannya. Ada penduduk yang tidak melaporkan keluarganya yang sudah meninggal dan lain sebagainya.

Walau bukan rahasia umum lagi bahwa sebagian besar rakyat tidak peduli soal kewajibannya meng update data kependudukannya. Kalau ada rakyat yang mau melaporkan perubahan datanya itupun karena keharusan untuk menyelesaikan urusannya yang sangat penting. Seperti buat passport, SIM dan lain sebagainya. Selebihnya , rakyat memilih masa bodoh. Salahkah ini ? Memang salah. Tapi sikap salah ini bukan berdiri sendiri. Birokrasi yang brengsek juga berperan besar membuat masyarakat tidak patuh untuk melaksanakan kewajibannya. Urusan dengan pemerintah bukanlah hal yang mudah walau itu bersifat melapor. Apalagi bagi rakyat miskin yang harus keluar ongkos datang kekantor pemerintah.

Pemerintah tidak peduli soal itu semua. Mereka hanya melaksanakan system dan mengikuti procedure formal yang ditentuakan oleh UU dan Peraturan. Walau sebenarnya mereka sadar dari awal ketika UU itu diusulkan kepada DPR. Mata dan pikiran mereka mengetahui secara pasti ketaatan rakyat terhadap UU kependudukan. Ini kelemahan rakyat karena kebodohan dan mental. Tapi dalam politik setiap kelemahan itu akan selalu bermanfaat untuk tujuan politik. Maka data de jure lebih aman dan strategis daripada data de facto. Pihak yang marah karena KPU tidak becus atau pemerintah tidak beres dapat diterima. Namun dalam system kita ini tidak bisa dijadikan dasar pemerintah telah melakukan pelanggaran hukum. Karena terjadi banyak kekurangan dalam pemilu ini justru karena pemerintah taat dengan hukum yang ada.

DPT yang amburadul adalah sebuah fakta, bahwa data kependudukan bukanlah data yang sebenarnya. Ketentuan menghapus subsidi pendidikan ,menjadi BOS. Penghapusan subsidi MIGAS menjadi BLT. Penghapusan susidi kesehatan menjadi Asuransi kesehatan untuk orang miskin. Semua program itu berkaitan dengan data kependudukan. Tentu penyalurannya berdasarkan data yang salah -- jumlahnya lebih kecil dibanding data sebenarnya--. Maka otomatis seluruh asumsi APBN didukung oleh data yang salah. Maka hasilnyapun pasti salah. Tapi itulah system yang kita jalankan , yang dibuat oleh segelintir orang di DPR.

Memperbaiki kesalahan sistematis haruslah melalui perubahan system. Hal ini hanya mungkin disadari oleh pemimpin yang mengerti hukum namun tidak diperbudak oleh hukum kecuali menggunakan nuraninya untuk kebenaran dan kebaikan serta keadilan..

No comments:

Masa depan IKN?

  Jokowi mengatakan bahwa IKN itu kehendak rakyat, bukan dirinya saja. Rakyat yang dimaksud adalah DPR sebagai wakil rakyat. Padahal itu ini...