Sunday, April 19, 2009

Udang

Tak ada kepala tanpa ekor. Selalu ekor mengikuti kemana kepala bergerak dan bertitah. Itulah system dari anatomi makhluk ciptaan Allah.. Tubuh manusia ekornya tersembunyi dibawah yang hanya berisi sumsum sebagai reproduksi sel agar tubuh terus bergerak dan tumbuh kuat.. Kepala harus diisi oleh alat canggih dan kuat untuk menilai dan menentukan untuk melangkah kedepan. Tapi ada juga udang yang memiliki kepala diatas tapi otak dipantat. Makanya udang selalu bersikap mundur sebelum melangkah. Tapi dikepalanya terdapat cakram yang mengerikan untuk bertahan hidup. Untuk melawan, udang tidak butuh otak kecuali gerakan replek alamiah saja. Organisasi atau kelembagaan mengenal kepala sebagai sesuatu yang kuat. Pemimpin boleh salah. Pemimpin boleh bodoh. Tapi pemimpin tidak boleh lemah.Dia harus kuat dan tak tertandingi. Itulah kalau ingin sistem berjalan kedepan.

Kita marah bila kepala terlalu kuat mendikte tubuh kita. Kita tak ingin lagi kepala mengekang kebebasan kita. Begitu yang nampak ketika ditahun 1998, cerdik pandai yang dikenal hanya lewat media massa dan dikampus akhirnya menjadi bintang politik untuk lahirnya sebuah perubahan.. Dibelakangnya ada ribuan martil para mahasiswa berjibaku dengan semangat bergelora berkata “ Turunkan Soeharto, Singkirkan status Quo “. Lagu hytme yang dipakai untuk membela negara diplesetkan untuk mengejek penguasa kala itu. Ada perasaan risih bagi pejabat yang berkuasa melihat begitu banyaknya pekikan diluar batas budaya santun. Tapi , memang begitulah realitas politik, yang akhirnya harus berkompromi daripada lahirnya revolusi yang menakutkan. Produk kompromi itu bernama “reformasi.”

Tapi sebetulnya adalah bentuk lain bagaimana membagikan kekuasaan untuk semua “kita” yang berperan melahirkan “kompromi politik” pasca Orde Baru. Tahun 1999, cukup sudah system yang membuat president sangat berkuasa. Harus dirubah. Maka amandemen UUD 45 dirubah. Kekuasaan presiden dilucuti secara systematis. “ Kepala harus nurut apa kata ekor”. Agar tak ada lagi kekuasaan menjadi obsolut ditangan president. DPR harus bersuara sama kuat dengan president. Partai sebagai mesin untuk mendikte para elite yang berada di parlemen harus kuat. Maka tak ada lagi nota pertanggungan jawaban president kecuali hanya bersifat laporan. Tak ada yang disalahkan karena kekuasaan terdistribusi secara sistematis

Tahun 2004, Walau kekuasaa presiden dibatasi oleh dinding tebal parlemen. Kompromi tak puas bila president dipilih oleh segelintir orang diparlemen. Maka secara systematis pula UUD 45 di amandemen. President harus dipilih langsung oleh rakyat. Namun Parlemen, masih berhak untuk orang memilih gambar. Bukan orang. Kekuatan menjadi tidak imbang namun kekuasaan tetap seimbang. Bahkan lebih legitimate sebagai sebuah produk demokrasi murni. Maka berbagai regulasi yang dilahirkan oleh gedung parlemen, tak ada satupun yang bernafaskan Pemerintah berkuasa lewat APBN. Subsidi sebagai senjata tiran sosialis harus dihapus secara sistematis dan digantikan dengan bantuan langsung kepada rakyat. Inilah makna demokrasi.

Tahun 2008, Mahkamah konstitusi memutuskan bahwa Partai tak lagi berhak mengatur calon jadi berdasarkan nomor urut. Semua harus dikembalikan kepada rakyat untuk memutuskan siapa caleg yang diinginkannya. Kekuasaan partaipun di eliminate untuk menciptakan kaderisasi yang sesuai dengan azas loyalitas dan idiologi. Secara sistematis Partai tak lagi berkuasa atas kadernya. Kecuali Partai harus loyal kepada kader yang pintar dan hebat mendapatkan suara dari rakyat. Maka yang terjadi politikpun sudah menjadi komoditas seperti barang pabrik. Atau seperti promotor tinju mencari petinju berbakat. Kekuatan media menjadi segala galanya untuk membuat orang ditonton dan dipilih oleh orang ramai.

Tiga pemilu selama era reformasi, memang berhasil menghilangkan kekuasaan kelembagaan. Tak ada ada kepala yang sesungguhnya. Lembaga President pencipta kekuatan barisan nasional , lemah, Lembaga Partai pencipta kader juga lemah. Semua terjadi secara sistematis dari sebuah kompromi para elite politik. Kepala tak lagi kuat karena otaknya ada dipantat. Melangkah kedepan harus mundur dulu. Itulah system yang kini kita jalankan. Sebuah system yang bongkok seperti udang dengan wajah diliputi cangkram

Thursday, April 16, 2009

Sistematis ?


Sistem itu berbicara soal jalinan yang utuh, menyeluruh, terpadu, menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Sistem itu suatu keteraturan dan logis. Tentu tak ada system buatan manusia yang sempurna. Manusia hanya berusaha mendekati sempurna. Apalagi system itu ada karena tuntutan pencipta aturan untuk melancarkan strateginya mencapai tujuan. Kita semua paham akan hal ini. Makanya sering terdengar orang berbicara tentang “sistematis”. Contohnya kasus BLBI adalah sistematis. Kasus Lapindo adalah sistematis. Kasus MIGAS adalah sistematis.Semua yang berhubungan dengan sistematis maka pemerintah tidak bisa disalahkan atau disebut melanggar hukum.

Ketika usai pemilu kita mengetahui banyak orang yang tidak mendapatkan hak politiknya karena tidak terdaftar sebagai pemilih tetap. Bagaimanapun Pemilu telah terlaksana dan kalaupun ada yang kecewa maka itu logis.. Semua proses pemilu berjalan sesuai system yang ada dinegeri kita. DPR telah mensyahkan UU tentang KependudukanNo.23 tahun 2006 dan kemudian pemerintah mengeluarkan aturan pelaksana sesuai PP N0. 37 2007. Ruh dari UU dan PP ini adalah demokratisasi administrasi kependudukan.Artinya peran serta active masyarakatlah yang menentukan tertipnya administrasi kependudukan. Disamping itu data kependudukan adalah data yang didukung oleh documentation yang lengkap sesuai ketentuan yang berlaku.

Sebagaimana bunyi pasal 3 UU No. 23 /2006 menyebutkan bahwa “Setiap Penduduk wajib melaporkan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialaminya kepada Instansi Pelaksana dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil”. Pasal ini sebagai acuan pemerintah menetapkan Daftar Pemilih Tetap. Jadi kalau ada data yang tidak sesuai dengan kenyataan dilapangan maka itu adalah kesalahan penduduk yang tidak melaksanakan kewajiban melaporkannya. Misalnya, ada penduduk yang tidak melaporkan kepindahannya. Ada penduduk yang tidak melaporkan keluarganya yang sudah meninggal dan lain sebagainya.

Walau bukan rahasia umum lagi bahwa sebagian besar rakyat tidak peduli soal kewajibannya meng update data kependudukannya. Kalau ada rakyat yang mau melaporkan perubahan datanya itupun karena keharusan untuk menyelesaikan urusannya yang sangat penting. Seperti buat passport, SIM dan lain sebagainya. Selebihnya , rakyat memilih masa bodoh. Salahkah ini ? Memang salah. Tapi sikap salah ini bukan berdiri sendiri. Birokrasi yang brengsek juga berperan besar membuat masyarakat tidak patuh untuk melaksanakan kewajibannya. Urusan dengan pemerintah bukanlah hal yang mudah walau itu bersifat melapor. Apalagi bagi rakyat miskin yang harus keluar ongkos datang kekantor pemerintah.

Pemerintah tidak peduli soal itu semua. Mereka hanya melaksanakan system dan mengikuti procedure formal yang ditentuakan oleh UU dan Peraturan. Walau sebenarnya mereka sadar dari awal ketika UU itu diusulkan kepada DPR. Mata dan pikiran mereka mengetahui secara pasti ketaatan rakyat terhadap UU kependudukan. Ini kelemahan rakyat karena kebodohan dan mental. Tapi dalam politik setiap kelemahan itu akan selalu bermanfaat untuk tujuan politik. Maka data de jure lebih aman dan strategis daripada data de facto. Pihak yang marah karena KPU tidak becus atau pemerintah tidak beres dapat diterima. Namun dalam system kita ini tidak bisa dijadikan dasar pemerintah telah melakukan pelanggaran hukum. Karena terjadi banyak kekurangan dalam pemilu ini justru karena pemerintah taat dengan hukum yang ada.

DPT yang amburadul adalah sebuah fakta, bahwa data kependudukan bukanlah data yang sebenarnya. Ketentuan menghapus subsidi pendidikan ,menjadi BOS. Penghapusan subsidi MIGAS menjadi BLT. Penghapusan susidi kesehatan menjadi Asuransi kesehatan untuk orang miskin. Semua program itu berkaitan dengan data kependudukan. Tentu penyalurannya berdasarkan data yang salah -- jumlahnya lebih kecil dibanding data sebenarnya--. Maka otomatis seluruh asumsi APBN didukung oleh data yang salah. Maka hasilnyapun pasti salah. Tapi itulah system yang kita jalankan , yang dibuat oleh segelintir orang di DPR.

Memperbaiki kesalahan sistematis haruslah melalui perubahan system. Hal ini hanya mungkin disadari oleh pemimpin yang mengerti hukum namun tidak diperbudak oleh hukum kecuali menggunakan nuraninya untuk kebenaran dan kebaikan serta keadilan..

Sunday, April 12, 2009

Ketidakpastian

Amrozi, hanyalah sebuah nama. Tapi menjadi berita politik menjelang pemilu karna namanya terdaftar sebagai pemilih tetap. Orang tersentak dan juga tertawa. Melihat dan mencermati sebuah dagelan dibalik panggung birokrasi yang brengsek. Kemuudian ada banyak sekali nama lain yang bermunculan. Semuanya hanyalah nama tanpa phisik sebagai orang yang berhak memilik dalam pemilu. Disisi lain juga ada yang sesungguhnya penduduk tapi tanpa nama dihadapan negera. Merekapun tak berhaak menunaikan hak politiknya dalam Pemilu. Akhirnya sebuah tontonan berakhir ketika ada yang menang. Lantas apa arti kemenangan dibalik perampasan hak politik penduduk. Adakah kehormatan sama dengan kemenangan ?

Kemenangan bukanlah rangkaian makna yang datang dari langit dan selesai sebelum subuh. Kemenangan repliksi tentang sebuah kemapanan organisasi / individu mengurus dirinya sendiri, apalagi dalam sebuah demokrasi. Ajang demokrasi , pada hari ini memberikan bukti terbaik bahwa sebuah kemenangan yang diterima oleh sebuah komunitas adalah sesuatu yang ditolerir, dan bukan sebuah kemenangan yang disetujui oleh semua orang. Tak jauh bedanya dengan kemenangan dalam system demokrasi terkendali atau apalah , yang bertujuan untuk mengekalkan tiran.

Masalahnya kemudian bagaimana proses penerimaan itu terjadi? Dunia akan merupakan tempat yang menentramkan hati seandainya kita yakin bahwa akal sehat menjadi pemenang. Namun apa yang dapat diperbuat oleh kita semua. Ketika sebuah kemenangan ditentukan, dengan kekuasaan media massa atau system birokrasi lembaga demokrasi, maka soal keadilan pun muncul. Jika yang kuat akhirnya yang menang, yang lemah akan menjadi penonton dalam bisu. Pertanyaan besar dalam kehidupan politik dewasa ini adalah bagaimana negara mengakui bahwa yang lemah bukanlah sisa manusia yang telah kehilangan hak politiknya karena kesalahan administrasi.

Dalam hal itu, kebebasan memang tak sepatut dilihat sebagai soal konflik. Bahwa demokrasi ditentukan dengan kejernihan rasio yang siap. Harapan Plato toh terbukti : sebuah negeri ternyata tak juga bersih dari keburukan ketika seorang filsuf menjadi president. Artinya dalam mencari kemenangan sejati dalam proses demokrasi sebetulnya adalah keberanian untuk menerima orang yang berbeda. Tapi sayang sekali, perbedaan itu hilang ditelan oleh keangkuhan lembaga yang dilahirkan oleh system demokrasi.

Jadi tak ada sesungguhnya nilai nilai demokrasi tentang kebebasan. Kehormatan adalah pemaksaan. Itulah proses dimana manusia sudah men Tuhan kan dirinya. Bersiasat dengan culas alias munafik menjadi keharusan. Itulah sebabnya beragam kekecewaan akan melahirkan beribu kembang dan beribu pemikiran untuk lahirnya konplik. Apalagi jika konplik itu melahirkan revolusi. Militer yang tak berhak bersuara dipangggung politik , kini melihat gejala itu akan terjadi. Masalahnya kemenangan tak lagi memberikan rasa hormat. Kemenangan tak lagi memberikan ruang akan akal sehat. Maka kekuatan yang tak bersuara kelak akan tampil “ berbicara” dengan laras senjata mengarah tak beraturan.

Hari ini dan kedepan kita melihat ketidak pastian menyelimuti awan gelap republic. Apalagi ditengah krisis global dan seretnya likuiditas berhutang. Akan banyak pengangguran karena pertumbuhan ekonomi yang rendah. Siapapun yang menang akan berhadapan dengan darah revolusi yang menggelegak. Ya, hidup memang pertandingan rusia rolet. Siapapun yang berani mengambil keputusan maka dialah pelaku perubahan . Tahun ini , pemilu kali ini adalah ruang terbuka, kita melihatnya nanti dalam kecemasan, dan apapun hasilnya kita semualah yang menanggung luka itu. Termasuk yang tak ikut pemilu karena golput suka rela atau dipaksa.

Monday, April 6, 2009

Birokrasi dan pemerintah ?

Apa yang anda ketahui tentang pemerintah ? bagi saya dulu ketika kecil tinggal di kota kecil , pemerintah adalah mereka yang berseragam dengan rambut tersisir rapi dengan dilapisi minyak tanco. Mereka pergi kerja dengan muka senyum penuh kebanggan bahwa mereka adalah segelintir orang yang patut dihormati. Ketika kita melongok kedalam kantornya , melihatnya bekerja , maka tak ada kesibukan sesungguhnya seperti kantor ekspedisi atau redaksi yang harus mengejar waktu. Pemerintah , juga mereka yang saya pahami sebagai aparat pemerintah adalah orang yang memiliki waktu dan tak peduli soal waktu. Bagi mereka waktu selalu ada menemani mereka, dan hari esok bukanlah hal yang harus dipikirkan kecuali pension.

Pemerintah, adalah sekelompok orang yang doyan upacara. Apapun diupacarakan. Naik pangkat, ganti jabatan, peletakan batu pertama proyek, peresmian proyek, dan berbagai acara simbolis kenegaraan yang selalu dikekalkan sebagai agenda yang tak boleh dilewatkan. Ketika kita perlu urusan dengan pemerintah maka kita akan dihadapkan oleh berbagai procedure dan isi formulir yang begitu banyak. Tak ada tanya jawab tentang solusi bila kita ada masalah. Take it or leave it. Kemudian kita harus menunggu sebuah keputusan. Soal tunggu ini , bukan siapa yang memutuskan. Bukan siapa yang memahami aturan itu , tapi siapa yang mendapatkan manfaat dari urusan itu. Mereka percaya bahwa kualitas tak penting kecuali loyalitas kepada siapa diatasnya. Loyalitas itu hanya ada bila setiap urusan yang dibawanya melampirkan suap atau komisi.

Saya sering bertanya apakah jabatan mulia yang bernama abdi negera tidak cukup untuk sebuah profesi. Ini tak akan dipahami oleh mereka, kecuali mereka ikhlas digaji alakadarnya dengan seragam yang melekat. Profesi ini akan selalu aman dari segala masalah selagi pandai “membawa diri”. Diantara mereka tentu ada kompetisi yang melekat dalam system birokrasi gaya kolonialisme. Tak akan nampak kompetisi untuk lahirnya prestasi cemerlang melayani tanpa lelah. Bila masalah datang mereka berlindung dari birokrasi untuk berkelit dan bila manfaat datang merekapun menggunakan birokrasi untuk mendapatkannya. Mereka memerintah dan memutuskan. Tak terdengar istilah pelayan rakyat atau public sevice.

Ketika bendungan Situ sudah mulai retak, public meminta agar diperbaiki. Pemerintah mendengar namun lagi lagi tak ada manfaat karena anggaran tak cukup tersedia. Maka ya ng retak dikatan layak. Ketika Situ jebol dan rakyat menjadi korban, mati sia sia. Rakyat marah dan menangis. Mengumpat dimedia massa. Mereka menjawab semua pertanyaan. Ada sejuta alasan yang sulit dipahami , kemudian terdengar begitu banyak cara untuk mengatasi dan memperbaiki kedepan asalkan ada anggaran. Benarlah, anggaran tersedia, akhirnya kita mendengar Situ yang rusak begitu banyak yang harus segera diperbaiki. Masalah datang , kematian sia sia menjadi berita politik, “manfaat” pun datang seiring anggaran turun. Dari sebuah bencana berkah selalu hadir untuk membuat aparat tersenyum.

Pemerintah itu pelan. Kita yang tak sabar akan bermimpi tentang revolusi. Seakan akan revolusi bukanlah politik yang ditempuh dengan cara lain. Tentu, revolusi bisa meletus, tapi setiap revolusi adalah sebuah pernyataan yang tak acuh kepada sang waktu. Kita tahu sejak era Soekarno, Era Orde Baru, Era Reformasi, lebih dari setengah abad negeri ini merdeka, masalah pemerintah yang brengsek belum juga selesai dibenahi. Birokrasi itu pelan. Jalan siput yang berliku liku, proses yang menimbulkan sejuta tanya, bila ini akan berakhir ? Dewasa ini , kita mengakui bahwa akhir itu tak ada ujungnya kecuali bila langit runtuh. Birokrasi adalah kebutuhan untuk menjaga stabilitas kekuasaan dari sebuah negeri. Pahamkan.

Kita bisa saja bertanya dimana gerangan ada komunikasi interaksi dan efektif dari proses birokrasi? Atau kitapun putus asa. Pemerihtah, bagi kita sering nampak sebagai sebuah keasyikan yang sia sia menghabiskan uang pajak rakyat dengan culas. Siapa saja yang ingin menegakan moralis akan mengambil langkah surut dari dunia pemerintah atau harus siap dibilang gila. Karena dunia ini tak pernah sepenuhnya bersih dan murni. Hal yang otentik, yang tulus dan benar tak akan dapat berlangsung digedung megah pemerintah, ketika aparat pemerintah bertemu dengan rakyat yang memelas memohon. Semua pamrih, walau karena itu aparat sadar akhir dari memelasnya rakyat itu adalah kematian yang sia sia…

Friday, April 3, 2009

Catatan dari London

China mulai tak lagi melihat Dollar AS sebagai mata uang yang dapat diandalkan untuk menjaga stabilitas keuangan global. Rusian bersama Francis juga menganggap hal yang sama. Tiga negara ini termasuk pemain kunci dalam keuangan global dan juga politik. Inilah yang mengemuka menjadikan pertemuan tingkat tinggi pejabat G20 di London. Sejarah mencatat bahwa peristiwa krisis seperti ini hanya berlangsung paling lama 17 bulan tapi , keadaan ini suidah berlangsung lebih 17 bulan. Bahkan keadaan ekonomi dunia sekamin tidak menentu kearah perbaikan.

Resep ekonomi yang ditawarkan oleh AS , ternyata gagal memperbaiki system pasar modal maupun pasar uang. Terbukti transaksi Tbill melemah , juga Wall streen jatuh. Kekeringan likuiditas terjadi dimana mana. Bukan hanya sector pasar uang tapi juga sector riel sudah kehilangan resource untuk bergerak. Kalaupun ada maka costly. Keadaan ini sudah menjadi krisis structural dan memangkas jumlah pekerja efektif disemua sector. Ini semua karena US dollar sebagai mata uang utama dunia untuk melancarkan arus uang kehilangan kepercayaan.

Uang adalah kepercayaan. Didalamnya ada system yang mengatur lalulintas. AS memang mempunyai apa yang disebut dengan the fed system. Yang terdiri dari FED, Clearstream, DTCC , Wallstreet, dan lain sebagai. Semua itu bergerak sebagai lembaga kapitalis yang menjadi outsourcing dari US treasury untuk menjaga stabilitas pasar uang global. Keberadaan US dollar sebagai mata uang dunia bukanlah atas kemauan negara negara didunia tapi disebabkan oleh keterpaksaan sejarah karena perang dan kekuasaan AS yang begitu luas. Berjalannya waktu, kini AS sendiri dimakan oleh kekuasaan itu sendiri. AS begitu yakin dengan ambisinya untuk menguasai dunia dalam program “ New Worlds “ dengan berbagai aplikasi Neoliberal disegala sector, telah membuat systemnya bergerak liar dan akhirnya membunuh wargannya sendiri, dan tentu juga warga dunia.

Kenyataan yang ada tesebut diatas, yang menjadi keprihatinan negara negara didunia khususnya G20. Sebuah kenyataan terbentang didepan mata. Tentu solusinyapun harus melihat kenyataan tersebut diatas. Kehendak AS yang membutakan diri terhadap realitas dengan memaksa negara G20 memotori stimulus ekonomi dengan tujuan menggerakan konsumsi negara terhadap barang modal agar produksi dunia terserap , ternyata bertolak belakang dengan kebijakan dalam negeri AS yang melakukan proteksi terhadap barang modal dalam negeri. Kehendak AS untuk menjaga kepercayaan perbankan dunia melalui bail out surat hutang yang gagal bayar , juga bertolak belakang dengan kebijakan dalam negeri AS yang justru menimbulkan ketidak percayaan pasar. Semua yang ditawarkan oleh AS dalam G20 adalah sebuah paradox.

Tak akan ada penyelesaian menyeluruh untuk memperbaiki keuangan global selagi AS tetap memaksakan system keuangan global yang ada. Krisis yang terjadi sekarang karena gagalnya Authoritas AS menjagai stabilitas pasar , dan ini semua dikarenakan system yang sudah terlanjur salah. Penyelesaiannya hanya dengan reformasi total terhadap system. IMF dan Worldbank harus direformasi. AS harus bersedia menghilangkan hegemonynya di IMF dan Worldbank , kalau ingin beban krisis global menjadi tanggungan negara didunia berdasarkan jumlah cadangan devisa dollar yang ada. Adalah tidak adil bila memaksa beban crisis global dialihkan kepada negara yang memiliki cadangan dollar sementara AS tetap ingin mengontrol system.

Disisi lain , program recovery perbankan melalui IMF yang memakan anggaran sebesar USD 2 trilion dollar sangat menyinggung perasaan negara negara miskin yang terlilit hutang akibat system kapitalisme AS. Mengapa kepada mereka juga tidak dilakukan recovery. Apakah menyelamatkan nasabah kaya yang hanya segelintir lebih penting daripada menyelamatkan nasip miliaran rakyat dinegara miskin ?

Dari pertemuan G20, kita menyaksikan sekali lagi arogansi kekuasaan AS. Tak ada jalan lain kecuali negara negara didunia mulai berpikir untuk berjalan sendiri meninggalkan AS dengan kepongahannya. Itulah sebabnya usulan China untuk membentuk ASIA currency seperti Euro adalah solusi yang tepat. Begitupula dengan Rusia yang ingin meniru langkah Eropa Barat untuk membentuk mata uang tunggal Eropa timur. Hanya dalam pertemuan G20 , kita tidak mendengar suara dari negara Islam mengusulkan hal yang sama, Keliatannya negara islam sebagian bersar masih begitu percaya dengan AS walau AS tidak pernah percaya dengan Islam…

Bukan sistem yang salah tapi moral.

  Kita pertama kali mengadakan Pemilu tahun 1955. Kalaulah pemilu itu ongkosnya mahal. Mana pula kita negara baru berdiri bisa mengadakan pe...