Wednesday, January 28, 2009

Mendengar

Sebentar lagi kampanye pemilu akan semakin seru dan panas. Ibarat arena tinju maka saat ini adalah saat ronde penentuan kalah menang. Segala daya dan upaya serta strategy akan dibuktikan keunggulannnya diakhir ronde ini. . Samahal dengan para peserta pemilu yang tadinya lebih banyak bertahan namun kini nampak all out untuk menarik massa. Dimanapun dalam system politik yang mengusung demokrasi maka yang menjadi andalan adalah memanfaatkan budaya public yang suka tontonan. Budaya melihat atau menonton inilah yang digunakan untuk menarik massa. Mereka , para partai itu didukung penuh oleh team ahli marketing communication mix, juga ahli strategy pemenangan pemilu.

Bagi partai yang belum pernah menjadi partai penguasa atau partai baru maka masalah tema kampanye tidak begitu pelik. Karena mereka bebas membangun komunikasi apapun yang dapat memancing emosi rakyat untuk memilihnya. Tapi bagi partai yang pernah menjadi penguasa maka masalahnya tidak semudah itu. Tak ada satupun partai yang pernah berkuasa berhasil melunasi janjinya. Itu adalah fakta. Apapun tema yang diusung tak akan mudah dipercaya oleh rakyat. Walau artis cantik cantik, ganteng ganteng ada di panggung, rakyat tetap melihat kampanye itu sebagai sebuah tontonan kampanye rokok jarum. Tak lebih. Lantas bagaimana seharusnya kampanye dilakukan ?

Selama ini Partai yang berkuasa dan Partai yang berhasil menempatkan orangnya di Parlemen maupun dikabinet jarang sekali mau mendengar suara rakyat. Para mahasiswa dan aktivis yang bersuara lantang akhirnya masuk penjara. Bisakah partai itu tampil dalam kampanye berbeda. Yaitu tidak menjadikan panggung sebagai cara menjual pesan kepada rakyat tapi sebagai wahana “mendengar” Kita membayangkan dalam setiap putaran kampanye politik, panggung disediakan oleh partai itu tapi yang bicara adalah rakyat. Masing masing rakyat dari berbagai golongan yang selama ini bersuara harus berurusan dengan polisi maka disaat kampanye ini rakyat dipersilahkan bicara diatas panggung.

Rakyat itu akan bicara dan bertanya tentang tanahnya digusur demi perkebunan besar, kampung halaman yang terendam lumpur lapindo, rumah mereka yang digusur demi project mall, Pedagang tradisional yang tergusur karena Pedagang eceran raksasa, Pedagang kaki lima yang diinformalkan, Minyak dunia turun sampai 60% tapi harga BBM dalam negeri hanya turun 20%, Mahasiswa yang bingung bayar uang kuliah karena semakin mahal, Para buruh yang berteriak karena kenaikan UMR kalah cepat dengan kenaikan biaya konsumsi, Petani yang semakin terpinggirkan oleh produk import, nelayan yang kebingungan karena semakin banyaknya kapal asing, Privatisasi layanan public yang semakin luas. Penerapan hukum yang centang perenang, Dan tentu banyak lagi yang bisa disampaikan oleh rakyat diatas panggung itu.

Saya yakin , panggung kampanye akan seru dan ramai dikunjungi oleh rakyat. Mereka akan berbondong bondong untuk mendatangi kampanye tersebut. Semakin kesal mereka dengan partai itu semakin ramai rakyat datang. Karena semakin banyak orang yang mau juga tampil jadi politisi dadakan diatas panggung untuk berbicara dengan nuraninya. Pada momen inilah sebetulnya Partai sudah melakukan komunikasi efektif diahadapan rakyat. Dimana bukan hanya mampu berbicara dengan janjinya didepan umum tapi juga bersedia menjadi pendengar untuk dimaki maki oleh rakyat didepan umum lewat panggung kampanye politik. Apakah ini merugikan bagi partai tersebut ?

Tentu tidak akan ada ruginya. Karena membangun komunikasi yang efektif itu haruslah diawali oleh kemampuan membangun respect dari orang lain. Respect yang tinggi itu adalah kesediaan untuk dikoreksi dan mendengar. Sikap tulus menerima dan memberi, termasuk menerima kesalahan dan memohon maaf kepada rakyat dengan setulus tulusnya. Dari sikap ini akan timbul sikap empati rakyat bahwa semua orang bisa saja salah dan semua orang berhak untuk mencoba lagi dan dimaafkan. Apabila sikap empati ini terbangun maka akan timbul rasa percaya diri para politisi untuk berbicara dengan singkat dan padat Setidaknya pesan yang akan disampaikan kepada rakyat tidak harus mengusung ageda impian yang sulit dipahami tetapi pesan sederhana yang mudah dipahami dan dimengerti oleh rakyat. Rakyat kebanyakan masih tegolong bodoh tapi mereka cerdas.

Setidaknya kampanye model ini menghindarkan saling salah menyalahkan antara satu partai dengan partai lainnya. Sudah saatnya jangan ada lagi kampanye culas , money politic. Stop. ! . Sudah saatnya para politis menggunakan momen kampanye ini sebagai langkah baru untuk berbuat dengan cinta bukan kekuasaan. Mungkinkah ?

1 comment:

David Pangemanan said...

MENGGUGAT PUTUSAN SESAT HAKIM BEJAT

Putusan PN. Jkt. Pst No.Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No.13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku Usaha/Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap di Polda Jateng.
Ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada saja hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya membodohi
dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung di bawah 'dokumen dan rahasia negara'.
Statemen "Hukum negara Indonesia berdiri diatas pondasi suap" (KAI) dan "Ratusan rekening liar terbanyak dimiliki oknum-oknum MA" (KPK); adalah bukti nyata moral sebagian hakim negara ini sudah terlampau sesat dan bejat. Dan nekatnya hakim bejat ini menyesatkan masyarakat konsumen Indonesia ini tentu berdasarkan asumsi bahwa masyarakat akan "trimo" terhadap putusan tersebut.
Keadaan ini tentu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Masyarakat konsumen yang sangat dirugikan
mestinya berhak mengajukan "Perlawanan Pihak Ketiga" dan menelanjangi kebusukan peradilan ini.
Siapa yang akan mulai??

David
HP. (0274)9345675

ERA Jokowi, dari 16 target yang tercapai hanya 2

  Realisasi kuartal III-2024, ekonomi nasional tumbuh 4,95%. Konsumsi rumah tangga sebagai pemberi andil terbesar hanya mampu tumbuh 4,91%. ...