Dalam laporan yang dikeluarkan oleh Institute for Agriculture and Trade Policy (IATP) pada tahun 2007 menyebutkan bahwa produk pangan dunia dikuasai oleh Multinational Corporation berkelas dunia dari AS, Uni Eropa, Kanada, Australia, Selandia Baru. Seperti halnya Chargill beroperasi di 63 negara di dunia, termasuk Indonesia. Archer Daniels Midland berada di AS, Kanada, negara-negara Amerika Latin, Eropa, negara Pasifik, dan Afrika. Adapun Monsanto beroperasi di 61 negara, termasuk Indonesia. Sejumlah perusahaan raksasa MNCs ini menguasai industri hulu, seperti sarana produksi pertanian meliputi benih, pupuk, dan pestisida. Juga menguasai industri hilir pangan, seperti industri pengolahan, pengepakan, dan standardisasi.
Keperkasaan konglomerasi dibidang produk pangan ini dapat dilihat dari laporan South Center tahun 2005 menunjukkan bahwa 85-90 persen total produk pangan dunia dikontrol oleh lima industri raksasa MNCs. Sekitar 75 persen total perdagangan serealia, seperti beras dan gandum, malah hanya dikuasai Chargill dan Archer Daniels Midland .
Dari industri pengolahan hasil pertanian, lagi lagi hanya lima perusahaan penguasa industri pengolahan pangan dan perdagangan global di antaranya Nestle, Cargill, ADM, Unilever, dan Kraft Foods. Sepuluh besar perusahaan raksasa pengolahan dan perdagangan—termasuk lima lainnya seperti disebutkan di atas—menguasai total penjualan senilai 409 miliar dollar AS atau sekitar Rp 3.721,9 triliun. Bahkan, cengkeraman negara maju melalui perusahaan multinasional merasuk ke pasar ritel. Total penjualan sepuluh perusahaan ritel besar di dunia malah mencapai 1.091 miliar dollar AS. Lima di antara sepuluh ritel besar itu meliputi Carrefour, Wal-Mart, Metro Group, Tesco, dan Seven & 1.
Hasil penelitian International Food Policy Research Institute (IFPRI), bahwa sekitar 6,5 miliar konsumen pangan global dilayani oleh perusahaan MNCs. konsumen global itu tersebar di sejumlah benua, seperti Asia, Afrika, dan Amerika. Sarana produksi pertanian global, termasuk Indonesia, dipasok oleh sepuluh perusahaan besar dengan nilai penjualan mencapai 40 miliar dollar AS atau sekitar Rp 364 triliun. Lima perusahaan raksasa itu adalah Syngenta, Monsanto, Bayer Crop, BASF AG, dan Dow Agro. Sepuluh besar industri hulu agro-input termasuk lima yang disebutkan di atas menguasai pasar 450 juta usaha tani. Mereka umumnya petani kecil dengan kepemilikan lahan kurang dari dua hektar.
Berdasarkan laporan Agro Observer tahun 2006, dalam beberapa tahun terakhir, banyak produk agroindustri dan agro- pangan yang secara lokal sudah terkenal mereknya dijual ke perusahaan asing. Saham perusahaan lokal diakuisisi oleh perusahaan asing, seperti oleh Danone (Perancis), Unilever (Inggris), Nestle (Swiss), Coca Cola (AS), Hj Heinz (AS), Campbels (AS), Numico (Belanda), dan Philip Morris (AS). Sebagai gambaran, produk kecap, sirup, dan saus merek ABC sebagian besar sahamnya, sekitar 65 persen, dimiliki Hj Heinz (AS). Seluruh saham teh milik PT Sari Wangi dibeli oleh Unilever, juga kecap Cap Bango dan makanan ringan merek Taro. Begitu pula produk air minum kemasan merek Aqua dan Ades yang masing-masing sahamnya sebesar 74 persen dan 100 persen sudah dikuasai Danone (Perancis) dan Coca Cola (AS). Indofood, terjerat hutang obligasi dengan World Bank, tentu hanya soal waktu untuk di swap dengan saham kepada pihak asing. Sampoerna diambil alih oleh Philip Morris (AS).
Dulu negera dibarisan depan mengawal rakyat menghadapi kekuatan neo liberal melalui Trading house company ( Panca Niaga, Kerta Niaga, Dharma Niaga, Berdikari group, dan lain lain). Disektor keuangan kita punya Bank Plat Merah yang bekerja sesuai sektor pembangunan. Tapi kini setelah reformasi kita percaya bahwa monopoli tidak boleh ada karena distorsi pasar. Lantas bagaimana dengan kekuatan MNCs yang justru lebih monopolistic dan mareka justru berasal dari negara yang mengkampanyekan tentang liberalisasi dan anti monopoli ? Kita percaya dan menghamba maka kita memberikan akses kepada negara maju untuk mengontrol dunia lewat kebutuhan konsumsi dan technology serta modal. Mereka menciptakan monopoly secara system dan menjajah secara system. Kita tidak akan pernah menyadari selagi kita terlena menerima dan menjadi konsumen saja. Kini, apalagi yang tersisa dan kita banggakan ?
Keperkasaan konglomerasi dibidang produk pangan ini dapat dilihat dari laporan South Center tahun 2005 menunjukkan bahwa 85-90 persen total produk pangan dunia dikontrol oleh lima industri raksasa MNCs. Sekitar 75 persen total perdagangan serealia, seperti beras dan gandum, malah hanya dikuasai Chargill dan Archer Daniels Midland .
Dari industri pengolahan hasil pertanian, lagi lagi hanya lima perusahaan penguasa industri pengolahan pangan dan perdagangan global di antaranya Nestle, Cargill, ADM, Unilever, dan Kraft Foods. Sepuluh besar perusahaan raksasa pengolahan dan perdagangan—termasuk lima lainnya seperti disebutkan di atas—menguasai total penjualan senilai 409 miliar dollar AS atau sekitar Rp 3.721,9 triliun. Bahkan, cengkeraman negara maju melalui perusahaan multinasional merasuk ke pasar ritel. Total penjualan sepuluh perusahaan ritel besar di dunia malah mencapai 1.091 miliar dollar AS. Lima di antara sepuluh ritel besar itu meliputi Carrefour, Wal-Mart, Metro Group, Tesco, dan Seven & 1.
Hasil penelitian International Food Policy Research Institute (IFPRI), bahwa sekitar 6,5 miliar konsumen pangan global dilayani oleh perusahaan MNCs. konsumen global itu tersebar di sejumlah benua, seperti Asia, Afrika, dan Amerika. Sarana produksi pertanian global, termasuk Indonesia, dipasok oleh sepuluh perusahaan besar dengan nilai penjualan mencapai 40 miliar dollar AS atau sekitar Rp 364 triliun. Lima perusahaan raksasa itu adalah Syngenta, Monsanto, Bayer Crop, BASF AG, dan Dow Agro. Sepuluh besar industri hulu agro-input termasuk lima yang disebutkan di atas menguasai pasar 450 juta usaha tani. Mereka umumnya petani kecil dengan kepemilikan lahan kurang dari dua hektar.
Berdasarkan laporan Agro Observer tahun 2006, dalam beberapa tahun terakhir, banyak produk agroindustri dan agro- pangan yang secara lokal sudah terkenal mereknya dijual ke perusahaan asing. Saham perusahaan lokal diakuisisi oleh perusahaan asing, seperti oleh Danone (Perancis), Unilever (Inggris), Nestle (Swiss), Coca Cola (AS), Hj Heinz (AS), Campbels (AS), Numico (Belanda), dan Philip Morris (AS). Sebagai gambaran, produk kecap, sirup, dan saus merek ABC sebagian besar sahamnya, sekitar 65 persen, dimiliki Hj Heinz (AS). Seluruh saham teh milik PT Sari Wangi dibeli oleh Unilever, juga kecap Cap Bango dan makanan ringan merek Taro. Begitu pula produk air minum kemasan merek Aqua dan Ades yang masing-masing sahamnya sebesar 74 persen dan 100 persen sudah dikuasai Danone (Perancis) dan Coca Cola (AS). Indofood, terjerat hutang obligasi dengan World Bank, tentu hanya soal waktu untuk di swap dengan saham kepada pihak asing. Sampoerna diambil alih oleh Philip Morris (AS).
Dulu negera dibarisan depan mengawal rakyat menghadapi kekuatan neo liberal melalui Trading house company ( Panca Niaga, Kerta Niaga, Dharma Niaga, Berdikari group, dan lain lain). Disektor keuangan kita punya Bank Plat Merah yang bekerja sesuai sektor pembangunan. Tapi kini setelah reformasi kita percaya bahwa monopoli tidak boleh ada karena distorsi pasar. Lantas bagaimana dengan kekuatan MNCs yang justru lebih monopolistic dan mareka justru berasal dari negara yang mengkampanyekan tentang liberalisasi dan anti monopoli ? Kita percaya dan menghamba maka kita memberikan akses kepada negara maju untuk mengontrol dunia lewat kebutuhan konsumsi dan technology serta modal. Mereka menciptakan monopoly secara system dan menjajah secara system. Kita tidak akan pernah menyadari selagi kita terlena menerima dan menjadi konsumen saja. Kini, apalagi yang tersisa dan kita banggakan ?
No comments:
Post a Comment