Sunday, March 16, 2025

Objektif menilai keadaan ekonomi.

 




Apa yang menarik dari AS? Sehingga begitu besar pengaruhnya dalam ekonomi Global. Jawabannya adalah sistem yang bertumpu kepada trust. Bukan sekedar trust tetapi trust yang didukung sistem transfaransi terkait data ekonomi yang down earth. Itu yang tidak dimilik oleh negara lain. Makanya kalau uang adalah  trust, sulit sekali untuk menggantikan USD sebagai mata uang global. Maklum negara lain memang belum sampai pada sistem demokrasi yang established dalam arti sesungguhnya.


Untuk mengetahui kondisi real ekonomi AS, ukuranya sederhana saja. Yaitu data statistic NonFarm Payroll, yang setiap bulan di update. Data ini tidak termasuk pegawai  Lembaga negara, pekerja informal seperti ART, pengusaha informal dan pegawai Yayasan nir laba. Dari data statistic ini bisa diketahui, berapa total upah yang dibayar kepada pekerja non pertanian. Prospek dan keadaan ekonomi nasional diukur dari ini. Maklum 80% kontribusi PDB  AS berasal dari  Pekerja non pertanian.


Nah kalau data Nonfarm payroll (NFP) itu meningkat. Artinya ekonomi tumbuh. Kalau tidak meningkat, artinya stagnant. Kalau turun, artinya ekonomi suram. Index Bursa saham dan uang ditentukan oleh data NFP. Keputusan yang dibuat soal investasi jadi rasional. Sesederhana itu cara AS merekam ekonominya dan dilaporkan kepada publik. Artinya kalau banyak PHK, bonus tidak diberikan, lowongan baru tidak ada, orang engga kaget. Kalau sebaliknya, orang juga biasa saja. Karena inline dengan data yang dilaporkan US Bureau of Labor Statistics (BLS). Kebijakan yang diambil juga normatif. Tidak perlu dipertanyakan kredibilitas nya.


Mengapa data makro ekonomi di Indonesia menimbulkan polemik?. Karena memang kita  tidak punya data statistic Nonfarm Payroll yang updating monthly. Pemerintah mengatakan jumlah lapangan kerja baru lebih besar daripada PHK. Dasarnya data PMI ( purchasing meneger Index )  masih ekspansif. Padahal data PMI tidak mencerminkan ekonomi secara keseluruhan. Karena sumbangan pekerja formal di Indonesia terhadap PDB hanya 42%. Beda dengan AS yang mencapai 80% dari PDB.


Suka tidak suka, dalam sistem politik yang terjebak dengan oligarki dan hukum tidak tegak yang dicirikan buruknya index korupsi serta index demokrasi yang cacat, data statistic dibuat rumit namun dengan mudah dibungkus retorika opini yang misleading. Apalagi bergantung hanya pada satu alat statistic. Misal kita lebih memilih data Gross Domestic Bruto  (PDB) daripada Economic Complexity Index (ECI) yang lebih rasional. PDB kita masuk 20 terbesar di dunia. Tetapi ECI kita berada pada ranking 73 dunia ( tahun 2022).


Jadi saya bisa paham kegundahan SMI saat melaporkan kinerja APBN kemarin. Data bulan januari dan februari dilaporkan bulan maret. Sebagai intelektual dan professional tekhnorat, SMI sangat paham situasi ekonomi Indonesia. Namun karena politik dia harus bicara disituasi yang mendung. Memberikan rasa optimis walau angin sakal terasa kencang menerpa. Namun itu tidak bisa mengubah realita. Kinerja buruk terutama defisit pada awal tahun. Padahal selama 3 tahun sebelumnya selalu surplus diawal tahun.


Mengapa ? karena sejak era Soeharto tidak terjadi transformasi ekonomi.  Masih bergantung kepada SDA. Rendah sekali diversikasi produk industry dan manufaktur. Makanya tanpa upaya membangun downstream industry SDA, sampai dengan tahun 2031 tidak mungkin Indonesia bisa mencapai pertumbuhan diatas 6%. Yang jadi masalah adalah pertumbuhan perlu investasi, nah darimana duitnya untuk investasi itu? Sementara Indonesia terjebak dengan defisit fiskal akibat kebijakan ekspansif APBN sebelumnya. Ya stuck di 5%, itupun kalau kelola utang prudent.

No comments:

Objektif menilai keadaan ekonomi.

  Apa yang menarik dari AS? Sehingga begitu besar pengaruhnya dalam ekonomi Global. Jawabannya adalah sistem yang bertumpu kepada trust. Buk...