Tadinya sumber daya penerimaan negara itu hanya dari pajak. Namun karena kebutuhan dan keinginan bertaut untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi daripada laju pertumbuhan populasi. Belanja lebih besar daripada pendapatan pajak. Terpaksa pemerintah harus berhutang. Hutang terbagi dua. Satu utang sovereign. Utang G2G atau G to MI (Multilateral institution) dan satu lagi utang SBN. Utang kepada public lewat pasar uang.
Yang jadi masalah adalah utang sovereign semakin sulit karena alasan politik. Tidak mudah mendapat persetujuan dari DPR. Apalagi system multipartai. Ketergantungan kepada utang public lewat SUN semakin besar. Namun kalau utang SBN sepenuhnya bergantung kepada pasar, juga beresiko terjadi volatilitas Yield. Yang bisa menurunkan nilai asset (SUN) di market. Maka, dibentuklah captive market. Yaitu lewat sistem jaminan sosial.
Dengan system jaminan sosial, tenaga kerja, Kesehatan, perumahan. Dana public berupa iuran mengalir ke dalam system jaminan social dan SUN menyerap dana jaminan sosial ini. Artinya, dana jaminan sosial yang terkumpul lewat iuran ini, ditukar dengan SUN berbunga. Sekilas keliatan bahwa negara memberi bunga atas dana publk yang terkumpul ini. Dan tentu menambah dana manfaat dari program SJSN.
Pengalaman di AS dan Eropa yang sudah lama menerapakan system Jaminan sosial, iuran atau premi atau saving terus naik dari waktu ke waktu. Seperti yang juga terjadi di Indonesia pada dana BPJS Kesehatan, BPJS Tenaga kerja, Dana Tapera dan Dana Haji. Apa pasal? Pemerintah engga bisa bayar SUN saat jatuh tempo. Bisanya bayar lewat tukar SUN baru alias gali lobang tutup lobang. Bahkan bayar bunga pakai SUN juga.
Tanpa anda sadari, sebenarnya SJSN adalah cara lain pemerintah menarik uang public atau dianggap sebagai bagian dari penerimaan pajak. Ini idea dari Milton Friedman sang bapak neolib. “ Tarik dana public lewat SJSN dan kemudian tutup lewat SUN”. Mirip skema ponzy.
Sebenarnya UU sudah mengatur badan hukum Lembaga Dapen dan Dana Jaminan sosial. Dimana ada wakil pekerja pada Lembaga itu. Nah seharusnya wakil pekerja harus tegas kepada pemerintah saat dana itu disalurkan kepada SUN “ Kita harus tahu pasti bahwa dana untuk SUN itu benar benar bisa menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan kinerja ekonomi. Sehingga dunia usaha terus tumbuh dan sanggup undertake SJSN dan tidak ada PHK.”
Tapi nyatanya peran wakil pekerja kalah dengan kekuatan politik dan SUN tetap menyerap dana jaminan social. PHK terus terjadi dan dunia usaha bangkrut. Bahkan sebagian kecil portfolio dana jaminan sosial yang disalurkan kepada saham emiten, malah sebagian besar saham itu jadi deadduck. Ya dana murah dan murah, cenderung terjadi moral hazard akibat akhlak rendah. Kalau ditotal utang negara lewat SUN jaminan sosial ini sangat besar namun tidak tercatat sebagai utang pemerintah, namun dianggarkan dalam APBN pembayarannya dan APBN dari utang juga.
***
Dana pensiun itu dalam dunia investasi dikenal sebagai sumber dana murah dan mudah. Karena ia bersumber dari potongan upah pekerja yang sifatnya berdasarkan UU adalah wajib. Saat sekarang upah pekerja dipotong 4 persen dan pemberi kerja 10,24 persen hingga 11,74 persen. Hitung aja. Berapa juta pekerja PNS, Swasta, BUMN yang kena wajib potongan upah untuk dana pension. Dana terkumpul setiap bulannya tidak sedikit. Semakin lama semakin besar akumulasinya.
Ya namanya uang mudah. Tentu jadi magnit bagi bendahara negara dan swasta untuk memanfaatkannya sebagai sumber pembiayaan. Walau sebagian besar Dapen ditempatkan pada SBN, namun kasus skandal terus terjadi. Kita ambil contoh kasus Asabri sebesar Rp22,78 triliun lenyap, Jiwasraya Rp16,81 triliun; serta adanya indikasi investasi fiktif di dana Taspen sekitar Rp1 triliun. 65% Dapen BUMN bermasalah.
Memang prinsip program dana pensiun itu ideal kalau sesuai dengan UU SJSN. Namun faktanya kita engga tahu. Apakah masih utuh uangnya atau berkurang. Karena sudah lazim neraca Dapen terdapat unrealized loss terhadap investasinya. Itu jelas suspect. Jangan jangan udah deadduck.
Kini pemerintah mulai siap siap mengeluarkan PP tentang program pensiun tambahan di luar program jaminan hari tua (JHT) dan jaminan pensiun yang telah dilaksanakan oleh BPJS, Taspen, dan sistem jaminan sosial nasional. Artinya potongan upah akan bertambah. Tentu wajar kalau kita berprasangka bahwa uang dapen yang ada itu sudah menyusut. Nah agar tetap bisa membayar pensiun maka perlu ditambah potonganya. Ya semacam ponzy scam
OJK telah mengeluarkan POJK Nomor 8/2024. Dimana dana pension hanya bisa dicairkan pokoknya 20%. Sisanya dibayar setiap bulan selama 10 tahun. Memang aturan itu tidak berlaku jika manfaat pensiun setelah dikurangi 20% berjumlah kurang dari Rp1,6 juta per bulan, atau nilai tunainya kurang dari Rp500 juta, maka dana tersebut boleh dicairkan sekaligus. Timbul lagi prasangka buruk. Mengapa? 80% itu dalam bentuk produk anuitas yang diperoleh dari perusahaan asuransi. Tidak ada jaminan pasti menambah dana manfaat. Bisa aja berkurang atau hanya sebesar pokok. Artinya walau jumlah yang diterima utuh tetapi dalam 10 tahun secara PV sudah susut.
Apakah skema dana pension kita adil? Mari kita lihat di China. Dapen mereka sederhana aja. Yaitu ada dua program pensiun, yaitu pensiun sosial dan pensiun umum. Pensiun sosial merupakan potongan upah pekerja setiap bulan. Pensiun umum dibayar setiap bulannya oleh pemberi kerja. Ketika pensiun, dana pensiun sosial ditempatkan di rekening pribadi. Jumlah yang sudah pasti itu dibagi 139 angsuran ditambah bunga. Disamping itu juga dapat uang pensiun umum, yang mereka terima setiap bulan sampai mereka meninggal. Jadi ada pemisahan tegas. Uang dari potongan upah dan uang dari pemberi kerja.
Di Indonesia, pemerintah tidak merasa bersalah kalau salah urus terhadap Dapen. Karena pekerja hanya bayar 4% dari upah. Sisanya sebesar 11,7 % adalah pemberi kerja. Nah uang pensiun yang dibayar pemberi kerja sudah dianggap seperti setoran negara bukan pajak. Sehingga seenaknya kelola. Kalau terjadi moral hazard, uang lenyap karena skandal, tinggal buat aturan tambahan dana pension. Entahlah…
No comments:
Post a Comment