Upaya politik luar negeri Indonesia terkesan lemah terutama dalam menjaga sikap non blok dan bebas aktif. Pemerintah Jokowi tidak cukup smart mengelola geopolitik Indonesia terhadap geostrategis China dan AS. Ini sangat berbahaya. Kalau terjadi konflik bersenjata antara China dan AS, itu akan terjadi diteras rumah kita. Yang korban duluan yang kita sendiri.
China meminta ASEAN bersikap tegas atas kenetralannya di kawasan Indopacific. Mengapa ? Saat sekarang hubungan AS dan China sedang memanas. Terutama sejak AS menindak lanjuti AUKUS- kerjasama pertahanan AS, Inggris dan Australia- AS berjanji akan memberikan bantuan kapal selam bertenaga nuklir kepada Australia. Kementerian Luar Negeri RI hanya meminta Australia mematuhi kesepakatan non-proliferasi senjata nuklir dan safeguard IAEA. Itu tidak memuaskan China. Sementara bagi AS, sikap Jokowi menjadikan proyek komersial Kereta cepat dalam kuridor APBN (G2G) membuat AS menilai Indonesia tidak netral terhadap sikapnya.
Ya wajar saja AS balas. Dalam rogram Just Energy Transition Partnership pada G20, AS berjanji akan memberikan bantuan US$ 20 miliar kepada Indonesia untuk mengganti Pembangkit listrik batubara ke energi ramah lingkungan. Hingga kini belum cair sejak kesepakatan KTT G20 Bali November 2022 lalu. Sikap yang terkesan mempermalukan Indonesia. Kemungkinan kontrak pengadaan pesawat F-15 eagle juga akan batal. Lender engga mungkin berani memberikan pinjaman USD 22 miliar beli pesawat itu kalau AS tidak suka. Belakangan AS melalui IDFC membatalkan bantuan dana untuk proyek IKN.
Ditengah situasi itulah Jokowi terbang ke Beijing. Disamping hal yang normatif berupa menjalin saling kesepahaman, sebenarnya agenda kunjungan Jokowi minta agar China berlunak hati menyelesaikan pembiayaan Kereta cepat tanpa membebani APBN dalam jangka panjang. Meminta China agar bisa membantu pembiayaan IKN. Dan terus mendukung program hilirisasi mineral tambang. Bagi saya, itu semua bukan agenda Konstitusi UUD 45. Itu agenda politik Jokowi dan kelompok dia saja untuk mengamankan proses suksesi kepemimpinan yang dia inginkan. Tapi sangat beresiko. Apa jadinya kalau AS batalkan kontrak REPO line? bisa tumbang rupiah dan chaos lagi kita seperti 1998.
Seharusnya Jokowi tidak perlu melakukan kunjungan ke Beijing. Biarkan saja urusan investasi selesaikan ditingkat menteri dan Direksi BUMN. Lebih baik Jokowi menjaga jarak saja dengan China dan AS. Ya normatif saja. China mau bantu ya monggo, AS mau bantu ya monggo. Engga usah maksa amat. Biakan saja AS dan China mikir sendiri bagaimana mengakapitalisasi hubungan dengan Jakarta. Kita ibarat gadis manis. Bebas namun tak ternoda.
No comments:
Post a Comment