Sunday, February 20, 2022

Visi Menentukan Hasil

 




Bangun mall dengan megah dan mentereng. Tujuannya adalah jual atau sewakan kioss. Mall bermunculan bak cendawan di musim hujan. Pemerintah dan banker memberikan peluang itu. Entah benar engga itu bisnis. Nyatanya kini ada banyak mall sepi ditinggal pengunjung dan tergerus oleh bisnis online. Saya yakin banyak yang kena jebakan hutang. Bingung gimana bayarnya. Ada tiga mall megah sudah berpindah tangan ke group China. Mereka beli dengan harga diskon. Karena pemilik dan kreditur cutloss.


Tetapi Plaza Indonesia dan Pacific Place tetap eksis. Apa pasal? Kalau Mall lain dibangun dengan visi pedagang. Visi rente. Tetapi plaza Indonesia dan Pacific Place dibangun dengan visi marketing mix. Mereka tidak jual kios untuk direct selling tetapi display product branded. Sewanya 10 kali dari tarif sewa di mall biasa. Beda visi beda hasil dan beda future. Untuk dapatkan visi itu diperlukan knowledge dan kekuatan network bisnis.


Kita berani keluar uang untuk PEN diatas 1000 triliun. Itu hanya untuk recovery ekonomi yang ukurannya kualitatif. Sementara anggaran riset untuk pembangunan hanya Rp. 9,9 trilun. Padahal tidak akan terjadi transfomasi pembanguna tanpa dukungan riset yang kuat. Makanya banyak orang bangga ketika growth ekonomi ditengah pandemi diatas 5%. Padahal growth itu dipicu oleh bisnis rente. Harga batubara dan CPO naik di pasar dunia. Sementara sektor manufaktur dan industri tetap stuck. Tidak ada dampaknya terhadap distribusi keadilan. Yang kaya semakin kaya.


Dalam hal yang sederhana kita masih sulit membedakan tabungan dan asuransi. Sudah jelas bahwa JHT itu skema social security saving. Walau judulnya Hari tua, tetap saja itu skema saving. Tidak boleh di intervensi pemerintah. Anehnya Menko perekonomian bilang itu skema asuransi. Yang lucunya dana JKP dianggap sebagai dana BPJS. Padahal itu dukungan intervensi sosial APBN untuk korban PHK. Tidak ada kaitannya dengan BPJS yang bukan BUMN. Apa jadinya kalau itu dicampur adukan. Makin kacau sistem keuangan negara.


Kita selalu berpatokan bahwa untuk  menyelesaikan masalah diperlukan uang. Akibatnya citra poitik pemerintah diukur seberapa besar dana bansos dan subsidi tersedia di APBN. Sementara perbaikan sistem agar rakyat mandiri tidak dilakukan. Makanya jangan harap rakyat jadi sumber daya keuangan negara. Yang ada sampai mati rakyat selalu tergantung kepada negara. Jadi pihak yang selalu rendah dihadapan politik. Semakin membuat poltik sebagai panglima.


Akibat kesalahan berpikir maka arah pemnbanguna engga jelas. Yang ada adalah retorika dan omong kosong. Lucunya semua merasa pintar dan hebat. Semua merasa jadi orang bai


No comments:

Bukan sistem yang salah tapi moral.

  Kita pertama kali mengadakan Pemilu tahun 1955. Kalaulah pemilu itu ongkosnya mahal. Mana pula kita negara baru berdiri bisa mengadakan pe...