Indonesia sudah memutuskan menggunakan vaksin dari China. Sementara vaksin dari Pfizer, Moderna, dan AstraZeneca belum ada kepastian. Masih tahap negosiasi. Yang jadi masalah adalah Vaksin buatan China menggunakan katalisator berupa galatin. Galatin ini dibuat dari Babi. Sementara produk merek Pfizer, Moderna, dan AstraZeneca dijamin bebas babi. Bagaimana keputusan dalam memilih vaksin? dan bagaimana tentang keyakinan haram atau halal atas vaksin? Mari kita tinjau secara sederhana.
Pertama : Ada dua mahzab berkaitan tentang unsur babi halal atau haram. Kedua Mahzab ini diakui oleh ulama walau diantara mereka juga berbeda pendapat.
Madzhab Syafi’i : mengkonfirmasi dalilnya bahwa babi adalah binatang yang najis. Tidak ada dalil lain selain haram. Di Indonesia MUI menganut mazab Syafi’i.
Madzhab Hanafi : Daging babi najiz. Namun ada pengecualian, yaitu bila unsur kimianya berubah menjadi tidak najis maka hukumnya adalah tidak najis. Sebagaimana diketahui bahwa galatin itu dibuat dari kulit babi ( yang banyak mengandung lemak). Namun setelah melalui proses “Istihalah" (bahasa Arab), struktur kimia dan kelas molekul protein dalam kolagen babi diubah membentuk zat baru seperti gel. Maka ini membuatnya dari haram menjadi halal. Bebarapa negara Timur Tengah dan Muslim China menganut mazhab Hanafi. Pemerintah Malaysia meminta pendapat pemerintah UEA soal vaksin. Ulama UEA endorsed Vaksin C-19 halal.
Kedua, dari sisi efisiesi dan efektifitas. Vaksin yang tidak menggunakan galatin dari babi, biaya logistik seperti permintaan rantai pasokan, lebih mahal daripada vaksin dengan galatin. Disamping itu vaksin tanpa galatin jangka waktu expired nya pendek. Tentu dengan keterbatasan anggaran dan luasnya wilayah Indonesia, vaksin menggunakan galatin sebagai katalisator pilihan yang tepat.
Ketiga. Bagaimana kalau anda dihadapakan pada dilema. Tidak ingin mengikuti mahzab Hanafi tetapi anda tetap ingin dapatkan vaksin tanpa melanggar Mahzab Syafi’i. Solusinya adalah ikuti firman Allah ini “ Sesungguhnya Allah mengharamkan bagimu bangkai, darah daging babi & binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) padahal ia tidak menginginkannya & tidak melampaui batas maka ia tidak berdosa.”(QS.Al-Baqarah:173).
Dari firman Allah itu ada kata “ terpaksa “ yang artinya kalau tidak ada vaksin pengganti yang efisien dan efektif tanpa galatin, itu tidak termasuk haram dan tentu tidak dosa. Dalam hal ini, MUI pada tahun 2018 memperbolehkan vaksin campak dan rubella meski adanya gelatin babi. Jadi sudah ada dasar qiyas ( yuriprudensi ) untuk menyimpulkan vaksin COVID-19 itu boleh dan tidak haram. Tapi bagaimanapun kita tunggu aja fatwa MUI soal Vaksin COVID-19.
Demikian
wallahu a'lam bishawab
No comments:
Post a Comment