Wednesday, April 1, 2020

Sumber dana Rp. 405 Triliun untuk C-19


Apa itu stimulus?
Banyak orang beranggapan bahwa stimulus itu, pemerintah cetak uang begitu saja. Sama dengan venezuela. Yang dampaknya bisa hyperinflasi. Sangat berbeda. Stimulus itu bukan cetak uang dalam arti sederhana. Tetapi itu bagian dari kebijakan pemerintah yang jadi standar dalam teori Ekonomi kapitalisme. Apa itu? Apabila sistem pasar tidak bekerja efektif menggerakan keseimbangan permintaan dan penawaran, maka pemerintah harus melakukan intervensi. Tujuannya agar terjadi stabilitas moneter dan fiskal, dan pada waktu bersamaan menghindarkan negara dari resesi. 

Contoh ketika terjadi penurunan permintaan sektor pariwista akibat adanya pandemi C-19, pemeritah keluarkan stimulus ekonomi paket 1. Tujuannya agar sektor wisata yang merupakan tulang punggung ekonomi nasional tidak jatuh.  Pemerintah juga keluarkan stimulus ekonomi jilid 2 kepada industri yang terkena dampak penurunan produksi dan pasar akibat di lockdown nya China. Total dua paket stimulus ini mencapai Rp. 158 triliun. Dengan stimulus ekonomi paket I dan II diharapkan sektor pariwisata dan industri bisa bertahan sementara menghadapi goncangan akibat Pandemi C-19. Itu sudah dilakukan pemerintah pada bulan februari. Well done.

Pada bulan maret, di tengah wacana polemik lockdown atau social distancing yang memanas di media massa, pemerintah bekerja menghitung secara detail dampak ekonomi kalau dilakukan lockdown atau social distancing.  Mengapa? Kebijakan soal pandemi corona ini akan mempengaruhi sisi permintaan dan penawaran secara massive dan significant. Yang terkena dampak serius adalah perbankan dan lembaga keuangan. Yang akan suffering akibat NPL melonjak. Tentu akan berdampak luas kepada rakyat lapisan bawah. Menghitung ini engga gampang. Karena harus melalui analisa menyeluruh. Sehingga ketika PSBB dikeluarkan, paket stimulus jilid III juga diluncurkan sebesar Rp. 405 triliun. Well done.

Ada dua jenis surat Utang yang akan diterbitkan, yaitu Pandemi Bond dan Recovery bond dengan total Rp. 405 Triliun. Kedua jenis surat utang ini berbeda tujuan dan peruntukannya. Namun tetap dalam rangka mengatasi dampak ekonomi dari adanya Pandemi C-19. Surat utang ini bersifat khusus untuk Insentif bidang kesehatan sebesar Rp75 triliun. Insentif perlindungan sosial sebesar Rp110 triliun. Insentif perpajakan dan stimulus KUR sebesar Rp70,1 triliun. Insentif pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional, termasuk restrukturisasi kredit dan pembiayaan UMKM sebesar Rp150 triliun. Kalau diperhatikan porsi 75% untuk ekonomi dan hanya 25% atau Rp. 110 Triliun untuk sosial.

Yang jadi masalah adalah apabila pemerintah mengeluarkan bond konvensional dalam situasi pasar uang yang tidak mendukung, kawatir penerbitan obligasi ini akan menimbulkan volatile. Tingkat bunga akan naik dan Yield juga melambung. Agar bisa mengantisipasi volatile pasar, maka Pemerintah minta BI sebagai then last lender. Artinya kalau pasar cenderung bereaksi negatif maka  BI akan masuk ke pasar. Atau kalau Pasar tidak meresponse, maka BI akan beli semua obligasi. Tetapi untuk bisa skema ini dilaksanakan perlu ada PERPPU atas UU BI. Karena prinsip UU BI yang ada, tidak dapat membiayai defisit fiskal negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 

Saat sekarang sudah terbit Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan atau Stabilitas Sistem Keuangan. Perppu 1/2020 sendiri tertanggal atau diteken Presiden Joko Widodo pada 31 Maret 2020. Dengan demikian skema pembiayaan menutupi defisit APBN sudah ada sah secara hukum.

Kemungkinan besar Pandemi bond dan Recovery bond akan dibeli semua oleh  BI. Karena dalam situasi sekarang likuiditas sedang kering. Apalagi peneberbitan bond dalam skala jumbo engga mudah bisa diserap pasar.  Apakah mungkin? Perhatikan, guna menguatkan rupiah selama bulan maret BI sudah gelontorkan dana sebesar Rp. 300 Triliun. Injeksi ke mata uang Garuda dilakukan di pasar spot, pembelian Surat Berharga Negara (SBN) yang dilepas investor asing, hingga DNDF. Jadi kalau harus tambah lagi Rp. 405 triliun itu masih bisa cover. Karena cadangan devisa pada akhir januari mencapai US$130,4 miliar.

Darimana uang BI.?
Memahami secara idiot darimana sumber uang BI membeli SBN itu, maka kita harus pahami apa yang dimaksud uang. Awalnya uang itu hanya sebagai alat tukar ( medium of exchange). Tetapi lambat laun karena perubahan zaman, orang tidak bisa pegang uang terus. Mereka juga ingin uang itu berubah ujud dalam bentuk harta yang  berfungsi sebagai alat penyimpan nilai ( store of value). uang sudah berubah dalam bentuk surat kepemilikan tanah, rumah atau emas dan lain lain. Walau ujudnya bukan uang tetapi nilainya diukur dalam bentuk uang. Makanya uang juga berfungsi sebagai alat hitung (  unit of account ). Karena zaman berkembang, terjadi kolaborasi antara yang punya bisnis dan uang. Maka terjadilah utang piutang. Nah untuk mengamankan akad, maka terciptalah surat utang atau disebut dengan istilah standard for deferred payment.

Apa artinya? Kalau anda pegang surat kepemilikan rumah atau tanah, atau emas, atau surat utang, maka itu tidak ada beda dengan uang dalam pengertian sederhana. Jadi kalau BI membeli SBN berupa pandemi bond dan recovery bond itu bukan uangnya hilang tetapi hanya berubah ujud dalam bentuk SBN. Karena ada kewajiban pemerintah untuk membayar utang itu. Dari mana BI dapatkan uang? BI hanya mencatat dalam pembukuannya adanya penambahan uang beredar. Tentu pencatatan itu memperhatikan cadangan devisa negara. Darimana pemerintah dapat uang membayar utang? itu dari pendapatan pajak dan lain lain. 

Artinya negara berutang kepada rakyatnya sendiri, bukan kepada asing. Itu terukur sekali dari segi kelayakan ekonomi dan financial. Makanya 75% uang SBN yang sifatnya khusus itu disalurkan kepembiayaan yang aman dan berdampak kepada peningkatan pajak dan pertumbuhan ekonomi. Nanti apabila keadaan kembali normal maka BI akan jual SBN itu kepasar secara bertahap. Pada saat itu tentu BI memperhatikan tingkat laba atau spread yield. Dan BI kembali kepada UU BI yang focus kepada operasi moneter tampa terlibat lagi dalam pembiayaan defisit anggaran.  Dan pada waktu bersamaan pemerintah juga kembali kepada UU defisit APBN yang maksimum 3%.

Bagaimana negara lain?
Apa yang dilakukan Indonesia juga dilakukan oleh semua negara yang menerapkan sistem mata uang, yaitu menerbitkan surat utang melalui internal market. Misal, India mengumumkan paket stimulus ekonomi senilai 1,7 triliun rupee, setara USD 22,5 miliar atau Rp 360 triliun. Paket stimulus tersebut ditujukan untuk menanggulangi dampak Covid-19, terutama membantu jutaan rumah tangga berpenghasilan rendah selama negara tersebut melakukan masa lockdown. Negara Adidaya (AS), tak luput sebagai negara yang terdampak Covid-19. Negara ini pun memutuskan meluncurkan stimulus USD 2 triliun atau sekitar Rp 32.000 triliun guna menangani pandemi Corona dan dampaknya terhadap ekonomi. Pemerintah Korea Selatan mengalokasikan anggaran senilai 11,7 triliun won (USD 9,9 miliar) setara Rp 158,4 triliun untuk membantu sektor kesehatan, bisnis dan rumah tangga dalam menghadapi Covid-19. Sebelumnya pemerintah juga mengumumkan keringanan pajak dan subsidi sewa.


Gugatan Perppu 1/2020
Sejumlah tokoh dan Pakar hukum tata negara Muhammadiyah yang tergabung dalam Masyarakat Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama) sepakat mengajukan uji materi atau judicial review Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 1 tahun 2020 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan ini diajukan lantaran Perppu tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 atau Covid-19 itu dinilai melanggar sejumlah aturan perundang-undangan yang ada.

Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada dewan Pakar Muhammadiah, saya hanya ingin memberikan masukan sebelum gugatan itu diajukan ke MK.

Pertama, Jokowi mengeluarkan PERPPU itu berdasarkan UUD 45. Pasal 22 ayat (1) “ Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.” Kemudian dalam pasal 1 angka 4 UU No. 12 tentang pembentukan peraturan Perundang Undangan, berbunyi “ “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.”

Kedua, dalam UUD pasal 22 jelas disebut “ kegentingan yang memaksa”. Secara UUD dapat ditafsirkan bahwa yang berhak menentukan apakah negara dalam keadaan genting dan memaksa adalah Presiden. Memang dasarnya subjectif.

Ketiga, subjectifitas menetapkan negara dalam keadaan genting itu yang menilai adalah DPR. Bukan pengadilan MK. Kalau DPR menilai memang negara tidak dalam keadaan genting seperti anggapan subjectif Presiden, maka PERPPU itu dapat dibatalkan.

Dengan tiga hal itu jelas saja gugatan dewan pakar Muhammdiah itu kurang tepat. Mengapa ? saya perhatikan sikap subjektif Jokowi menetapkan negara dalam keadaan genting sudah mengacu kepada Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Karena APBN defisit melewati 3% sehingga melanggar ketentuan yang diatur oleh UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Defisit terjadi karena covid-19 telah membuat situasi krisis global bertambah buruk sehingga mempengaruhi dunia usaha sebagai sumber penerimaan pajak. Kalau tidak ada PERPPU atas UU itu, negara akan masuk ke jurang resesi dan tidak ada uang untuk mengatasi pandemi COVID-19.

Kalau katanya pemerintah tidak mau memangkas anggaran dan lebih utamakan utang, justru PERPPU diperlukan untuk realokasi Anggaran secara luas untuk focus kepada COVID-19. Dari Sisa Anggaran Lebih (SAL), dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan, dana yang dikuasai negara dengan kriteria tertentu, dana yang dikelola oleh Badan Layanan Umum (BLU), dan dana yang berasal dari pengurangan Penyertaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pemangkasan dana non prioritas APBD, itu semua direalokasikan ke focus COVID-19. Itupun masih kurang. Itu sebabnya negara terpaksa mengeluarkan SUN. Namun pasar dalam negeri tidak bisa menyerap semua karena krisis keuangan. Makanya pemerintah perlu PERPPU itu untuk mengubah UU BI. Agar BI bisa menjadi the last lender.

Semua negara di dunia melakukan hal yang sama, bahkan negara maju juga. Dan rakyatnya termasuk oposisi mendukung. Apakah tokoh muhammadiah ada solusi lebih hebat? Solusi hebat mendatangkan uang Rp. 405 triliun tanpa PERPPU. Kalau tidak bisa membantu, cobalah perbesar empati dengan cara mendukung kebijakan pemerintah dan awasi itu. Tidak sulit memahami situasi negara dalam keadaan genting, apalagi bagi pakar ekonomi dan politik, kecuali memang niatnya ingin kapal NKRI pecah di tengah badai..

2 comments:

Unknown said...

Keren.... thanks ya Babo krn menambah wawasan bagi saya ....dan sy izin utk share ya Babo 🙏

Unknown said...

Moga2 Indonesia bisa melewati pandemi C19 dgn baik

ERA Jokowi, dari 16 target yang tercapai hanya 2

  Realisasi kuartal III-2024, ekonomi nasional tumbuh 4,95%. Konsumsi rumah tangga sebagai pemberi andil terbesar hanya mampu tumbuh 4,91%. ...