Sunday, April 5, 2020

Data dan analisa Corona



Saya mencoba melakukan analisa  data statistik secara mandiri. Tentu analisa saya belum tentu benar, apalagi dibuat dengan cara sangat sederhana.  Yang pasti saya mengabaikan opini dan analisa pihak lain agar terhindar dari hoax . Yang jadi referensi saya adalah rapid test yang ada di DKI dan data formal. Kalau dalam ilmu statistik, rapid test itu sama dengan sampling data yang bisa menjadi dasar membuat analisa secara kesuruhan atau seperti Quick Count pada Pemillu. Data sampling yang diambil adalah per-wilayah yang tingkat resiko penularannya tinggi. 

Hasil rapid test rasio rata rata penyebaran virus DKI yang positif sebanyak 1,7 %. Itu data dari tiga kali rapid test. Dari data ini , dengan asumi penanganan covid-19 sama dengan sekarang atau sebelum bulan april, maka dapat ditarik ke-sejumlah populasi DKI sebesar 10.504.000 yang kemungkinan positif sebanyak 178.568. Karena data rapid test ini tingkat error nya 35%, maka dapat dikatakan 178.568 itu orang dalam pemantauan (ODP) yang harus mengikuti swap test untuk confirmed positif. Tidak semua yang positif otomatis jadi Pasien dalam pengawasan (PDB).  Orang positif bisa tanpa gejala apapun, yang memang tidak perlu masuk RS namun harus di karantina.

Dari data per 5 April, ODP sebanyak 2.496 kasus, yang positif terconfirmasi 40% atau sebanyak 1.071. Yang jadi PDB sebanyak 691 orang atau 60% dari yang positif. Jadi kalau merujuk data yang ada, maka yang kemungkina positif seluruh  DKI, itu akan mencapai 71.427. Kemungkinan masuk PDB sebanyak 43.000. Secara nasional 50% penyebaran Corona ada di Jakarta. Artinya hal terburuk secara nasional mendekati sama dengan analisa dari BIN yaitu akhir April sebanyak 27.307 kasus, 95.451 kasus di akhir Mei, dan 105.765 kasus di akhir Juni. Kalau tingkat kematian mencapai 5%, maka total kemungkinan angka kematian di  DKI sebesar 2.100 orang, secara nasional 4.200 orang. 

Nah dengan keluarnya PSBB dan digelontorkannya dana sebesar Rp. 405 triliun untuk penanggulangan Covid-19 maka rasio akan lebih rendah lagi. Karena tingkat penularan akan tertekan, kemungkinan lebih kecil dari data prediksi berdasarkan data normal  ( tanpa ada  tindakan extraordinari sesuai PSBB ). Setidaknya yang negatif tidak tertular dari mereka yang positif.  Kita bersyukur sesuai data BMKG , penyebaran lewat udara hampir tidak mungkin terjadi karena virus tidak bisa efektif pada cuaca panas dan kering. Namun resiko penyebaran lebih luas bisa efektif dari orang ke orang. Maka PSBB itu penting sekali dipatuhi oleh semua warga.

Kalau gerakan PSBB ini benar benar dilakukan, kemungkinan bulan Mei sudah selesai masalah COVID-19 ini. Sebagian besar orang sudah imun. Kehidupan kembali normal. Tetapi kalau tidak serius melaksanakan PSBB maka angka terburuk seperti analisa diatas kemungkinan terjadi, yaitu sekitar 4200 meninggal dunia karena COVID-19. Tetapi engga usah panik berlebihan. Angka kematian akibat kecelakaan di jalan mencapai 29 ribu orang setiap tahun. Kajian Badan Litbangkes tahun 2015 menunjukkan, Indonesia menyumbang lebih dari 230.000 kematian akibat konsumsi produk tembakau setiap tahunnya. Toh kita aman aman saja. Jalan makin ramai dan konsumsi rokok tetap ada. 

Penyebab tingginya angka kematian
Semua tahu bahwa belum ada vaksin Virus Covid-19. Bahkan Virus flue saja engga ada vaksinnya. Jadi kalau anda berobat ke dokter itu bukan berarti anda diberi obat anti virus flue tetapi hanya obat untuk anda bertahan terhadap efek dari flue itu. Seperti obat penurun panas, obat antibiotik penghilang radang. Yang membuat anda sembuh adalah imun tubuh anda sendiri. Kemampuan imun ini tergantung sejauh mana anda bisa bertahan terhadap serangan virus itu. Karena proses perang terhadap virus ini tidak sebentar. Apalagi bagi orang yang sudah jadi pasien RS akibat Covid-19, bertahan terhadap serangan virus itu sangat menentukan sekali dia akan sembuh atau tidak.

Mengapa ? Dalam hal Virus Covid-19 pada pasien yang parah, dia akan mengalami suatu kondisi yang disebut sindrom gangguan pernapasan akut (acute respiratory distress syndrome atau Ards) yang mengancam jiwa. Pada flue tidak ada ini. Nah agar bisa bertahan terhadap serangan virus, dia membutuhkan ventilator untuk memberikan volume oksigen dan udara yang lebih kecil, tetapi pada tingkat yang lebih tinggi. Selagi ada ventilator, proses imun dalam tubuhnya bisa bekerja efektif melawan virus itu. Tetapi kalau tidak ada ventilator, dalam waktu singkat dia bisa meninggal karena tidak bisa bernafas secara normal.

Menurut Prof. David Story, deputi direktur Pusat Perawatan Terpadu Universitas Melbourne, seperti dikutip dari The Guardian kemungkinan besar pasien bisa meninggal bila tidak ada ventilator. Tingginya angka kematian di Italia dan AS, juga di Indonesia karena tidak cukup tersedianya alat ventilator di RS. Sebetulnya, resiko kematian akibat COVID-19 ini rendah sekali dibandingkan virus lainnya tetapi kalau tidak dibantu Ventilator, angka kematian bisa tinggi. Itu sebabnya Pemerintah AS akan melakukan apa saja untuk mendapatkan ventilator dari pasar, walau harus membajak sekalipun. Ini soal nyawa.

Karena kebutuhan ventitalor mekanis sangat mendesak sementara kapasitas pabrik terbatas, maka harga melambung dan langka di pasar. Ini sangat kritis. Makanya cara efektif untuk menghindari kekurangan ventilator adalah dengan mengurangi jumlah pasien. Setiap anggota masyarakat diharuskan mengikuti semua saran kesehatan, termasuk aturan menjaga jarak dan kebersihan. Jika tidak, ketika banyak orang terinfeksi Covid-19 dan mengalami kondisi kritis, rumah sakit engga cukup ventilator. Apa yang terjadi, terjadilah..

No comments:

Jebakan hutang membuat kita bego

Politik Global dulu jelas. Seperti adanya block barat dan timur dalam perang dingin. Arab-israel dalam konflik regional di timur tengah. Dim...