Saturday, April 18, 2020

Hegemoni Industri Pharmasi



Kemarin Eric Thohir mengatakan betapa dia terkejut ternyata 90% bahan baku obat tergantung pada impor. Kalau orang terbiasa main di bursa secara global, akan bilang bahwa kalau ada diktator bidang bisnis maka itu hanya ada dua, yaitu, satu Microsoft , kedua, pharmasi. Kedua jenis bisnis ini lewat ekosistem bisnis mampu seenaknya merelease produk baru dan secara ekosistem orang dipaksa untuk membeli dan yang lama ditarik lagi lewat update. Engga ada yang bisa protes. Mengapa? karena microsoft membuat aturan sendiri bagi usernya. Engga boleh didebat. Pharmaci dapat backing dari WHO untuk membuat aturan. Melanggar SOP dari WHO kena Banned

Mungkin anda akan bilang saya tukang ngarang kalau sampai segitunya istilah bisnis kepada diktator bernama Industry Pharmasi. Mari kita lihat data. Dari tahun 2000 hingga 2018, 35 perusahaan farmasi besar melaporkan pendapatan kumulatif $ 11,5 triliun, laba kotor $ 8,6 triliun, EBITDA $ 3,7 triliun, dan laba bersih $ 1,9 triliun, sementara 357 perusahaan S&P 500 melaporkan pendapatan kumulatif $ 130,5 triliun, laba kotor $ 42,1 triliun, EBITDA $ 22,8 triliun, dan laba bersih $ 9,4 triliun. Kalau trend pendapatan perusahaan non pharmasi cenderung menurun akibat krisis namun perusahaan pharmasi terus meroket keatas.

Dalam model regresi bivariabel, margin laba tahunan rata-rata perusahaan farmasi secara signifikan lebih besar daripada perusahaan S&P 500. Margin laba kotor pharmasi 76,5% sementara non pharmasi 37,4%. Perbedaan, 39,1% atau laba kotor perusahaan pharmasi dua kali lipat lebih dibandingkan dengan bisnis non pharmasi. Yang hebatnya dari total pendapatan 35 perusahaan raksasa pharmasi dunia itu 60% berasal dari 10 industri pharmasi.  Dari 10 itu, 6 adalah perusahaan Amerika. Hanya satu dari China. 2 Swiszerland, 1 lagi Denmark.

Yang lebih hebatnya lagi bahwa industri pharmasi itu, menguasai dari sejak riset, pengadaan bahan baku, sampai ke pada distribusi. Praktis mereka menciptakan ekosistem bisnis yang memaksa orang harus membeli kalau orang pergi ke dokter atau ke rumah sakit. Walau WTO mengharuskan adanya transparansi soal harga pokok agar tercipta keadilan dalam bersaing, namun satu satunya industri yang bisa melanggar ketentuan WTO hanyalah industri pharmasi. Mereka berhak tidak membuka berapa harga pokok mereka. Sementara sektor pertanian dan lainnya harus membuka  harga pokok agar bisa selamat dari banned tarif.

Apakah mereka itu benar benar raksasa? Saya ambil contoh Johnson & Johnson, yang merupakan raksasa yang berada di puncak piramid bisnis pharmasi. Dia punya MarCap sebesar USD 395 billion. Itu hampir sama dengan PDB Thailand. Bayangkan, kehebatan mereka. Hanya satu perusahaan saja tetapi kedigdayaan assetnya sama dengan PDB satu negara. Apalagi adanya tekanan dari WHO agar seluruh negara memberikan sistem jaminan kesehatan nasional, yang tentu mengikuti SOP-WHO- seperti kasus pandemi COVID-19-, maka industri pharmasi lah sebenarnya penguasa dunia. Mereka menjadi sandaran bagi semua manusia di planet bumi ini, yang tentu pada waktu bersamaan menjadi ancaman. Dengan cara itulah mereka menciptakan laba dan semua bisnis yang menjadi bagian dari ekosistem pharmasi pasti tajir..

***
Mafia Pharmasi
Awalnya saya sempat terkejut karena Eric Tohir bilang dia baru tahu bahwa 90% bahan baku industri obat berasal impor. Begitu juga alkes semua impor. Kemudian disikapi dengan emosional oleh  anggota DPR, yang bertanya, tunjuk aja siapa pelakunya?. Eric terdiam. Kemudian Jokowi juga bersuara tentang keprihatinannya terhadap tidak adanya kemandiririan kita di bidang pharmasi. Nah gimana dengan kita sebagai rakyat yang merasakan langsung akibat tataniaga obat ini? pasti kita kesel. Ya bayangin aja, para mentri dan DPR baru tahu ada mafia obat. Selama ini ngapain aja mereka.

Saya yakin sikap Menteri dan DPR itu pura pura bego. Karena pelaku mafia obat ya  mereka sendiri. Mau bukti? Semua bahan baku obat itu masuknya melalui impor. Siapa yang keluarkan izin impor? menteri perdagangan. Semua industri obat itu berdiri karena izin pemerintah. Siapa yang keluarkan izin? Menteri Peridustrian. Dan setiap izin ini dan itu dikeluarkan, pasti menjadikan BUMN sebagai pendamping. Siapa yang menugaskan BUMN? Menteri BUMN. Apa tujuannya ? agar terjadi proses kemandirian di bidang pharmasi. 

Dengan adanya BUMN sebagai pendamping, itu otomatis memberikan rente kepada BUMN menciptakan laba. Laba itu bisa digunakan untuk riset dan kemandirian produksi. Seharusnya BUMN pharmasi udah punya uang banyak untuk riset dan membangun industri pharmasi dengan lokal konten diatas 50%. Lantas ngapain saja BUMN Pharmasi selama ini sebagai pendamping? Mau tahu jawabnya ? semua vendor atau prinsipal merek itu menggunakan tangan DPR untuk menggertak Menteri perindustrian, perdagangan, menteri BUMN.  Bahkan mereka menggunakan Ormas. Makanya mafia obat itu jadi sumber pundi pundi partai dan elite politik.

Hebatnya lagi proses kemandirian itu menjadi mandul karena SOP  kesehatan dan obat yang ditetapkan oleh menteri kesehatan. Jadi seakan kemandirian itu sebagai mission impossible. Alasan kemenkes adalah mengikuti standar WHO. Percis dengan kasus COVID-19. Apapun obat buatan lokal dianggap salah. Yang benar obat berasal dari lab berkelas dunia. 

Jadi masalah Mafia pharmasi ini, tidak sulit dibrantas asalkan ada kemauan politik. Mengapa ? iran yang penduduknya lebih sedikit dari kita, bisa kok mandiri di bidang pharmasi. China dan India juga sudah sangat mandiri dibidang pharmasi. Penduduk kita 260 juta, saya rasa tidak bijak kalau kita terus terjebak dengan mafia pharmasi. Saran saya, agar Jokowi membentuk team independent dari kalangan profesional dan praktisi untuk membongkar tata niaga Pharmasi dan sekaligus memberikan masukan. Dengan demikian secara politik, kalau Jokowi melakukan perbaikan industri dan tana niaga pharmasi, Jokowi bisa selamat dari tekanan Politik. Rakyat pasti mendukung.

1 comment:

katabelece said...

Sangat mengerikan ya bang

Putin memenangkan Pilpres Rusia.

  Pemilu Rusia, memilih empat calon presiden, yaitu Putin, Leonid Slutsky, Nikolai Kharitonov, dan Vladislav Davankov. Hasilnya ?  Komisi Pe...