Friday, November 1, 2019

Jangan salah Pilih Kepala Daerah.



Sebetulnya sejak reformasi, Indonesia itu seperti negara Indonesia serikat, yang meliputi jumlah kabupaten ada 415, kabupaten administrasi ada 1 , kota sebanyak 93, dan kota administrasi (5). Sementara Gubernur  (tidak termasuk daerah khusus) hanyalah sebagai wakil pemerintah pusat. Mengapa saya katakan “ seperti “ Indonesia serikat? karena sesuai Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, setiap daerah tingkat Dua dan daerah Khusus diberi hak seluas luasnya mengatur daerahnya sesuai dengan aspirasi masyarakat. Kewenangan itu termasuk kepada hak mengelola Anggaran sendiri dan membuat Perda untuk mengatur. 

Tujuan desentralisasi pemerintahan, adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, dalam lingkungan strategis globalisasi, Daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman Daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tapi apa yang terjadi setelah 20 tahun reformasi? Apakah tujuan ideal desentralisasi itu tercapai ? 

Perhatikan. Daerah Jawa hampir semua rasio kemandirian diatas standar nasional yaitu 24,2 %. Sementara luar jawa, masih bergantung sebagian besar dengan pusat soal pembiayaan.  Itu disebabkan Pendapat Asli Daerah (PAD) mereka dibawah standar nasional (24,2 %) dari total APBD. Contoh Sumatera, semua daerah otonomi rasio PAD mereka terhadap total APBD mencapai rata rata 16,5%. Kalimantan, rasio rata rata PAD terhadap APBD mencapai 17,6%.  Sulawesi rata rata rasio PAD terhadap APBD sebesar 14,2% atau lebih rendah dari Sumatera. Yang lebih miris adalah Papua, dimana tingkat kemandiran rendah sekali. Rasio PAD terhadap APBD sebesar 6%. Artinya 94 % APBD itu berasal dari pusat.

Kalau kita perhatikan, PAD daerah itu seharusnya setiap tahun meningkat seiring meningkatnya pembangunan. Padahal cakupan PAD itu luas sekali yang terdiri dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, dan Lain-Lain. Pajak Daerah merupakan sumber pendapatan tertinggi dari PAD yaitu sebesar 69,5 persen. Nah, bayangkan, 20 tahun sejak di syahkannya UU Otonomi daerah tahun 1999. Mungkin sudah lebih Rp. 10.000 triliun APBN mengelontorkan dana perimbangan pusat- daerah. Tetapi hasilnya tetap saja daerah tidak bisa mandiri.

Yang lebih miris lagi adalah daerah otonom itu bukan hanya tidak mandiri tetapi sebagian besar justru defisit. Data tahun 2017, dari 542 dari propinsi/kabupaten/kota sebanyak 84,9 persen (460 daerah) APBD defisit. Tahun 2018 dan 2019 bertambah lagi daerah yang defisit. Puncaknya DKI yang tidak pernah defisit , justru tahun ini mencatat defisit hampir 10% dari APBD. Sepertinya uang APBN yang digelontorkan ke daerah seperti orang memasukan sabun kedalam bak mandi. Habis tak bersisa dan tak berkesan. Sementara SDA daerah dikuras yang berdampak kepada kerusakan lingkungan.

Uang APBN yang berasal dari pajak badan dan perorangan memang sangat besar, namun lebih 50% dikembalikan ke daerah dalam bentuk Dana Perimbangan yang terdiri  3 (tiga) bagian utama yaitu Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU). DAU merupakan sumber pendapatan tertinggi dari Dana Perimbangan yaitu sebesar 61,6 persen. Sementara dari 50% dana tersisa di APBN,  pusat masih harus mentransfer lagi Dana Alokasi Khusus (DAK) kepada daerah dalam rangka pembangunan proyek yang menjadi program pusat. APBN juga masih harus membayar gaji ASN di kementrian , gaji TNI/PORI dan bayar utang beserta bunga. Makanya APBN terus defisit sejak tahun 2012 sampai sekarang.

Apa yang salah? Peningkatan jumlah penduduk tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan daerah, yang berdampak kepada semakin besarnya beban sosial dan perawatan sarana umum. Mengapa ? karena kepala daerah umumnya tidak kreatif untuk mengembangkan potesi daerahnya melalui pembiayaan non APBD. Padahal pemerintah pusat sediakan dana pendamping untuk program pembangunan non APBD lewat DAK. Pemerintah pusat juga menyediakan skema KPBU melalui fasilitas VGF. Berdasarkan UU obligasi daerah, Pemda punya hak untuk mengeluarkan municipal bond untuk menutupi defisit. Tetapi fasilitas dari Pusat dan UU itu tidak dimanfaatkan.  Para kepala daerah hanya cenderung bersikap konvensional menghabiskan uang APBD, seperti yang dilakukan Anies dan kepala daerah lainnya. 

Solusinya ? Adalah tugas Menteri Dalam Negeri untuk membina PEMDA. KPK harus  melakukan pengawasan ketat pada pengelolaan APBD, dengan mengusulkan kepada presiden dan DPR agar dalam rangka  pencegahan korupsi APBD, semua pemda harus menerapkan e-government yang terpadu meliputi e-planning, e-budgeting, e-procurement. Sulit.? Engga.  Apalagi sesuai UU 23/2014 pada Pasal 60, presiden bisa memberhentikan Gubernur/wakil gubernur bila berkinerja buruk. Dan menteri dalam negeri bisa memberhantikan Bupati, Walikota bila berkinerja buruk.  Dalam UU 23/3014, memang mekanismenya melalui DPRD namun bila dalam 14 hari DPRD tidak memecat  maka presiden atau mendagri bisa memecat tanpa perlu persetujuan DPRD. Semoga rakyat semakin cerdas dalam memilih Kepala Daerahnya. Karena dampaknya salah pilih kita akan rugi dan masa depan anak cucu kita akan suram. lihatlah yang terjadi di Jakarta. Tadinya udah modern, kini  kembali jadi kumuh dan defisit.

***

Anies angkat bicara terkait polemik dokumen Kebijakan Umum APBD Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUAPPAS) 2020. Termasuk soal adanya kegiatan yang janggal yang ditemukan oleh Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) DKI Jakarta, misalnya rencana pembelian lem aibon senilai Rp82,8 miliar dan pulpen sebesar Rp123,8 miliar yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Singkatnya Anies menyalahkan sistem anggaran sebagai warisan dari Ahok. Dianggap sistem ebudgeting era Ahok tidak smart, yang masih membutuhkan input secara manual. Benarkah ?

Seperti diketahui, e-budgeting direncanakan sejak zaman Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 2013, lewat Peraturan Gubernur (Pergub) No 145 tahun 2013. Sistem dijalankan ketika Ahok menjadi Gubernur DKI dan melakukan pembahasan APBD DKI 2015. Pergub tersebut mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005. Karena penerapan sistem ebudgeting itu, Ahok bisa membongkar anggaran siluman. Masalahnya, muncul dua versi APBD-P DKI 2014 sehingga memunculkan kasus korupsi pengadaan uninterruptible power supply (UPS) senilai Rp120 miliar. Karena itu Ahok ribut dengan anggota DPRD.

Tahun 2016, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo memuji Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang menerapkan mekanisme penganggaran melalui electronic budgeting (e-budgeting). Menurut Agus, cara tersebut dapat merangkul masyarakat untuk turut mengawasi kinerja pemerintah agar tak menjurus ke rasuah. Bahkan, KPK mengusulkan ebudgeting Ahok diterapkan di seluruh Indonesia, agar masyarakat secara partisipatif mengotrol dan melakukan koreksi. Kalau bisa bukan hanya anggaran tetapi perencanaan anggaran juga bisa diketahui publik sehingga hal pengawasan publik jadi terpadu.

Sistem ebudgeting era Ahok tidak mudah dijebol. Mengapa ? karena DKI di era Ahok sudah menerapkan e-planning. Jadi Rencana kerja Jangka Menengah dan Panjang telah di masukan kedalan e-Planning. Ini tidak mungkin diubah. Mengapa ? karena sudah ada PERDA nya dan persetjuan dari Menteri Dalam negeri. Tentu dasarnya sangat kuat karena telah melewati kajian akademis yang menyeluruh dan lagi penyusunan itu melibatkan uang negara. Jadi kalau Anies mengajukan anggaran diluar e-planning maka otomatis akan ditolak oleh system. Apalagi sistem ini terhubung dengan KPK dan BPK. Pelanggaran terhadap itu akan jadi target KPK.

Kalau anggaran yang disusun telah sesuai dengan e-planning maka masih ada lagi e-budgeting. Detail anggaran itu akan di uji oleh system database e-budgeting. Kalau tidak sesuai dengan aturan yang ada maka otomatis di tolak. Tidak boleh diajukan ke DPRD. Kalau anggaran sesuai dengan e-Budgeting , maka masih ada lagi e-procurement. Contoh, satu mata anggaran itu seharusnya seharga Rp. 100.000 tapi dianggarkan sebesar Rp. 500.000 maka otomatis akan ditolak oleh system database. Dan ini akan berdampak kepada semakin membesarnya sisa anggaran tidak terpakai karena tidak sesuai denga e-procurement. Apalagi Pejabat pemangku anggaran tidak mau masuk penjara alias takut sendiri. Karena sudah di detek oleh sistem adanya pelanggaran.

Kalau semua system database bisa dilewati maka masih ada lagi database pendapatan yang berkaitan dengan PAD dan pendapatan daerah. Anggaran belanja harus bisa memastikan pertumbuhan pendapatan Daerah. Untuk menguji belanja itu akan mendorong peningkatan pendapatan, ada lagi UU dan Permen yang mengatur sehingga secara trasfarance bisa di analisa oleh mendagri apakah belanja itu telah memenuhi unsur kepatutan atau tidak. Kalau tidak maka akan ditolak oleh Mendagri. Jadi memang ketat sekali.

Nah apa yang dilakukan Anies selama ini ? dia berusaha mengubah dengan cara memisahkan e-Planning dan ebudgeting. Akibatnya ebudgeting hanya berfungsi pengelektronikan data yang membutuhkan input data manual. Bukan sebagai sebuah sistem yang terintegrasi . Itu sebabnya Anies tidak mau ada transfaransi. Itu sebab data input di web beda dengan Planning. Sangat berbeda dengan era Ahok. di era Ahok, proses anggaran mulai dari penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah di eksekutif hingga pembahasannya di DPRD seluruhnya diunggah untuk publik. Mengapa ? Karena e-planning di Bappeda dan e-budgeting di Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) sudah terintegrasi, sehingga entri data tidak perlu lagi manual. Semoga pak Anies paham. Engga usah menyalahkan lantai berjungkit kalau tak pandai menari. Tak usah menyalahkan orang lain kalau awak sendiri pandir.

Keterbukaan informasi
Memang secara UU tidak ada keharusan anggaran itu terbuka secara publik. Namun tidak melarang masyarakat mendapatkan informasi itu. Dan ini di jamin oleh Undang-Undang No. 14 tahun 2008, tentang Keterbukaan Informasi Publik. Masalahnya tidak banyak masyarakat yang tahu akan hak nya itu. Tidak banyak dari mereka punya kemampuan mengakses data dan informasi seputar anggaran. Makanya bagi kepala daerah yang jujur, terbuka dan sadar bahwa APBD itu adalah milik rakyat, dia akan berusaha memberikan informasi seluas luasnya kepada publik soal APBD ini. Mengapa? , agar rakyat membantunya mengawasi. Itulah yang dilakukan Ahok ketika jadi Gubernur.

Nah apa yang saya suka dari pemerintahan Jokowi adalah sifat keterbukaannya. Itu bukan hanya saja sejak dia jadi walikota , gubernur tapi juga presiden. Saya suka cara kementrian keuangan yang memberikan informasi mengenai APBN dengan bahasa yang sederhana dan dilengkapi infographis yang mudah orang pahami. Kalau ingin tahu lebih detail, kita bisa klik situs APBN sejak dari perencanaan sampai kepada penganggaran. Berkat keterbukaan informasi APBN itu saya tidak sulit melakukan kritik dan mudah pula meluruskan opini negatif dari para oposisi yang tidak didukung data valid.

Tapi keteladanan Jokowi mengelola Anggaran di Pusat tidak ditiru oleh semua kepala Daerah. Ini bisa dimaklumi sebagai dampak dari hak otonomi Daerah. Tapi anehnya KPK yang bertugas melakukan pencegahan korupsi, yang pernah memuji sistem ebudgeting Ahok, malah tidak bersuara ketika Anies tidak melakukan azas keterbukaan APBD. Di sini saya sadar bahwa OTT KPK hanyalah pencitraan politik. Mengapa? di depan mata mereka ada sistem ebudgeting Ahok yang sudah baik dan dipuji sebagai cara efektif mencegah korupsi, eh malah dibiarkan diacak acak oleh Anies. KPK diam saja. Tapi bagi orang lain KPK itu bidadari cantik. Padahal bau ikan asin, sama dengan Anies. Padahal untuk menghindari fraud atau   White collar crime atas anggaran adalah keterbukaan. Mengapa ?

Mungkin sebagian anda mengenal istilah White collar crime atau Kejahatan kerah putih. Itu kejahatan yang dilakukan oleh orang berdasi dengan kemeja putih. Dia tidak menggunakan senjata atau pestol untuk melakukan kejahatan, tetapi menggunakan kepintaran dan jabatan formal nya untuk merampok. Hazel Croal yang pertama kali memperkenalkan istilah white collar crime dalam studinya tentang kejahatan yang dilakukan oleh mereka yang terlibat langsung dalam kepemimpinan, proses pengambil keputusan, sampai kepada mereka yang ikut ambil bagian dari proses itu, baik secara sendiri sendiri maupun kelompok. Ujungnya adalah merampok uang.

Untuk keluarnya anggaran proyek, harus ada rencana. Rencana harus dibuat secara akademis. Harus ada second opinion dari konsultan agar memastikan proyek itu objectif dan layak. Kemudian rencana itu harus dimintakan persetujuan dari kepala daerah. Kepala daerah tidak bisa membuat keputusan tanpa persetujuan dari DPRD. Dari sana pembahasan anggaran dilakukan dalam rangka check and balance. Setelah disetujui, proses terbuka dilakukan. Peserta tender, harus mengikuti syarat pra kualifikasi yang ketat. Pemenang tender adalah harga dan kualitas terbaik.

Secara prinsip anggaran tidak boleh keluar tanpa ada prestasi. Singkatnya Cash on delivery. Kalau mengharuskan DP maka harus ada counter jaminan. Cukup? belum. Sebelum dibayar, harus ada berita acara dari pihak terkait untuk memastikan proyek itu sudah selesai sesuai dengan standar procedur yang ditetapkan oleh peraturan dan UU yang berlaku. Nah bila semua sudah dipenuhi, maka keluarlah itu uang anggaran. Jadi sekilas memang tidak mudah untuk bisa merampok uang anggaran, atau menyalah gunakan anggaran. Proses dan prosedurnya sangat ketat.

Tetapi apakah benar bila semua prosedur dilalui , tidak ada korupsi ? Justru disinilah yang disebut oleh Hazel Croal terjadinya kejahatan kerah putih. Semua pihak terkait yang terlibat dari sejak perencanaan, proses pengambilan keputusan, proses pelaksanaan, proses pencairan, proses pengawasan, melakukan konspirasi atau persekongkolan dalam mekanisme TST ( Tahu sama tahu), untuk mencuri. Secara normatif semua berjalan sesuai mekanisme organisasi. Secara hukum tidak ada yang dilanggar. Karena didukung oleh dokumen yang legitimit. Tapi faktanya harga barang atau nilai proyak tidak rasional. Perampokan terjadi secara legal!

Ketika orde baru jatuh, indonesia menderita kerugian secara moneter yang sangat luar biasa. Karenanya indonesia terjebak dengan hutang yang gigantik yang sampai kini masih kita angsur tuh hutang. Tetapi apakah Soeharto di penjara. Apakah para menteri Orde Baru di penjara? Apakah anggota DPR/MPR yang mengesahkan APBN dan melegimate kekuasaan Soeharto dipenjara. Apakah Golkar yang menjadi partai pendukung Soeharto, dipenjara atau diubarkan? Apakah anggota BPK dipenjara? Tidak. Karena semua dilakukan secara legitimate dibawah UU dan peraturan. Walau faktanya kejatuhan Soeharto karena KKN.

Juga banyak hasil Audit BPK yang Wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion), toh akhirnya pejabatnya kena OTT KPK. Itu bukan berarti BPK tidak melakukan audit dengan benar, tetapi secara prosedur memang tidak ada yang salah. Terus kenapa sampai kena KPK? itu kejahatan personal , bukan kejahatan sistem. Nah selagi pejabat sangat ahli menjaga proses itu sesuai sistem dan smart menghindari OTT maka semua akan selalu baik baik saja. Walau faktanya 30% lebih anggaran raib entah kemana. Itulah yang terjadi dalam sistem negara kita, termasuk yang ada pada anggaran DKI di era Anies.

Lantas apa solusi untuk mengatasi kejahatan kerah putih ini? tahun 2000an ada diperkenalkan system Good Governance risk Management Compliance. Sebetulnya sistem ini sudah diterapkan Ahok di DKI. Tapi di era Anies diubah. Apa sistem ini ? Sistem ini tidak hanya melihat dari sisi procedural dan normatif saja tetapi juga berkaitan dengan moral, etika, yang dikunci melalui sistem IT. Caranya? Menyatukan e-planning , e-budgeting, e-procurement dalam satu sistem yang transfarance. Sehingga melalui Web, siapapun bisa melakukan audit terhadap suatu proyek. Itu yang terjadi di China ketika mereka masuk dalam sistem administrasi paperless dan e-goverment. Pencegahan korupsi terjadi secara sitematis.

Di China, pernah ada Kepala Daerah jatuh hanya karena ulah pemuda tamatan SMU yang bekerja sebagai pedagang kecil di distrik. Apa pasal? Pemuda itu menulis di blog bagaimana korupsi dana lingkungan hidup dilakukan secara sistematis oleh pejabat sehingga terjadi tanah longsor di desanya. Yang hebatnya pemuda itu, justru mendapatkan hak dan keadilannya karena dia dituduh menghina kepala daerah. Para nitizen meng copy tulisannya dan mem viralkan selama beberapa hari. Sehingga mengundang perhatian dari petinggi partai di tingkat Pusat. Pemuda itu bisa bebas dari tuntutan karena dia berani mempertanggung jawabkan data yang dia publis di media sosial.

Mengapa pembelaan pemuda itu tidak terbantahkan? Itu semua berkat adanya E-Goverment yang dapat diakses oleh rakyat luas. Dengan database E-planning Pemda, dia dapat mengetahui apakah program kerja kepala daerah itu sudah sesuai dengan rencana pemerintah pusat. Kemudian , dari e-Budgeting dia bisa mengetahui sejauh mana penggunaan anggaran itu efektif. Berdasarkan e-procurement , dia bisa tahu siapa saja yang mendapatkan jatah proyek dan berapa nilainya dan pantaskah ? Dari analisa menyeluruh , dia menyimpulkan bahwa kepala daerah membuat proyek tidak sesuai dengan rencana, dan penunjukan rekanan tidak tepat karena rekanan itu tidak qualified, juga harga kemahalan. Walau semua sudah dilakukan sesuai procedur dan tidak ada bukti legal korupsi tapi dampaknya bisa dirasakan oleh rakyat, yaitu kerusakan lingkungan dan bencana terjadi akibat adanya KKN.




No comments:

Masa depan IKN?

  Jokowi mengatakan bahwa IKN itu kehendak rakyat, bukan dirinya saja. Rakyat yang dimaksud adalah DPR sebagai wakil rakyat. Padahal itu ini...