KIANI.
Kalau kita bicara PT. Kiani Kertas maka nama nama Bob Hasan, Luhut Binsar Panjaitan, Prabowo Subianto , terakhir tentunya rezim Soeharto, tidak dapat dipisahkan. Mengapa ini harus saya tulis? Karena ini satu contoh bagaimana keserakahan itu tidak pernah habis habisnya menciptakan masalah dan itu dilakukan oleh mereka yang terpelajar dan dekat dengan kekuasaan. Kiani Kertas (KK) adalah perusahaan yang memproduksi bubur kertas, kertas dan papan serat berkepadatan menengah (Medium Density Fiberboard/MDF). Pabrik ini berlokasi di Kalimantan.
PT. Kiani Kertas ( KK) didirikan sebagai bagian dari strategy pak Harto untuk meningkatkan nilai tambah hasil hutan. Agar tidak lagi diekspor mentah tapi diolah menjadi produk jadi yang bernilai tinggi. Keputusan pembangunan pabrik dimulai tahun 1990, namun mulai dibangun tahun 1994. Untuk meningkatkan produksi bubur kertas dibutuhkan mesin-mesin baru. Untuk itu P.T. Kiani Kertas membutuhkan USD 930 juta atau atau kalau dikurs sekarang nilainya Rp 14 triliun. Hampir setengahnya, USD 410 juta US$ dibiayai oleh konsorsium bank, 4 diantaranya adalah BUMN dan 10 bank swasta. Lead Arranger adalah Bank Negara Indonesia (BNI), sebagai Co-Arranger adalah Bank Dagang Negara (BDN) dan Bank Umum Nasional (BUN). Tidak itu saja, KK juga menerima USD 410 juta dana reboisasi dari Pemerintah Indonesia dengan skema utang. Untuk memungkinkan mendapat kredit negara, Suharto mengeluarkan Keppres 93/96 pada tanggal 10 Desember 1996. KK juga dapat tax holiday semala 10 tahun. Itu semua terlaksana karena Bob Hasan adalah kroni Soeharto.
Tapi apa yang terjadi setelah proyek selesai dibangun? Pabrik itu tidak bisa mendapatkan bahan baku yang cukup. Mengapa ? PT. Kiani Lestari sebagai HTI yang diandalkan sebagai supply guarantee, kapasitasnya dibawah kebutuhan KK. Tahun 2003 penyediaan kayu macet total dan KK menghentikan produksinya untuk jangka waktu setengah tahun karena kekurangan bahan baku. Sebelumnya KK dan Kiani lestari sudah dalam kondisi diserahkan oleh Bob Hasan kepada BPPN karena tak mampu bayar utang bank sebesar Rp. 49,3 Triliun. Anda bisa bayangkan proyek senilai USD 930 juta tanpa perencanaan yang baik. Tentu motive nya bukan untuk bisnis tapi menjarah.
Ketika Era Megawati sebagai Wapres, Taufik Kemas menugaskan Luhut Binsar Panjaitan ( LBP) untuk mencarikan solusi atas masalah KK dan Kiani Lestari. Karena proyek ini dalam jangka panjang sangat strategis dan juga masalah utang yang harus diselesaikan agar negara tidak terlalu besar dirugikan. LBP menggandeng Hashim Djojohadikusumo untuk mengambil alih KK dan Kiani lestari. Hashim menempatkan Prabowo sebagai orang yang terlibat secara tidak langsung dalam proses pengambil alihan ini. Skema yang dipakai dalam pengambil alihan ini adalah LBO ( Leverage buyouts ) atau ambil alih perusahaan tidak menggunakan uang sendiri tapi pakai uang bank.
Aksi yan dilakukan adalah mengambil alih hutang KK di BNI dengan menarik hutang dari Bank Mandiri. Aksi ini dilakukan atas nama P.T. Anugra Cipta Investa dengan menunjuk pemegang saham dan direktur nominee ( boneka). Setelah selesai proses LBO, PT Anugra Cipta Invstas melakukan trasfer right ke PT. Energi Nusantara yang tidak terlibat sama sekali secara hukum dalam aksi pengambil alihan. Rencananya KK dan Kiani akan di refinancing melalui pelepasan saham kepada pihak jepang. Yang sudah berminat ketika itu Marubeni dan Mitsubishi trading. Dari sini akan dapat melunasi hutang ke Bank Mandiri dan juga untung besar dalam bentuk capital gain.
Yang jadi masalah transaksi LBO P.T. Anugra Cipta Investa dengan Bank Mandiri menggunakan collateral dalam bentuk SBLC dari BNP Paribas. Bank Mandiri tahu bahwa SBLC itu tidak bisa di cairkan. Itu hanya sebagai credit enhancement. Kalau SBLC itu dijadikan collateral utama maka akan mempengarui rasio CAR dan 3L Bank Mandiri di BI. Makanya Bank Mandiri tidak menggunakan skema loan tapi hanya bertindak sebagai channeling bank melalui bank di Singapore. Artinya Bank Mandiri meng- transfer SBLC itu ke bank lain dan memberikan stop loss guarantee atas SBLC itu. Dengan demikian resiko ada pada Bank Mandiri bukan BNP Paribas sebagai bank penerbit. Sepintas transaksi ini aman dan tidak diketahui oleh BI. Aman bagi Mandiri karena setelah perusahaan diambil alih akan segera di jual ke jepan dan hasil penjualan itu untuk bayar hutang ke bank di singapore. Pejabat otoritas ketika itu hanya tahu bahwa Hashim dan Prabowo memang kaya raya.
Tapi apa yang terjadi kemudian ? Janji Kiani akan dijual kepada Jepang tidak dilaksanakan oleh Hashim. Ini sama saja meniupkan angin tornado ke Bank Mandiri yang teracam harus membayar hutang ke Bank di Singapore karena SBLC sebagai collateral dipastikan default akhir tahun. Ketika itu Dirut Kiani adalah LBP. Melihat situasi ini LBP sadar bahwa PS dan Hashim tidak komit. Dia mengundurkan diri sebagai Dirut. Benarlah, setahun kemudian, ada tagihan antar bank ke bank Mandiri dan BI menyatakan posisi transaksi antar bank itu adalah potential loss. BI langsung mendebit rekening Bank Mandiri di BI untuk melunasi komitmen ke bank di Singapore. Dampaknya Dirut Mandiri masuk penjara dan beberapa direksi diberhentikan.
Nama Hashim dan Prabowo bersih dari hukum pidana atas kasus default itu. Karena yang melakukan perikatan hukum adalah PT. Anugra Cipta Investa dimana baik Hashim maunpun Prabowo tidak ada namanya di perusahaan itu. Mengapa PT. Energi Nusantara tidak melaksanakan skenario melepas saham ke jepang agar dapat bayar hutang PT. Anugra Cipta Investa dan menyelamatkan Bank Mandiri dari default dengan bank di singapore ? Kita tidak tahu. Yang jelas ada pihak jadi korban dan ada pihak yang berpesta dari transaksi ini. Dan hebatnya walau belakangan Kiani menghadapi kesulitan likuiditas dan banyak PHK yang sempat demo karena belum dibayar pesangon, PT. Energi Nusantara sebagai pemilik Kiani bisa melepas sahamnya kepada JP Morgan & Co dan Mr. Lauw dari Singapur dengan nilai transaksi 200 juta US$ dan juga dapat tambahan untuk melunasi hutang pada bank. Siapapun otak dibalik transaksi ini memang hebat. Kaya raya tanpa keluar modal dengan mengorbankan pihak lain tanpa ada perasaan berdosa.
TPPI
Januari 2018 ada berita besar tentang Honggo Wendratno (HW) yang hilang begitu saja. Padahal tadinya dia aman saja di Singapore walau kasus dia termasuk mega skandal di era SBY, Gus Dur, Megawati , kemudian SBY. Ya sebabnya karena tidak ada perintah pengadilan memastikan dia tersangka. Saya ingin jelaskan kepada anda agar bisa objectif atas berita yang beredar. Setidaknya tidak menjadikan PS sebagai sasaran fitnah. Bagaimanapun soal bisnis. Prabowo bukan tipe pebisnis yang menguasai permainan canggih merampok negara. Dalam hal bisnis PS termasuk orang yang lugu. Nah siapa yang bermain itu?
Kasus seputar HW berkaitan dengan Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI). Ceritanya begini. TPPI didirikan tahun 1995 Hashim Djojohadikusumo, bersama dengan Njoo Kok Kiong alias Al Njoo dan Honggo Wendratno, dengan komposisi saham: Hashim Djojohadikusumo 50% di TPPI, sisanya dimiliki oleh Al Njoo dan Honggo. TPPI ini mendirikan proyek pusat petrokimia yang dananya dari bank milik Hashim sendiri. Ketika terjadi kasus KLBI , Bank Hashim termasuk yang ditutup, dan Hashim harus bertanggung jawab. Tahun 1998 Hashim menyerahkan seluruh saham milik di TPPI kepada BPPN.
Kemudian Pemerintah membentuk Tuban Petro sebagai holding untuk membawahi 3 perusahaan milik Hashim Djojohadikusumo, yang salah satunya TPPI. Struktur saham TPPI menjadi Turban Petro (59%), Pertamina (15%) dan sisanya oleh kreditur asing. Di Tuban Petro Holding ada saham pemerintah sebesar 70% dan sisanya perwakilan pemilik lama, Honggo Wendratno. Tetapi hebatnya Hashim tidak begitu ikhlas assetnya diambil pemerintah. Makanya HW yang merupakan orang kepercayaannya di tempatkan di Tuban dengan menguasai sebagian kecil saham.Uang pembelian saham itu berasal dari utang kepada Bank Century yang akhirnya macet.
Hashim bertekad untuk membeli balik asset tersebut melalui BPPN, tapi pemerintah tak bersedia bernegoisasi dengan dirinya. Karena secara formal pemilik lama dilarang melakukan pembelian ulang. Tetapi HW yang telah ada didalam PT Tuban bersama pemerintah selalu menghambat setiap upaya konversi saham Tuban Petro atas TPPI. Karena HW berjanji akan melunasi hutang TPPI Rp 17,8 triliun termasuk Rp 6,6 triliun utang kepada Pertamina, Rp 1,54 triliun kepada Perusahan Pengelola Aset qq Menteri Keuangan, dan Rp 1, 35 triliun kepada BP Migas. Sehingga proses pengambil alihan TPPI tidak pernah settle.
Di era SBY, karena posisi HW ada di dalam Tuban holding yang bermitra dengan pemeritnah, dengan mudah dia mendapatkan kontrak Tahun 2009, SKK Migas melakukan proses penunjukan langsung penjualan kondensat bagian negara kepada PT TPPI. Ini jelas melanggar procedure. Karena tidak melalui ketentuan yakni Keputusan Kepala BP Migas Nomor KPTS-20/BP0000/2003-SO tentang Pedoman Tata Kerja Penunjukan Penjual Minyak Mentah atau Kondensat Bagian Negara dan Keputusan Kepala BP Migas Nomor KPTS-24/BP00000/2003-SO tentang Pembentukan Tim Penunjukan Penjual Minyak Mentah atau Kondensat Bagian Negara.
Sebetulnya kontrak ini untuk kerjasama memproduksi BBM untuk dijual kepada Pertamina, tetapi PT TPPI mengolah menjadi LPG. Hasil penjualan tidak pernah disetor ke kas negara, tetapi dianggap sebagai pelunasan hutang TPPI kepada Pertamina dengan harga mark up. Hebat ya. Negara punya tagihan dibayar pakai barangnya sendiri dengan harga mark up. Selama 10 tahun, Pertamina sudah merugi 22 triliun. Itu karena kedekatan HW dengan Hatta Rajasa dan Murez, yang menempatkan Amir Sambodo, sebagai direktur Tuban Holding.
Sebetulnya HW orang baik. Dia tidak ahli soal pat -gulipat. Apalagi sampai mampu merekayasa utang dan ngemplang. Dia bukan tipe orang seperti itu. Yang jelas hutangnya di Bank Century tidak tersentuh hukum. Kasus seputar TPPI hanya dikenakan pasal 3 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang sulit dibuktikan karena kita belum punya UU pembuktian terbalik. Bertahun tahun dia aman saja tinggal di Singapore. Teman saya ketemu dia di Singapore, Gaya hidupnya sederhana. Engga keliatan dia sebagai buronan puluhan triliun. Kasus ini mencuat kembali tahun 2015 di era Jokowi tetapi hilang begitu saja prosesnya. Nah sekarang HW kabur tanpa diketahui dimana dia berada. Tahun ini tahun politik, yang tahu pasti kasus ini bukanlah HW. Tetapi the man behind the gun. Mungkinkah ? Yang jelas mereka yang berada diputaran TPPI ini adalah HW dan Hashim ,Hatta Rajasa dan Murez, Amir Sambodo, sebagai direktur Tuban Holding dan juga JK.
***
No comments:
Post a Comment