Wednesday, September 12, 2018

Belajar dari krisis Negara lain


Turki, Argentina dan Pakistan.

Sejak kejatuhan Lehman 2008, krisis moneter global berdentang di jantung kapitalis. Ini glombang tsunami yang baru sampai dinegara berkembang lima tahun kemudian , yaitu tepatnya tahun 2013. Indonesia, Turki, Argentina, merupakan anggota emerging market masuk dalam putaran gelombang tsunami itu. Dimana terjadi eksodus dana jangka pendek bermata uang dollar AS dari negara emerging market ke Amrik. Tentu itu dipicu oleh hukum permintaan dan penawaran. Dimana AS menaikan suku bunga yang otomatis investor memindahkan dananya kembali ke AS. Jadi ini motif profit taking yang alamiah. Saya akan membahas kejatuhan Turki, Argentina, Pakistan. Ketiga negara ini sudah masuk kelubang krisis. Sementara untuk Thailand, Philipina dan Malaysia sedang berjuang keluar dari krisisis. Akan saya bahas pada postingan ke 2. Mengenai Indonesia akan aya bahas disetiap akhir tulisan.
.
Jebakan hutang 
Ketika likuiditas Dollar melimpah masuk ke Turki, Argentina, Pakistan, mereka memanfaatkan kesempatan ini dengan baik untuk memacu pertumbuhan ekonominya. Memang berhasil meningkatkan pertumbuhan ekpnomi diatas 7%, Sektor usaha berkembang pesat. Namun ada kesalahan yang prinsipil dari adanya likuiditas yang melimpah itu. Apa ? Likuiditas itu tidak didapat dari kelebihan atau surplus tabungan pemerintah. Tetapi diambil dari utang. Nah cara narik utang inilah biang masalah dikemudian hari. Gimana caranya ? Turki dan Argentina , Pakisan berbeda cara narik utangnya. Mari kita lihat style masing masing negara.

Turki.
Rasio utang pemerintah terhadap Pendapatan domestik Bruto tahun 2018 hanya 28%. Jadi tidak jauh dari Indonesia. Pertumbuhan ekonomi 7%. Tetapi kenapa mata uang Turki jatuh ? Walau utang pemerintah relatif aman. Tetapi pemerintah juga memberikan kelonggaran kepada perbankan sebagai guarantor utang luar negeri. Mengapa ? agar suku bunga bisa dikendalikan pemerintah menjadi rendah. Tentu tujuannya agar swasta efisien. Tetapi karena utang itu sebagian besar berjangka pendek maka ketika terjadi arus balik dollar ke Amrik, swasta tidak bisa membayar karena proyeknya belum menghasilkan laba untuk mengembalikan investasi. Otomatis , Perbankan sebagai guarantor harus membayarnya. Kalau perbankan tidak bisa membayar maka pemerintah harus bailout. Sementara kas pemerntah tidak cukup uang untuk membayar.

Argentina. 
Rasio utang Argentina terhadap PDB sebesar 60%. Ini sudah lampu merah. Yang jadi masalah adalah sebagian besar utang itu bermata uang asing terutama USD. Skema hutang Argentina adalah pemerintah menarik utang kepada asing dan pada waktu bersamaan mensuplai uang ke perbankan untuk ekspansi kredit dunia usaha. Ketika terjadi arus balik uang ke AS maka pemerintah tidak mampu membayar utang tersebut. Karena pertumbuhan ekonomi stuck akibat jatuhnya komoditas utama Argentina. Defisit perdagangan semakin melebar sehingga cadangan devisa ikut tergerus untuk menyediakan valas dalam rangka membayar utang luar negeri. Sampai akhirnya , pemerintah tidak bisa lagi terus membayar. Terpaksa lempar handuk putih kepada IMF untuk dapatkan bantuan.

Pakistan
Rasio utang terhadap GDP sebesar 67%. Ini udah dalam posisi insolvent. Kasus Pakistan sama dengan Argentina,dimana pemerintah menarik utang yang sebagian besar dari China untuk membiayai APBN nya. Ketika utang jatuh tempo , mereka tidak bisa membayar. Karena banyak proyek BUMN yang dibangun belum menghasilkan laba. Padahal utang BUMN dijamin oleh pemerintah. Sumber penerimaan pajak drop karena dilanda dampak krisis global. Bagaimanapun pemerintah harus bailout utang tersebut.

Dampaknya terhadap Turki , Argentina dan Paskistan atas utang tersebut adala sama. Yaitu jatuhnya kurs mata uang. Ini bukan lagi fluktutasi tetapi sudah falling down. Maka apa yang terjadi ? para investor langsung menyesuaikan kurs mata uang mereka terhadap kemampuan mereka membayar utang. Artinya kalau uang lokal ditangan mereka sebesar 100 namun dollar hanya tersedia 60% maka nilai mata uangnya terjun sebesar 40%. Jadi kejatuhan Turki, Argentian, Pakistan tak lebih adalah jebakan utang. Belakangan turki dapat dana bailout dari Qatar tetapi ini tidak solusi menyeluruh. Hanya jangka pendek. Pakistan dapat solusi dari China lewat swap hutang dengan kontrak PPP berjangka waktu 100 tahun. Argentina sedang minta bantuan IMF.

Apa yang terjadi terhadap Turki, Argentina dan Pakistan, tidak akan terjadi di Indonesia. Mengapa ? Indonesia melarang perbankan memberikan jaminan utang luar negeri kepada dunia usaha. Pemerintah tidak lagi menerapkan aturan bailout seperti tahun 1998 ketika terjadi krisimon. Jadi kalau perbankan menilai proyek itu layak maka dia harus menggunakan sumber dana pihak ketiga yang dia pooling dari publik. Dana pihak ketiga ini bersifat likuiditas yang lancar sehingga sesuai dengan prinsip risk management yang diatur oleh Bank International for settlement. Bagaimana kalau sampai bank gagal bayar dana pihak ketiga? itu resiko ditanggung oleh LPS ( Lembaga Penjaminan Simpanan). Tidak ada lagi bailout negara.

Utang BUMN tidak dijamin sepenuhnya oleh Pemerintah. Maksimum yang dijamin hanya sebesar 6% dari PDB. 94% proyek BUMN merupakan proyek B2B dimana yang dijaminkan adalah konsesi bisnis bukan asset BUMN. Itupun untuk proyek strategis nasional. Sementara Utang pemerintah 60% bermata uang rupiah. Rasio utang masih dibawah 30%. Itupun utang yang berkaitan dengan fiskal, bukan belanja. Artinya return nya jelas dan terukur. Jadi kalau terjadi arus balik dana keluar tidak berdampak significant terhadap lkuiditas valas. Makanya rating surat utang kita sangat baik dimata investor.

Utang dan Politik.
Mengapa Turki, Argentina dan Pakistan tidak bisa menerapkan kebijakan seperti Indonesia ? karena ini berhubungan dengan Politik. Dengan skema utang seperti Turki, Argentina dan Pakistan, memungkinkan pemerintah menjadi undertaker utang secara nasional dan tentu pemerintah sangat powerfull mengontrol politik. Maklum politik kan pada akhirnya bagi bagi kue. Utang adalah financial resource. Kekuasaan menjadi magnit bagi para elite politik untuk menyembah dan loyal kepada penguasa. Oligarki politik melahirkan oligargi bisnis rente yang memberikan keuntungan kepada segelintir orang. Jadi resiko utang tak lebih akibat resiko politik yang korup.

Di era Jokowi, utang berhubungan dengan oligarki politik untuk kepentingan oligarki bisnis, tidak ada lagi. Sudah di removed. Pemerintah hanya memberikan peluang investasi dan bisnis. Pembiayaannya sebagian besar (70%) diserahkan kepada dunia usaha. Kalau sumber pembiayaan itu berasal dari utang maka resiko dikembalikan kepada dunia usaha ( swasta nasional maupun asing ). Skema ni memang menuntut profesionalitas dunia usaha dan kesediaan menerapkan good governance. Kalau engga mana ada kreditur mau kasih uang. Apalagi tanpa jaminan pemerintah. Jadi pengusaha yang andalkan akses politik biar dapat kredit bank, udah engga laku lagi. Akses uang ya reputasi bisnis, pure business.

Namun skema era Jokowi ini memang tidak populer bagi politisi yang terbiasa menikmati rente bisnis dari oligarki politik. Makanya mereka yang tidak ingin Jokowi berkuasa lagi, adalah mereka yang inginkan kekuasaan bisa menjadi pesta tanpa jeda lewat skema utang seraya memberikan secuil kepada rakyat lewat subsidi dan resiko diserahkan pada rakyat kini atau besok.

Thailand
Sebelum krisis moneter yang melanda ASIA ditahun 1998, pertumbuhan ekonomi Thailand mencapai rata rata diatas 7%, bahkan bisa mencapai 9,8%. Thailand mendapatkan kucuran dana dari AS, karenanya sebagian besar produk Thailand di ekspor ke AS. Ekonomi Thailand ketika itu sangat bergantung kepada Ekspor, yaitu 60% PDB. Kucuran dana bantuan dari AS dan Jepang tersebut digunakan secara luas untuk membangun infrastruktur ekonomi. Agar ekonomi yang bertumpu kepada sektor pertanian dapat efisien menjual ke luar negeri. Jadi sepertinya Thailand by design memang di persiapkan dengan baik oleh AS untuk menjadi sumber pangan. Namun ekspor dari sektor pertanian ini tidak begitu besar volumenya dalam valas. Tdak sebesar ekspor MIGAS. Jadi ekspansi yang dibiayai utang itu kalah cepat dengan kemampuan membayar utang.

Mengapa ? Rasio utang terhadap PDB naik dari 100% menjadi 167% di empat negara ASEAN termasuk Indonesia. Pada tahun 1993–96, lalu melonjak hingga 180% pada masa-masa terparah dalam krisis ini. Tahun 1997, Thailand menetapkan kurs mengambang terhadap Baht karena cadangan baht di bank central Thailand tidak tersedia cukup lagi untuk melayani permintaan akan dollar. Sejak Baht dilepas dipasar, cepat sekali terjadi perubahan kurs. Bahkan bisa dikatakan terjun bebas. Efek kejatuhan baht ini berdampak sistemik terhadap ekonomi ASIA TIMUR.  Pasar uang global bereaksi keras terutama para pemain hedge fund memanfaatkan kerapuhan mata uang ASEAN ini untuk take advantage. Kurs pun berjatuhan. Krisis moneter melanda empat negara ASEAN dan Korea.

Hampir semua negara ASEAN yang kena krisis termasuk Korea karena peran negara yang begitu besar sebagai financial resource lewat berhutang. Hanya Thailand dan Korea lebih beruntung , bahwa utang itu sebagian besar memang digunakan untuk pembangunan innsfrastruktur. Jadi secara fundamental ekonomi mereka masih bagus. Hanya struktur APBN nya yang tidak sehat dimana komponen hutang sangat besar dan rasio GINI melebar sebagai dampak dari politik kekuasaan yang bertumpu kepada utang. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Itu juga terjadi pada indonesia. Paska krisis, Thailand bisa melewatinya dengan baik dibawah kepemimpinan Thaksin Shinawatra yang naik sebagai PM tahun 2001.

Thaksin adalah alumni Eastern Kentucky University AS,  S2 Criminal Justice dan Sam Houston State University (S3). Thaksin yang berlatar belakang sebagai pengusaha,tahu betul bagaimana melakukan reorientasi ekonomi Thailand. Dia focus bagaimana mengembangkan kemampuan ekonomi domestik. Bagaimana caranya ?  Dalam upaya mengakhiri krisis mata uang tahun 1997, Thailand sejak awal telah berupaya meningkatkan ekspornya. Pertumbuhan ekspor tahun 2002 Thailand tercatat sudah mengalami kenaikan sebesar 2,8%. Agar sektor UKM bisa menjadi penopang kekuatan domestik, Thailand membentuk BUMN nirlaba yang bertugas membeli produksi dalam negeri dan kemudian di distribusikan kepada retail tradisional dengan harga subsidi. Bank central Thailand memberikan program kredit bagi UKM retail tradisional yang mau meningkatkan usahanya. Otomatis sektor tradisional bergairah tumbuh pesat menjadi jaring pengaman paska krisis.

Thaksin juga tidak takut membuat defisit anggaran samakin melebar agar negara lebih besar kemampuan melakukan ekspansi. Anggaran defisit pemerintahan Thailand pada tahun 2002 sekitar 3,4%, sengaja ditingkatkan dari 0,8% pada tahun 2001. Tetapi kebijakan ekspansif sektor fiskal itu tidak untuk belanja konsumsi tetapi untuk barang modal (infrastruktur ) yang banyak menyerap angkatan kerja. Sehingga memungkinkan permintaan domestik meningkat. Penganguran berkurang dan daya beli domestik meningkat. Selama 5 tahun atau periode pertama kekuasaan Thaksin, pendapatan rakyat meningkat, terutama petani dan UKM. Pada masa itu juga Thailand mampu membayar lunas utangnya sebesar 17 miliar USD ke IMF.

Tetapi model pembangunan Thaksin yang pro kepada rakyat dan sektor real ternyata tidak membuat elite politik happy. Thaksin merusak oligarki politik dalam bidang ekonomi. Thaksin juga membabat birokrasi yang dinilai menjadi penghambat kemajuan ekonomi dan bisnis. Pemerintahan Thaksin menganggarkan sedikitnya 10 miliar baht untuk membiayai program reformasi birokrasi, dengan mengurangi 5 persen dari jumlah pegawai negeri yang mencapai 1,7 juta orang. Bisnis  non tradeble dipangkas. Dampaknya semakin mengecilnya rasio GINI. Namun tahun 2005 laju ekonomi Thailand kemudian melambat. Harga BBM yang naik meningkatkan inflasi dan suku bunga. Tahun 2006 ekonomi Thailand mencatat pertumbuhan sekitar 4,2% tidak jauh berbeda dengan 4,5% pada tahun 2005. 

Pertumbuhan ini adalah yang paling lambat dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Momentum ini digunakan oleh elite politik Thailand untuk menjatuhkan Thaksin. Apalagi kalau bukan issue asing yang digunakan oleh Elite politik menjatuhkan Thaksin.  Kebetulan dalam rangka meningkatkan ekonomi non utang lewat investasi asing secara langsung, Thaksin membuat kebijakan Asing boleh menguasai saham dari tadinya 25% menjadi 49%.  Sejak tahun 2005-2006, issue investasi asing terus digoreng oleh oposisi. Sehingga menimbulkan aksi demontrasi besar besaran dengan tuntutan agar Thaksin mundur. Pada tanggal 19 September 2006, Dewan Reformasi Demokrasi mengumumkan pengambil-alihan kekuasaan dari tangan PM Thaksin Shinawatra. Suksesnya menjatuhkan Thaksin karena pihak oposisi didukung oleh militer. Padahal ketika itu Thaksin baru saja unggul dalam pemilu periode kedua kekuasaannya.

Setelah Thaksin jatuh, maka ekonomi Thailand kembali kepada lebih besar porsi non trandeable nya. Rasio GINI melebar. Pertumbuhan ekonomi terus merosot yang berdampak semakin rendahnya kapasitas nasional menyediakan lapangan kerja dan pengurangan kemiskinan. Tahun 2006 pertumbuhan ekonomi masih 5 % namun empat tahun kemudian atau tahun 2009 tinggal -0,7%. Tahun 2010 sempat naik sebesar 7,2% karena likuiditas murah dari the Fed. Tetapi tahun 2011 drop lagi menjadi 0,8%. Tahun 2012 naik lagi karena kebijakan QE AS yang mensuplai uang ke emerging market. Tahun 2013-2017 rata pertumbuhan hanya 3%. Itu lebih dipicu oleh sektor manufaktur yang berorientasi ekspor. Sementara konsumsi domestik stuck dan agak tertolong karena bisnis pariwista yang tumbuh autopilot.

Utang pemerintah terhadap PDB sebesar 41% (2017)  Kalau termasuk utang swasta tentu lebih besar lagi, bahkan mencapai 60% dari PDB. Bandingkan dengan  Indonesia yang penduduknya 4 kali thailand rasio utang hanya 30% dari PDB. Itu sebabnya sangat sulit bagi Thailand untuk bertahan terus dengan jebakan utang yang begitu besar sementara pertumbuhan ekonomi dibawah 3% setiap tahun. Golongan intelektual di kota Bangkok dan kaum pengusaha yang tadinya mendukung tindakan kudeta junta militer terhadap pemerintahan PM Thaksin tanggal 19 September 2006 mulai kecewa. Issue nasionalisme menjatuhkan Thaksin ternyata tidak membuat Thailand lebih hebat. Bahkan terpuruk. 

Ini pelajaran mahal bagi Indonesia. Pilihlah pemimpin yang tulus namun cerdas mengelola ekonomi ditengah arus globalisasi dan tahu menjaga kepentingan domestik. Dan itu saya lihat hanya pada Jokowi. Bukan retorika tetapi track record nya membuktikan itu. Sekali kita salah memilih pemimpin yang kemaruk harta maka anak cucu kita yang harus membayarnya dan kita ikut bertanggung jawab atas kemunduran ekonomi dan kegagalan mencapai keadilan sosial bagi semua.

Malaysia.
Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam, adalah tiga negara yang memperoleh kemerdekaan dari Inggris secara damai. Tidak ada revolusi, tidak ada perubahan struktural birokrasi. Birokrasi pemerintahan berjalan dengan tertib, aman dan damai. Meskipun secara politik diliputi oleh suasana autokrasi yang ketat, ketiga negara berkembang dalam sistem birokrasi dan pengawasan yang terkendali. Selama 40 tahun tercapai tingkat kemakmuran rata rata yang demikian tinggi sehingga tidak pernah terjadi gejolak politik yang berarti. Pada 1961, empat tahun setelah kemerdekaan, Perdana Menteri Malaysia Tunku Abdur Rahman membentuk Negara Persekutuan Malaysia, yang terdiri atas: Semenanjung Malaya, Sabah, Serawak dan Singapura. Empat tahun setelah itu di bawah tekanan Presiden Sukarno, Singapura melepaskan diri dari Malaysia dan menjadi negara republik yang berdiri sendiri.

Malaysia yang kemudian hanya terdiri dari Malaysia Semenanjung plus Sabah dan Serawak, bersatu di bawah kepemimpinan Tunku Abdul Rahman yang segera setelah pemisahan ini mendirikan Partai UMNO (United Malay National Organization) sebagai kendaraan politiknya. Tatkala Mahathir memimpin pemerintahan (1978- 2004) Pertumbuhan ekonomi tahunan mencapai tujuh persen, praktis telah melewati masa krisis moneter 1997, sementara banyak negara di Asia belum bisa pulih sepenuhnya. Infrastruktur transportasi, komunikasi darat, laut, udara telah selesai dibangun. Pusat tenaga listrik telah siap memasuki era industrialisasi yang sudah diambang pintu. Income per capitarata-rata mencapai US$7.000 per tahun. Bahkan negara bagian Johor telah mencapai US$20.000, sama dengan beberapa negara Eropa. Tingkat pengangguran nol persen. Malaysia harus terpaksa mengimpor jutaan tenaga kerja asing dari berbagai negara Asia, termasuk Indonesia.

Pada 1980, Malaysia mengirim 500 ribu siswa tamat SMA untuk melanjutkan pelajaran di berbagai universitas di Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan negara lain, sepenuhnya ditanggung negara. Tenaga lulusan luar negeri yang banyak itu lalu menjadi tulang punggung pembangunan ekonomi Malaysia. Putra Jaya The Cyber City yang menjadi semacam Silicon Valley-nya Malaysia telah selesai dibangun. Di kawasan ini terdapat pusat kegiatan pemerintah serta pusat pengendalian komputer dan cyber space yang terbentang di segenap kota besar Malaysia. Perusahaan minyak Petronas, yang dulu dibantu Pertamina di era mahathir telah menjadi perusahaan minyak raksasa yang membangun kilang minyak diberbagai tempat dan berinvestasi di 40 negara. Jauh mengungguli Pertamina yang makin terseok-seok.

Kini ? Menteri Keuangan Malaysia Lim Guang Eng dalam konferensi pers menjelaskan saat ini total utang Malaysia tercatat 1.087 triliun ringgit pada 31 Desember 2017. Jumlah ini sama dengan 80,3% dari produk domestik bruto (PDB) Malaysia ( bandingkan dengan Indonesia hanya 30% dari PDB). Padahal pada era awal Perdana Menteri Najib Rajak, utang hanya 685 miliar ringgit. Dan ketika terakhir Mahathir mundur kekuasaan , utang hanya 300 miliar ringgit. Hanya 13 tahun setela Mahathir undur diri dari kekuasaan, ekonomi Malaysia masuk jebakan utang. Pertumbuhan ekonomi dibawah 5%. Yang lebih rumit untuk diselesaikan adalah utang tersebut sebagian besar untuk subsidi. Sementara ketergantungan ekonomi Malaysia terhadap MIGAS seperlimanya terhadap PDB. Ketika harga minyak, jatuh akan semakin sulit bagi Malaysia untuk recovery dari jebakan utang.

Walau Mahathir terpaksa tampil kembali ke panggung Politik karena panggilan moral menyelamatkan ekonomi Malaysia, namun keadaannya tidak mudah. Karena ongkos APBN sudah terlanjur besar. Najib selama kekuasaannya menina bobokan rakyat lewat pertumbuhan falsu dengan memacu konsumsi domestik tetapi itu dibiayai dari utang. Bagaimana solusi dari Mahathir ? dia berjanji akan memberlakukan kembali subsidi bahan bakar sebagai salah satu upaya menekan meningkatnya biaya hidup. Namun, kebijakan keuangan Mahathir ini bakal memperbesar defisit anggaran jika tanpa kebijakan yang mengimbangi. Mahathir lebih mengutamakan menyelesaikan jebakan utang kepada China sebesar USD 20 billion, Padahal proyek ini berkaitan dengan infrastruktur ekonomi. Namun keliatannya Mahathir perlu mendapatkan simpati kaum Melayu yang anti China.

Dulu tahun 1978 adalah Mahathir muda. Tetapi keadaan kini udah berbeda. Mahathir tidak muda lagi. Anggaran sudah terlanjur membesar. Mental politik Mahathir tidak seperti waktu masih muda yang dikenal keras dan raja tega. Kini dia malah larut dengan mental melankolis dan populis. Seharusnya belajar dari Jokowi bagaimana menyelamatkan ekonomi. Orientasi ekonomi harus dilakukan dan pada waktu bersamaan reformasi anggaran dilaksanakan walau karena itu akan dihujat rakyat dan tidak disukai elite politik. Malaysia kedepan sedang melalui trakdirnya karena salah memilih pemimpin seperti seorang Najib. Harganya yang tidak murah yang harus dibayar oleh generasi kini.

Singapore
Saya pernah makan malam dengan eksekutif salah satu perusahaan sekuritas. Dia bercerita bahwa ada salah satu perusahaan di Singapore yang mempunyai beberapa franchise makanan dan minuman menawarkan untuk kerjasama. Padahal beberapa tahun lalu dia berusaha membujuk perusahan itu untuk masuk ke Indonesia untuk bermitra dengan clients nya tapi tidak tertarik. Tapi sekarang perusahaan itu sangat antusias untuk masuk ke Indonesia. Apa alasannya ? ekonomi singapore semakin suram dan daya beli semakin turun. Apalagi utang Singapore sekarang sudah diatas PDB nya atau sebesar 110% dari PDB. Secara akuntasi Singapore sudah insolvent. Pertumbuhan ekonomi melambat dibawah 3%.

Ekonom bisa saja membuat analisa data statistik dan menyimpulkannya atas dasar keilmuannya. Tapi pemegang merek franchise khususnya makanan dan minuman, tidak pernah salah menentukan data market. Mau tau kurs sebenarnya mata uang, liatlah harga minuman di Starbucks dan harga ayam di Mc Donald. Mengapa? Karena mereka mencatat dengan rapi real market setiap hari. Walau indikatornya kelas menengah namun sebetulnya itulah real indikator ekonomi. Yang mengggerakan ekonomi suatu negara ya kelas menengah. Jadi kalau banyak perusahaan franchise makanan masuk ke Indonsia itu artinya indikator ekonomi Indonesia kuat.

Masalah singapore sebetulnya bukan saja karena semakin restriksinya china terhadap bisnis jasa yang di tawarkan singapore tapi juga karena kebijakan tax amnesty dari Indonesia yang tadinya di sikapi sebelah mata, tapi ternyata jadi bagaikan angin tornado. Beberapa teman merasakan betapa sulitnya melakukan cross border transfer diatas USD 500,000 dari Singapore. Padahal dulu yang membuat Singapore menjadi sorga bagi orang kaya karena kebebasan transfer. Tapi dengan adanya restriksi ( masuk katagori suspicions transaction reports/ STR ) yang di picu oleh rasa kawatir berlebihan itu , menjadi bola salju, semakin membesar dan rumor beredar dimana mana bahwa cadangan devisa singapore tidak sebesarnya yang di beritakan.

Kini walau belum bisa di katakan rush tapi kecenderungan itu semakin terasa. Beberapa fund manager mengatakan memang ada kekawatiran dari clients nya untuk pindahkan dana dari singapore. Ini pelajaran mahal dari Singapore. Seharusnya Singapore tetap tenang. Berapapun orang mau pindahkan uangnya tidak perlu di sikapi berlebihan. Kekuatan dan citra singapore sebagai financial center kelas dunia harus di pertahankan, dan salah satunya menjamin kemudahan pemindahan dana termasuk orang indonesia yang mau pindahkan uangnya ke Indonesia. Kini Singapore mengandalkan pendapatan dari jasa wisata yang bertumpu kepada Casino. Ya Macao kecil di ASEAN.


Ingat kata supir taksi di Singapore " Because God sent a great person to be president in Indonesia. Now Singapore leaders are aware that they are not smart enough..

No comments:

ERA Jokowi, dari 16 target yang tercapai hanya 2

  Realisasi kuartal III-2024, ekonomi nasional tumbuh 4,95%. Konsumsi rumah tangga sebagai pemberi andil terbesar hanya mampu tumbuh 4,91%. ...