Sunday, April 24, 2016

Kerakusan.

Tahun 80 an ada film yang berjudul Wall street. Film ini diangkat dari berbagai sumber kisah nyata, kisah insider trading, tokoh raksasa kejam semacam Gecko yang hanya peduli meraup uang besar dalam waktu singkat, dan juga intrik pasar saham semuanya memang ada. Karakter Gecko sendiri konon dibuat untuk menggambarkan tokoh semacam Carl Icahn, Ivan Boesky, Michael Milken, dan lain lainnya. Pemerhati Buffett mungkin kenal dengan Boesky, ia dikenal sebagai lawan Buffett dalam mengakuisi Scott & Fraser, perusahaan penerbit World Book Encyclopedia. Manajemen Scott & Fraser lebih memilih Buffett sebagai sosok pelindung manajemen daripada Boesky yang perusak. Milken dikenal sebagai raja obligasi sampah (junk bond), ia dihukum 10 tahun dalam kasus insider trading. Stone, sang sutradara , katanya membuat film ini juga sebagai dedikasi untuk ayahnya, seorang pialang saham di era Great Depression

Kisah yang diangkat film ini merupakan sisi buruk pasar investasi di bursa. Semua orang mungkin akan berusaha menghindari kejahatan finansial seperti yang terjadi di film ini. Tapi ironinya, kita selama ini mendapatkan konsep besar bahwa untuk kaya dalam berinvestasi adalah dengan cara yang digambarkan di film Wall Street ini. Tiap kali ”kapitalisme” tampak guncang dan buruk, tiap kali Wall Street terbentur,  cara menyederhanakan soal, menampilkan dahsyatnya keserakahan manusia. Di sana Gekko, diperankan Michael Douglas, menegaskan dalilnya: rakus itu bagus. ”Rakus itu benar. Rakus itu membawa hasil. Rakus itu… menandai gerak maju manusia.” Tapi rakus adalah fiil pribadi-pribadi, sementara ”kapitalisme” tak cukup bisa dikoreksi dengan membuat orang insaf. Rakus juga bisa lahir di luar Wall Street. Ia tak hanya melahirkan ”kapitalisme”.Memang ada sesuatu yang amat rumit hari-hari ini. Seperti mantra, seperti makian, kata ”kapitalisme” kini meyakinkan hanya karena dampaknya bagi pendengar, bukan karena definisinya yang persis. Juga kata ”sosialisme”. Juga kata ”pasar”, ”Negara”, dan lain-lain yang tak berseliweran di antara kita. Kita sering tak menyimak, pengertian itu sekarang pada retak, nyaris rontok. Setidaknya sejak Juli 2008 yang lalu. Majalah The Economist melukiskan adegan dramatik yang terjadi di pusat kekuasaan Amerika Serikat, negara kapitalis papan atas itu: ”Pada 13 Juli, Hank Paulson, Menteri Keuangan Amerika, berdiri di tangga departemennya seakan-akan ia menteri sebuah negara dengan ekonomi pasar yang baru timbul….” 

Hari itu Paulson, pembantu Presiden Bush, mengungkapkan rencana daruratnya buat menyelamatkan Fannie Mae dan Freddie Mac, dua bisnis raksasa dalam bidang pendanaan hipotek yang tak mampu lagi membayar kewajibannya US$ 5,2 triliun. Pemerintah memakai kata ”conservator-ship”. Pemerintah AS mengambil alih perusahaan itu—kata lain dari ”nasionalisasi”, sebuah langkah yang mirip apa yang pernah dilakukan di Indonesia dan akhir-akhir ini di Venezuela. Tapi ini terjadi di suatu masa, di suatu tempat, di mana ”pasar” dianggap punya daya memecahkan persoalannya sendiri. Ini terjadi di sebuah era yang masih meneruskan fatwa Milton Friedman bahwa ”penyelesaian oleh Pemerintah terhadap satu soal biasanya sama buruk dengan soal itu sendiri”. Ini terjadi di sebuah perekonomian—disebut ”kapitalisme”—yang prinsipnya adalah siapa yang mau ambil untung harus berani menerima kemungkinan jatuh. Jika para direksi dan pemegang saham siap menyepak ke sana-kemari meraih laba di pasar, kenapa kini mereka harus dilindungi ketika tangan itu patah? Di situlah ”kapitalisme” meninggalkan prinsipnya sendiri. 

Tapi tak berarti ”kapitalisme” di Amerika berhenti sejenak. Memang tindakan nasionalisasi di sana—terakhir dilakukan terhadap perusahaan asuransi raksasa AIG (American International Group)—menunjukkan kian besarnya peran ”Negara” dalam perekonomian Bush. Namun kita perlu lebih saksama. Sebab yang terjadi sebenarnya sebuah simbiosis yang tak selamanya diakui antara ”Negara” dan ”pasar”. ”Nasionalisasi” terhadap Fannie dan Freddie berarti sebuah langkah menyelamatkan sejumlah pemain pasar dengan dana yang dipungut dari pajak rakyat. Dengan kata lain: yang dilakukan Pemerintah Bush adalah sebuah ”pemerataan” kerugian, bukan ”pemerataan” hak. Hubungan simbiosis antara kedua perusahaan itu dan ”Negara” juga bisa dilihat dari segi lain: menurut laporan CNN, selama 10 tahun, Fannie dan Freddie mengeluarkan US$ 174 juta untuk melobi para politikus, untuk membangun ”iklim politik” yang ramah kepada mereka—termasuk ketika tanda-tanda keambrukan sudah terasa. 

Tapi jika ”Negara” dan ”kapital”, ”pemerintah” dan ”pasar” ternyata tak sepenuhnya lagi bisa dipisahkan dengan jelas, apa yang luar biasa? Bukankah sejak abad ke-19 Marx menunjukkan bahwa ”Negara” selamanya adalah sebuah kekuasaan yang memihak kelas yang berkuasa? Dikatakan secara lain, bukankah ”Negara” tak hanya terdiri atas ”apa”, melainkan ”siapa”? Tapi persoalan tak selesai hanya dengan satu tesis Marx. Sejarah politik makin tak mudah menentukan bagaimana sebuah kelas sosial merumuskan identitasnya—terutama ketika kaum pekerja bisa tampil lebih ”kolot” ketimbang kelompok sosial yang lain, dan ”ketidakadilan” tak hanya menyangkut ketimpangan dalam memiliki alat produksi. Mau tak mau, para analis dan pakar teori harus berhenti seperti beo yang pintar, dan berhenti memakai mantra dan makian ketika ”kapitalisme” dan ”sosialisme” begitu gampang dikatakan. Itu tak berarti api awal yang dulu membakar perang purba itu, perang yang melahirkan mantra dan makian itu, telah sirna. 

Selama ketidakadilan menandai rasa sakit sejarah, api itu masih akan membakar dan perang masih akan berlangsung. Selama sejarah belum berakhir dalam mengisi pengertian yang disebut Etienne Balibar sebagai égaliberté, paduan antara ”keadilan” dan ”kebebasan”, perang tak akan padam.  Perang itu, tak selamanya dengan darah dan besi, adalah perjuangan politik. Ketidakadilan tak bisa hanya bisa diselesaikan dengan administrasi, karena administrasi ”Negara” selamanya akan terbatas dan terdorong ke arah pola yang cepat jadi aus. Ketidakadilan juga tak akan bisa diselesaikan dengan perbaikan budi pekerti, dengan mengubah atau mengalahkan orang macam Gekko. Apalagi pergulatan ke arah keadilan dan kebebasan tak hanya terbatas dengan mengutuk Wall Street. Kita tak cukup jadi Oliver Stone. 

Konsep bahwa agar sukses kita harus melakukan apa saja buy low sell high, created the Future of an Illusion and take upfront. Sebetulnya tak perlu harus melakukan insider trading. Ada begitu banyak investor yang sukses bahkan dengan metodologi konservatif, hati-hati, cenderungnya memang perlahan dan membosankan. Untuk menjadi sukses seperti Buffett pun tak perlu harus melanggar aturan. Dalam lanjutan film yang diluncurkan tahun 2010, money never sleep , Stone tetap mengangkat kisah yang mirip, dan tentu sudah tidak terlalu fantastis lagi. Tapi itulah pasar investasi. Media tetap menceritakan kisah pertarungan dan balapan yang sama. Buku-buku investasi diterbitkan lebih berisi tentang peramalan dan mengalahkan pasar daripada buku mempelajari bisnis yang baik yang berlandaskan kepada kerja keras dengan produk inovasi dan pabrik terbangun. Dunia investasi 'papers " memang pada akhirnya membuat dunia terjerat krisis financial karenanya. 

Padahal sumber masalah finansial dunia mungkin bukan di sana. Masalah financial adalah KERAKUSAN . Ketika orang meng create ilusi lewat produk investasi yang menjanjikan masa depan tanpa kerja keras dengan laba berlipat, saat itulah komunitas rakus yang pemalas terbentuk, kelak mereka akan berurai air mata dan terkapar diladang pembataian..wallstreet tetap berwajah zombi namun akan selalu mengundang orang untuk mendekat. Karenanya  sebaiknya, jangan terjebak dengan kekayaan tanpa kerja keras. Karena ini akan membuatmu menikmati hidup tanpa nurani.Punya ilmu tanpa kemanusiaan. Memiliki pengatahuan tanpa karakter. Berpolitik tanpa prinsip. Melakukan bisnis tanpa moralitas dan pasti beribadah tanpa pengorbanan. Jangan takut dengan bisnis yang harus kerja keras walau hasilnya lambat yang kadang harus menghadang resiko, karena dari itu kamu akan tahu arti bersyukur dan tahu arti mencitai kehidupan ..

Monday, April 18, 2016

Asuransi dan Investasi

Ada yang inbox kepada saya " Pak saya telah ikut unit link yang diatawarkan agent asuransi. Saya paham mengenai produk tersebut. Tapi bisa engga bapak beri penjelasan kepada saya dari sisi lain."

" Unit link itu produk asuransi yang menggabungkan layanan asuransi dan investasi sekaligus."

" Ya pak ..saya tahu itu. Apa itu aman ?

" Tergantung dari sisi mana kamu ingin dapatkan. Apakah investasi nya atau asuransinya ?

" GImana kalau Investasi  ?."

"Kalau yang namanya investasi itu tidak ada yang bisa menjamin keamanan. Kalau ada manager investasi menjamin keamanan investasi maka itu pasti melanggar UU dan bisa dikatakan tindakan fraud"

" Mengapa ?

" Karena namanya investasi kan berhubungan dengan masa depan. TIdak ada yang bisa jamin masa depan. Bisa untung , bisa juga rugi. Jadi kalau ada yang menjanjikan keuntungan yang pasti maka itu patut dipertanyakan niatnya. Umumnya itu hanya estimasi dari para salesman asuransi. Didalam kontrak tidak ada satupun pasal yang menyebutkan agent asuransi menjamin resiko dan menjamin laba / yield seperti yang di katakan oleh petugas sales asuransi. Jadi baca kontrak terlebih dahulu sebelum uang anda keluar."

" OK. gimana dengan asuransinya ?

" Kalau asuransi jelas aman. Kamu pasti mendapatkan proteksi sesuai yang di janjikan. "

"Mengapa ?

" Karena dari uang yang kamu tanam pada unit link itu akan diambil terlebih dahulu untuk biaya asuransi ( cost of insurance ), biaya polis, biaya akuisisi : biaya yang berkaitan dengan pelayanan selama kamu masih aktif, komisi agent termasuk bonus bagi agent yang berprestasi, biaya medical check up, biaya pembatalan polisi dan lain lain."

" Terus.."

" Ada lagi biaya yang harus dibayar yaitu biaya investasi, seperti biaya switchin -biaya untuk perpindahan dana kelolaan- biaya pengelolaan, dan biaya top-up atau dana tambahan untuk investasi."

" Semua itu diambil dari dana yang kita keluarkan untuk unit link?

" Ya benar. "

" Jadi cukup besar ya pak biayanya"

" Tentu besar biayanya karena unit link memang mata rantainya panjang. Kamu harus melewati agent, perusahaan asuransi dan kemudian barulah manager investasi. Kalau investasi itu menghasilkan yield yang lebih besar dari biaya asuransi maka kamu dibebaskan membayar biaya biaya itu, bahkan kamu akan dapat yield. Tapi kalau investasi tidak berhasil maka uang yang kamu tanam akan berkurang, bahkan bisa hilang."

" Jadi gimana pak ?

" Kembali kepada motive kamu sebenarnya. Kalau kamu mau berinvestasi maka pilihlah perusahaan investasi yang punya izin sebagai manager investasi dari OJK , yang mudah , murah cost of fund nya. Mereka menawarkan produk investasi seperti reksadana. Tapi kalau motive kamu untuk asuransi maka belilah produk asuransi yang langsung memberikan pelayanan sesuai kebutuhan kamu dan punya reputasi tinggi. Asuransi murni ini dalam waktu dekat akan di jamin oleh LPS, disamping memang sudah di reinsurance sesuai ketentuan OJK."

" Kalau saya ingin dua duanya, asuransi dan juga investasi?

" Pertama tama kamu bisa tanamkan uangmu di reksadana pada manager investasi ( Perusahaan sekuritas atau Asset Management). Pelajari dengan baik reputasi perusahaan tersebut, resiko, portfolio, biaya jasa pengelolaan dan sebagainya agar meyakinkan kamu akan mendapatkan yield menarik. Kedua, kelak bila kamu dapat yield maka dapat kamu gunakan untuk membayar premi asuransi. Jadi kamu sebagai fund manager atas uang kamu sendiri dan mendapat produk investasi dan asuransi yang terencana dengan baik.  Namun apabila kamu ingin gampang, kamu bisa beli unit link ( asuransi + Investasi.). Tapi harus Ingat bahwa unit link itu dari sisi investasi bukanlah tabungan seperti layaknya tabungan bank yang dijamin resikonya oleh LPS tapi ini benar benar investasi yang bisa untung tapi bisa juga buntung."

" Tapi ada unit link yang ditawarkan melalui MLM?

" Itu hanya metode menjual atau seni marketing untuk menarik sebanyak mungkin nasabah. Semua ada hitungannya, yang tentu dengan sistem pemasaran melalui MLM oleh agent asuransi maka biaya akan semakin besar di tanggung oleh nasabah. Resiko akan semakin besar sebesar harapan laba yang di janjikan oleh oleh salesman asuransi. Dan yang pasti untung adalah agent dan perusahaan asuransi. Kamu berdoa aja semoga juga untung. Tapi setidaknya kamu dapat asuransi, ya kan. "

Giant Sea Wall

Pada awalnya di era Soeharto , reklamasi pantai bertujuan meluaskan lahan untuk pembangunan perumahan karena tidak mungkin menambah lahan di wilayah lain. Kemudian di era Gubernur Fauzi Wibowo reklamasi di lanjutkan lebih terencana. Tujuannya bukan hanya untuk perluasan lahan hunian tapi lebih dari itu adalah sebagai sebuah sistem untuk mengatasi banjir rob di jakarta utara dan barat. Banjir rob ini terjadi karena daratan Jakarta setiap tahun turun. Sehingga kini berada dibawah permukaan laut. Dalam rencana tata ruang DKI ,pembangunan Giant Sea Wall (GSW) dimasukan. Namun Fauzi Wibowo gagal mendapatkan dana dari APBN untuk pembangunan proyek ini. Maklum pembiayaan proyek tanggul raksasa ini memakan biaya hampir Rp.400 Triliun. Apalagi ketika pembiayaan ini diajukan keadaan APBN tertekan karena DSR indonesia sudah diatas 50 % akibat anjloknya harga komoditas utama. Namun entah mengapa proyek pembangunan 17 pulau sebagai bagian dari proyek GSW tetap diteruskan. Disinilah muncul permasalahan. Perusahaan yang telah mengantongi izin dari gubernur sebelumnya menuntut agar proyek reklamasi diteruskan. Karena maklum semua proses mendapatkan izin telah sesuai dengan produk hukum yang ada. 

Era Jokowi sebagai gubernur , Izin tetap dikeluarkan namun syarat yang ketat dengan memasukan persetujuan dari para stakeholder. Apabila tidak ada persetujuan dari stakeholder maka izin reklamasi tidak bisa dipakai. Di era Ahok, peraturan gubernur berkaitan dengan izin tersebut di tuangkan dalam Perda agar punya kekuatan hukum dan sesuai dengan UU No.1/2014. Tapi perda tak kunjung rampung sampai terbongkar kasus suap. Akhirnya DPRD DKI telah memutuskan dihentikan pembahasan dua Raperda yaitu Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Jakarta tahun 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta. Dengan demikian mengenai reklamasi kembali kepada Perda No. 8 tahun 1995, yang memang memberikan hak kepada gubernur untuk memberikan izin reklamasi namun bertujuan untuk perluasan lahan hunian, bukan untuk program strategis pengendalian banjir ( giant Sea Wall). Menteri Kelautan ibu Susi tidak berhak membatalkan iZin atau menghentikan reklamasi. Ibu Susi sadar kalau dia hentikan maka akan sangat mudah di kalahkan di pengadilan oleh pengusaha. Lain halnya bila Raperda Zonasi dan reklamasi telah di syahkan DPRD.

Bagaimana kalau Ahok batalkan? maka akan digugat oleh pengusaha melalui PTUN dan pasti pengusaha menang. Satu satunya yang bisa dilakukan Ahok adalah tidak memberikan HPL dan HGB atas lahan yang telah di reklamasi. Karena sudah di kunci oleh UU No. 1/2014. DPRD DKI memang hebat membuat pengusaha semakin besar mendapatkan akses laba tanpa peduli soal lingkungan hidup. Apabila setelah reklamasi, izin HPL dan HGB tidak di terbitkan maka pengusaha tinggal minta ganti rugi atas biaya yg telah dikeluarkan. Maklum mereka lakukan reklamasi atas iZin Pemerintah. Namun permasalahan sesunggugnya bukanlah soal izin yang dikeluarkan pemrov dan diterima oleh pengembang tapi lebih kepada soal pembiayaan proyek GSW yang memang tidak siap. Para pengembang diharapkan mampu memberikan subsidi silang tapi tidak mau keluar uang terlebih dahulu untuk memastikan proyek GSW terlaksana sesuai dengan standar lingkungan hidup yang ditetapkan oleh peraturan. Para pengembang justru mengharapkan dana dari penjualan lahan reklamasi. Ini memang berbahaya karena belum tentu rencana penjualan terlaksana. Sementara reklamasi telah dilaksanakan. Apa jadinya bila program bisnis tidak terlaksana baik dan GSW gagal dibangun? Jakarta akan bertambah parah dan semakin tenggelam.

Membangun mega proyek dengan dana besar , pasti berdampak sosial yang luar biasa dan belum lagi dampak lingkungan. Tanpa network planning yang akurat tidak akan berhasil. dan untuk mendukung rencana ini tidak bisa dengan dana yang belum pasti. Apalagi mengharapkan dana subsidi silang dari proyek Swasta di kawasan reklamasi yang belum ditangan. Lantas apa yang harus dilakukan oleh pemerintah bila dana tidak tersedia melalui APBN atau APBD? jalan terbaik adalah mengeluarkan SUKUK atau revenue BOND seperti yang dilakukan oleh Dubai dan China. Basis revenue adalah :
- Retribusi dari lahan yang telah selesai direklamasi. 
-Toll fee kepada kendaraan yang melintasi tanggul raksasa. 
- Penjualan Air baku. 
- Toll fee dari setiap kapal yang melintasi tanggul. 
Semua sumber revenue itu harus diatur dalam bentuk PERDA. Sumber pendapatan tersebut sangat exciting dalam jangka panjang, tentu akan menarik minat para investor dalam dan luar negeri. Andai SUKUK atau revenue bond diterbitkan sebesar USD 30 miliar ( Rp.400 triliun) akan diserap pasar dengan mudah. Setelah dana penjualan SUKUK atau revenue bond terkumpul maka dana itu diserahkan kepada Project managemen berkelas dunia dengan dukungan fund manager sebagai financial supervision. Sehingga akuntabilitas terjamin.

Untuk sementara proyek reklamasi dihentikan sampai proyek GSW selesai dibangun secara lengkap. Setelah proyek selesai dibangun maka project management dapat melakukan beauty contest kepada calon pengembang yang berminat melakukan reklamasi.Siapa yang berani memberikan lebih besar kontribusi kepada pemrov maka dia pemenang dan berhak mendapat konsesi lahan dari hasil reklamasi pantai atau bisa saja pengembangnya adalah mereka yang kini telah mendapatkan izin tersebut, yang tentu disesuaikan dengan skema pembiayaan proyek dimana mereka harus membayar retribusi yang ditetapkan oleh Perda.
Demikian semoga bisa dipahami.

Saturday, April 16, 2016

Pembela terakhir..?

Penduduk Jakarta bukan orang yang keji, tapi ada sesuatu yang mengejutkan di KPK kemarin. Ahok keluar dengan gagah setelah di periksa berjam jam. Belum ada bukti bahwa dia bersalah sehingga pantas pakai rompi orange, tapi hampir seluruh elite politik dengan diam-diam atau berteriak: Ahok harus di penjara.  Meliat fenomena ini mungkin Harper Lee dapat menggambarkan analogi tentang Ahok, yang dituangkan dalam Novel terkenal To Kill a Mockingbird, terbit pada 1960. Mungkin akan selalu mengingatkan kita bahwa ketidakadilan dapat dilakukan atas nama keadilan bagi orang banyak. Orang banyak itu penduduk kulit putih yang tak ingin dipermalukan seorang buruh kulit hitam, justru karena si negro tak bersalah dan dengan demikian ayah dan ibu si gadis yang bersalah, berdusta—dan bukan cuma itu, sebab dari pengadilan itu tampak bahwa Mayella itu yang mencoba merayu Tom, bukan sebaliknya.

Pengacara yang lurus hati itu, Atticus Finch, telah ikut mempermalukan mereka. Ia, duda yang senantiasa berpakaian lengkap itu, seharusnya di pihak orang ramai, kaumnya, sebab ia juga berkulit putih. Tapi tidak. Atticus Finch memutuskan untuk membela Tom Robinson. Tanpa dibayar. Tanpa ragu meskipun ia harus menghadapi para tetangganya, bahkan disesali kakak kandungnya sendiri. Dan meskipun ia tahu ia tak boleh banyak berharap, dari sebuah mahkamah di kota di pedalaman selatan Amerika, untuk melihat seorang hitam sebagai sesama manusia. ”Kasus ini,” kata Atticus Finch kepada anaknya, ”kasus Tom Robinson ini, sesuatu yang merasuk ke hati nurani, Scout. Aku tak akan sanggup pergi ke gereja dan menyembah Tuhan jika aku tak menolong orang itu.”

Apa sebenarnya yang disebut ”hati nurani”, kita tak tahu. Tapi ada dorongan untuk kurang-lebih tak palsu. Atticus Finch mungkin bukan seorang yang tiap kali membaca Injil, tetapi ia merasa harus ada hakim yang terakhir, sebuah kekuatan yang tahu persis kebenaran dan keadilan, ketika manusia begitu galau, tak tahu persis apa yang terjadi, tapi ikut berteriak-teriak, ”Salibkan dia!”. Atticus dimusuhi tetangganya. Di luar gedung pengadilan, seseorang datang, dan meludahi mukanya. Orang itu Ewell, ayah Mayella, pemabuk yang suka memukuli anaknya sendiri.Dan Atticus berkata, ”Nah, kalau meludahi mukaku dan mengancam-ancamku dapat menyelamatkan Mayella dari pukulan tambahan, aku dengan senang hati menerima diludahi.”

Di kota kecil Maycomb yang sedang menanggungkan depresi ekonomi, ketika orang dirundung cemas, Atticus Finch berdiri: ia jadi merasa kuat, justru ketika ia merasa bahwa yang ditanggungkannya bukan apa-apa jika dibandingkan dengan Mayella yang dipukuli dan Tom yang difitnah dan dizalimi oleh kekuasaan yang seharusnya melindunginya. Ahok tidak sendirian menghadapi pengadilan orang ramai yang membencinya dan akan selalu ada orang terakhir yang akan membelanya walau karena itu akan di hujat dan kehilangan citra. Tapi keadilan memang harus dimenangkan.Itu lebih baik daripada kita berbangga membaca kitab mulia dan berdoa sementara kita berbatu hati melihat orang dizolomi hanya karena dia berbeda dan pantas disalahkan...
Entahlah oh dunia..maafkan ya Tuhan karena kami lemah dan tak mampu berbuat kecuali selalu berharap semua akan baik baik saja..

BPK Ngaco ?

Dalam wawancara di TV One, Kamis 14 April 2016, Ketua BPK Harry Azhar Aziz menyatakan bahwa pembayaran lahan RS Sumber Waras dari Pemprov DKI ke Yayasan Sumber Waras sebesar Rp. 750 Miliar dilakukan secara tunai (cash) pada malam tahun baru. Berikut kutipannya "Ini mau tahun baru tiba-tiba ada pembayaran tunai, ada apa ini?". Kata kata dari ketua BPK ini berkembang dengan berbagai pelintiran berita dari media digital yang tak jelas reputasinya. Sehingga sampai pada kesimpulan bahwa transaksi pembelian lahan memang wahana bancakan bagi Ahok dan jajaran SKPD. Benarkah ? Dari data dokumen, pembayarannya memang pakai cek no CK 493387 perpindahan antar rekening di Bank DKI. Tanggal deposit ceknya 30 Desember 2014 dan masuk rekening RS Sumber Waras tanggal 31 Desember 2014 sebesar Rp.717.905.072.500 Miliar. Bersama itu pula dibayarkan untuk pajak dengan cek no CK 493388 sebesar Rp. 37.784.477.500. Tapi Ketua BPK bilang setoran uang tunai berlangsung pada malam hari 31 Desember 2013.  Maka, Ketua BPK telah melakukan kebohongan publik dalam dua hal: (1) ia menyatakan pembayaran Rp750 Miliar dengan tunai yang bertentangan dengan akal sehat dan dokumen yang ada (2) dia menyatakan tanggal pembayaran pada malam hari menjelang tahun baru (31 Desember) yang benar tanggal 30 Desember 2014.

Hal tersebut diatas  membuktikan kredibilitas, integritas dan marwah BPK semakin terpuruk, karena Ketuanya masuk dalam Skandal Panama Papers, melakukan kebohongan publik, juga hasil audit BPK atas pembelian lahan RS Sumber Waras bertentangan dengan dokumen-dokumen yang ada. Bagaimana dengan team pelaksana audit BPK? ICW menduga adanya dugaan konflik kepentingan pemimpin BPK Jakarta, EDN, yang memeriksa pembelian Sumber Waras. EDN diduga memiliki konflik kepentingan karena punya dua bidang tanah 9 ribu meter persegi di tengah pemakaman Pondok Kelapa. Dia berusaha merayu pemerintah DKI Jakarta agar membeli tanah tersebut, tapi ditolak karena lahan tersebut telah dibebaskan. EDN dicopot dari jabatannya. Dari dugaan ini muncul pertanyaan mengapa BPK mengacu pada Pasal 13 Undang-Undang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum serta Pasal 2, 5, dan 6 Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagai dasar hukum prosedur pembelian lahan rumah sakit.

Padahal Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 sudah dirubah oleh Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perubahan Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Bahwa proses pengadaan tanah di bawah 5 hektare dapat dilakukan langsung oleh instansi yang memerlukan dan pemilik tanah. Gubernur DKI cukup membentuk tim pembelian tanah.Jadi audit yang dilakukan oleh BPK tidak punya landasan hukum alias ngaco. Lokasi tanah bukan keputusan Ahok sendiri tapi telah ditetapkan dalam Kebijakan Umum Anggaran-Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) APBD Perubahan 2014. KUA-PPAS ini juga telah disetujui oleh pimpinan DPRD DKI. Ini sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perubahan Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, pasal 121. Jadi kalau hasil audit BPK bahwa penunjukan lokasi tidak sesuai dengan ketentuan, itu juga ngaco.

Mengapa BPK menghitung kerugian negara berdasarkan nilai kontrak pembelian antara Yayasan dan PT Ciputra pada 2013 dengan harga tanah Rp 15,5 juta per meter persegi. Karena itu menyimpulkan kerugian negara menjadi Rp 191,3 miliar. Padahal pembelian terjadi pada Desember 2014 , menggunakan nilai jual obyek pajak (NJOP) 2014 sebesar Rp 20,7 juta per meter persegi dan NJOP ditetapkan pada Juni tiap tahun. Jadi hasil audit tentang kerugian itu juga ngaco. Lantas mengapa harus dibeli tanah itu? Ahok punya kreatifitas tinggi untuk memastikan tanah strategis sesuai peruntukan Rumah Sakit dapat dikuasai oleh PEMDA, walau sebetulnya DKI punya tanah untuk bangun rumah sakit. Membeli tanah bagi pemda adalah Pembentukan Modal Tetap Bruto ( PMTB) yang bisa langsung dirasakan oleh rakyat. Apapun itu tidak akan merugikan negara karena setiap tahun harga tanah akan naik dan negara tetap harus beli tanah untuk RS. Kalau bisa beli sekarang kenapa harus tunggu besok. Yang pasti niat pengusaha mau jadikan tanah itu untuk komersial sudah dihadang. Ahok mengikuti standar kepatuhan yang ditetapkan oleh UU dan peraturan yang berkaitan dengan pengadaan lahan untuk sarana umum. Ahok tidak berhak menentukan NJOB dan tidak berhak melakukan pembayaran. Kalau karena itu dituduh negara dirugikan, maka harus dibuktikan siapa yang mendapatkan keuntungan dari proses pembelian lahan ini. Kalau prosedur nya salah maka salahkan UU dan aturan.

Itu sebabnya KPK lebih focus kepada bukti tindak korupsi, bukan pada prosedur pembelian lahan. Bukti itu harus digali dari motif seseorang berbuat. Apa motif dia? kalau motif nya memperkaya diri, ya dia tak perlu beli lahan tapi rubah aja peruntukan lahan dari RS menjadi Komersial, pasti dapat cuan dari Ciputra yang sudah teken PJB dengan pemilik lahan. Aman kan. Kalau dia korupsi , pasti ada aliran dana masuk ke rekening Ahok atau pihak yang dekat dengan Ahok..PPATK akan sangat mudah melacaknya. Atau akan ada pihak SKPD yang tersangkut dan pasti akan nyanyi kalau ahok kebagian uang. Kan konyol kalau Ahok perang dengan BPK kalau benar dia korup. Yang pasti kalau BPK benar maka ada banyak kepala Daerah yang akan bernasip sama dengan Ahok di kriminalisasi karena mereka semua menggunakan Perpres Nomor 40 Tahun 2014.

Bukan sistem yang salah tapi moral.

  Kita pertama kali mengadakan Pemilu tahun 1955. Kalaulah pemilu itu ongkosnya mahal. Mana pula kita negara baru berdiri bisa mengadakan pe...