Saturday, February 13, 2016

Sekitar kereta cepat...


Saat itu tahun 2013. Kabut musim dingin Beijing sangat tebal. Banyak pesawat ditunda penerbangannya.  Saya tidak bisa menunda ke berangkatan ke Guangzho. Akhirnya saya memilih lewat darat.  Naik kereta cepat ( bullet ). Di kereta disamping tempat duduk saya, ada pria Bule. Dia guru SMU di Delaware, AS. 


“ Luar biasa.” katanya saat kereta melaju.


“ Apanya yang luar biasa? Tanya saya.


“ Kalau ini dibangun di Eropa atau Jepang atau AS itu biasa saja. Karena mereka membangun by design dan berbasis riset. Tapi China, dengan luas daratan yang luar biasa, dan penduduk diatas 1 miliar, itu tidak mudah. Kamu tahu, kereta ini hanya mesin. Secara tekhnologi tidak sulit mengerjakannya. Tapi dibalik mesin yang berkecepatan tinggi ini, ada masalah sosial dan ekonomi yang dijebol lewat social engineering. 


Bayangkan, lanjutnya. kereta ini bergerak dengan energi yang besar dan mempunyai daya magnit yang tinggi, dan sangat merusak apabila ada hunian di dekat lintasan kereta. Beda dengan kereta biasa, yang dampak medan magnitnya tidak significant.. Otomatis dengan adanya kereta cepat, tata ruang juga berubah. Ini engga mudah, apalagi di kawasan padat.


Kereta ini bergerak dengan kecepatan tinggi. Engga mungkin di drive dengan manual. Pengoperasiannya menggunakan IT system secara wireless. Sementara wireless kan menggunakan Frekwensi. Anda tahu, frekwensi itu sumber daya terbatas. Belum lagi dampak dari adanya kereta cepat itu akan mengganggu frekwensi digital yang ada  disekitar lintasan kereta. Lagi lagi ini berhubungan dengan tata ruang. Apa mau orang suruh bergeser sekian mill dari lintasan kereta? ini engga mudah. 


Saya termenung. Memang infrastruktur keliatannya hanyalah kerjaan phisik para insinyur. Tapi tanpa ada rekayasa sosial dari ahli ekonomi dan sosial, ini proyek  tidak mungkin terlaksana.


***

Kini, benarlah terbukti. Kendala serius kereta cepat Jakarta Bandung itu adalah soal lintasan atau lahan yang melintasinya. Design awal sampai pelaksanaannya berubah ubah terus. Awalnya Stasiun Halim PK Jakarta - Kerawang - Walini - Padalarang - Tegal Luar Bandung menjadi Halim PK Jakarta - Kerawang - Padalarang saja. Mengapa ? ya karena tata ruang. Ini masalah hukum dan UU yang melekat pada kawasan itu dan kepentingan konglo yang kuasai lahan. Belum lagi harus relokasi SUTT ( saluran udara tegangan tinggi.) Apa mau warga rumahnya kena SUTT? emang ada tanah kosong tanpa pemilik?


Belum lagi, soal frekuensi untuk signaling. Kan kereta ini mengunakan Global System Mobile-Railway (GSM-R). Perlu frekuensi pada 900 Mhz. Kapasitas kita hanya 15 Mhz. Untuk kereta ini saja perlu 4 Mhz. Apa iya Telkomsel sebagai pemilik konsesi pita frekuensi mau korbankan pelanggannya se Indonesia demi kereta cepat yang pelanggan hanya 30.000 orang ? Sudah? belum. Demi keselamatan perjalanan kereta, akan ada banyak repeater telekomunikasi  disekitar lintasan kereta yang harus dibongkar. Nah repot kan?. Mana ada orang bisa hidup tanpa telp selular. 


Saat Jokowi mengkesekusi Proyek Kereta cepat dan kebetulan menunjuk China sebagai penyedia tekhnologi dan pembiayaan. Saya rasa Jokowi bukan hanya meliat dari sisi tekhnologi, tetapi juga dari sisi rekayasa sosial. Dalam hal rekayasa sosial, China punya pengalaman hebat. Ini tidak jauh dari program revolusi mental yang dicanangkannya. Saya yakin masalah proyek kereta cepat ini akan mengguncang masyarakat. Karena proses rekayasa sosial itu tidak mudah. Butuh masyarakat yang dewasa dan mau diajak berubah. Semoga Jokowi tabah dan proyek ini selesai sesuai jadwal


6 comments:

Rinaldy Roy said...

Bang Zeli, brp tambahan suplai listrik yg harus disediakan ?

Erizeli Bandaro said...

10,5 MW

tri said...

Bagaimana tanggapannya thd hal ini?

https://www.facebook.com/tarli.nugroho/posts/10153994578398606?fref=nf

KONSESI MODAL CINA

Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung terus menuai kontroversi. Satu per satu masalah di seputar proyek tersebut mulai terbuka. Investor Cina, yang semula menjanjikan tidak menuntut penjaminan, nyatanya terus merengek meminta sejumlah penjaminan dan konsesi dari pemerintah. Padahal, berdasarkan Keputusan Presiden No. 59/1972, badan usaha negara, badan usaha daerah, maupun perusahaan swasta dilarang menerima kredit luar negeri yang mengharuskan adanya jaminan pemerintah, termasuk Bank Indonesia dan bank milik negara.

Masalahnya, permintaan jaminan oleh investor Cina semacam itu bukan kali pertama terjadi. Tuntutan itu selalu mereka ajukan pada sejumlah kerja sama yang sebenarnya bersifat swasta, atau "bussiness to bussiness" (B to B). Sayangnya, ingatan kita mengenai hal itu seringkali terlalu pendek.

Dalam acara “Indonesia-China Forum Energy II”, di Shanghai, 28 Oktober 2006, telah ditandatangani nota kesepahaman pembangunan pembangkit listrik dengan Cina. Belakangan kita menyebutnya sebagai “Proyek Listrik 10 Ribu Megawatt”. Nilai kerja sama investasi yang ditandatangani waktu itu mencapai US$5 miliar, atau senilai Rp170 triliun. Proyek itu ditargetkan selesai pada 2010. Sebaran pembangkit tenaga listrik proyek 10 ribu megawatt itu meliputi Sumatera (3 ribu megawatt), Jawa-Bali (4 ribu megawatt lebih), dan sisanya untuk Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.

Awalnya, perjanjiaan pembangunan pembangkit listrik bertenaga batubara itu murni "B to B" antara PT PLN dengan investor Cina. Tetapi dalam perjalanannya investor Cina melihat adanya risiko sehingga kemudian meminta penjaminan pada pemerintah Indonesia. Penjaminan itu hanya sebatas agar pemerintah menjaga keuangan PLN agar terus dalam kondisi baik....."

Unknown said...

EPC itu C-nya bukannya Construction?

Erizeli Bandaro said...

Terimakasih untk koreksinya

Erizeli Bandaro said...

saya jawab :
1. Dalam hal kereta cepat,tidak ada jaminan pemerintah berupa financial guarantee sehingga tidak melanggar aturan Perpres No.107 tahun 2015 tentang Percepatan penyelenggaraan prasarana dan sarana kereta cepat Jakarta Bandung dan Keputusan Presiden No. 59/1972. Karena BUMN tidak melakukan utang luar negeri.PInjaman untuk memenuhi equity sebesar 60% didapat dengan menjaminkan saham yang ada di SPV,bukan saham BUMN itu sendiri.Kalau saham BUMN di jaminkan maka harus izin menteri keuangan dan Men BUMN.

2. Proyek pembangkit listrik 10.000 MW mengacu dengan UU Kelistrikan dimana di mungkinkan melibatkan B2B. Syarat dan ketentuan yang diatur UU sangat jelas bahwa PLN sebagai undertaker dan of taker dari power yang dihasilkan oleh Pembangkit listrik.Sehingga resiko dari adanya off taker tersebut menjadi tanggung jawab negara,termasuk keterlambatan bayar atau gagal bayar.Karenanya PLN berhak menentukan spec dan supervisi dari pembangunan pembangkit listrik tersebut.

ERA Jokowi, dari 16 target yang tercapai hanya 2

  Realisasi kuartal III-2024, ekonomi nasional tumbuh 4,95%. Konsumsi rumah tangga sebagai pemberi andil terbesar hanya mampu tumbuh 4,91%. ...