Sejak tahun 2009 Negara emerging market mencatat
pertumbuhan tinggi dibandingkan Negara lain. Mengapa? Karena kebijakan suku
bunga tinggi di negera emerging market mengakibatkan arus dana dari Amerika yang
bunga rendah mengalir deras. Likuiditas pasar uang Negara emerging market
melimpah. Hal ini mengakibatkan mata uang negara emerging market stabil. Namun kemelimpahan
likuiditas itu mulai terancam ketika the FED berniat akan mengurangi pembelian
obligasi ( QE) atau dikenal dengan istilah tapering off. Karena itu tahun 2013 bulan
agustus Morgan Stanley merilis hasil risetnya bahwa negara emerging market sangat
renta (fragile ) dengan kebijakan moneter Amerika. The fed belum memutuskan
namun hanya wacana tapering saja sudah melemahkan beberapa mata uang di lima ( Five )
negara emerging market yaitu Brazil, India, Turki , Indonesia, Afrika Selatan. Morgan
Stanley dua hari lalu merilis laporan bahwa Indonesia dan India keluar dari
kategori fragile five atau lima ( five ) negara yang mata uangnya rawan terkena
dampak kebijakan moneter The Fed. Ekonom Morgan Stanley menilai Indonesia dan
India sudah berhasil mereformasi ekonomi dengan meninggalkan model ekonomi lama yang boros dan anti produksi. Indonesia telah mengambil langkah positif di mana Presiden Jokowi dalam lima bulan
pertamanya menjabat telah berhasil mengalihkan subsidi bahan bakar minyak (BBM) kesektor produksi dan menekan defisit anggaran ke 1,9 persen dari PDB. Ketika ada gejolak pada
rupiah maka pemerintah melakukan reformasi struktural dengan mengeluarkan
kebijakan untuk mengurangi current account deficit (CAD) atau defisit transaksi
berjalan.
Kebijakan mengurangi CAD ini akan terus berlanjut dan terfocus. Dalam waktu
dekat akan dikeluarkan pemerintah paket kebijakan baik untuk
neraca dagang ataupun jasa. CAD jelas menjadi konsern pemerintah karena salah
satu penyebab rupiah tertekan adalah defisit pada neraca transaksi berjalan
yang terus terjadi sejak triwulan terakhir 2011. Pada 2014, CAD Indonesia
sebesar 2,95 persen dari PDB. Untuk tahun ini karena impor belanja
infrastruktur akan melonjak maka defisit masih akan berada pada level sekitar 3
persen dari PDB. Namun Ekonomi akan tumbuh karena orientasi kesektor rill. Benarkah ? Masa depan ada di ASEAN dan
itu ada pada Indonesia. Bagaimana
dengan Negara lain ? Negara lain seperti Jepang , Korea, Taiwan tak bisa lagi
diharapkan sebagai lahan investasi. Karena kemampuan produksi mereka selama ini
tidak punya value apapun setelah China tampil di pasar dunia dengan harga
murah. Dalam 20 tahun belakangan ini terbukti Negara tersebut justru menjadi
beban bagi Negara konsumen seperti Eropa dan AS. Harga produk industry mereka telah bubble hingga pada
batas irasional. Telah mengakibatkan inefisiensi nasional bagi AS dan tentu
beban ekonomi dalam jangka panjang kalau dukungan kemitraan tetap
dipertahankan. Namun memberikan dukungan pasar berkelanjutan kepada China juga
tidak bijak. Karena system ekonomi yang berbeda telah mengakibatkan Negara
inportir dirugikan dari segi mata uang. China sebagai peluang mengembangkan
dana , juga hal yang rumit. Karena regulasi cross border transfer fund yang
ditetapkan pemerintah China telah
membuat cost of fund semakin mahal. Maklum saja, bahwa investor tidak bisa
bebas memindahkan dananya keluar negeri.
Vietnam juga bukan hal yang bagus
untuk investasi jangka panjang. Karena lemahnya menajement moneter serta system
politik yang tidak demokratis adalah salah satu hal yang membuat investor
berpikir lebih jauh untuk masuk secara penuh. Thailand, memang tempat yang bagus karena produktifitas mereka yang tinggi
namun itupun dalam komoditas yang terbatas. Pasar dalam negeri Thailand pun
sangat jenuh untuk dikembangkan karena proteksi pemerintah berlebihan
melindungi industry dalam negeri. Disamping kekuatan devisa mereka yang renta
karena didukung oleh export barang dan jasa yang tak bisa dikembangkan lebih
jauh. Malaysia dan Singapore , tak bisa diharapkan terlalu jauh untuk investasi
jangka panjang. Karena mereka sudah over capacity. Disamping itu lingkungan
strategis mereka sudah tidak exciting lagi karena Indonesia tidak lagi
menjadikan Negara mereka sebagai channeling barang ataupun jasa. Indonesia
adalah Negara di ASEAN yang mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi paling stabil
! Karena stabilitas sangat penting
untuk menghitung probability jangka panjang terhadap investasi. Dan yang lebih
penting lagi pertumbuhan itu bukan melulu dipicu oleh hutang. Tapi lebih dipicu
oleh keunggulan strategis yang didukung oleh kemelimpahan sumber daya alam
Indonesia. Sektor moneter Indonesia
dinilai sangat likuid dibandingkan Negara lainnya. Pasar obligasi sangat kuat.
Pasar SBI juga likuid dan menjadi incaran investor jangka pendek. Potensi
ekonomi Indonesia yang ada sangat
besar namun kapasitas produksi masih rendah. Untuk PMA masih dibawah 50%. Artinya terbuka luas untuk
peningkatan produksi lebih besar. Peluang itu ada disemua sektor. Upah yang sangat murah dibandingkan China dan
jumlah orang muda paling banyak di bandingkan negara ASEAN. Lingkungan
strategis yang berhadapan dengan Facifik merupakan pontesi yang tak habis
habisnya.
Jokowi membaca peluang ini dan dia bergerak cepat membangun infrastruktur agar peluang itu dapat diraih. Agar peluang itu tidak hanya sebagai potensi terpendam saja. Bagaimanapun peluang ini tidak hanya membuat segelintir orang makmur tapi bagi semua, khususnya petani dan nelayan. Saya yakin kebijakan Pemerintah Jokowi kembali kedesa dan kelaut adalah strategi yang tepat sebagai landasan kokoh menuju negara industry maju yang mandiri, berdaulat dan terhormat. Indonesia harus belajar dari China yang
cepat tumbuh akhirnya terjebak dengan pasar International yang stuck. Sementara
pasar dalam negeri masih butuh waktu untuk mengambil peran. Indonesia harus
belajar dari AS yang cepat tumbuh menjadi hegemoni ekonomi dunia akhirnya
terjerembab akibat bubble moneter. Indonesia harus belajar dari Eropa yang
tidak becus mengendalikan kebutuhan pertumbuhan dengan daya dukung ekonomi
nasional hingga terjebak dalam hutang yang tak terbayar. Indonesia harus
belajar dari Mesir , Tunisia, Libia, Syiria yang tumbuh namun gagal swasembada pangan sehingga terjadi
gejolak politik. Indonesia harus belajar dari Asia Tengah yang hanya jadi
resource asing yang miskin kontribusinya terhadap petumbuhan domestic.
Indonesia harus belajar dari Jepang, Korea dan Taiwan yang tumbuh namun tak
bisa menjaga keseimbangan ekonomi dalam negeri akhirnya stuck menuju spiral
crisis. Indonesia harus belajar dari kegagalan negara lain agar unggul dalam putaran waktu.
No comments:
Post a Comment