Mana yang lebih baik Pilkada
Lansung atau Pilkada Tidak Langsung ( melalui DPRD)? Kalau itu ditanyakan
kepada Pengusaha maka saya yakin dari 10 pengusaha,9 inginkan Pemilu Tidak
Langsung. Mengapa ? Sejak adanya Pemilu Langsung tahun 2007 , sangat terasa
sekali kepemimpinan di daerah itu sangat lemah. Walau legitimasi Kepala Daerah
seperti Gubernur, Walikota, Bupati sangat kuat karena dipilih langsung oleh
rakyat namun tidak otomatis membuat Kepala Daerah menjadi kuat. Walau tidak ada
satupun kekuasaan yang bisa mengintervensi kepala daerah dan tidak ada satupun
kekuasaan ( termasuk Partai dan Presiden ) bisa memecatnya kecuali dia mengundurkan diri
atau melakukan tindak pidana atau melanggar undang undang namun tidak otomatis
membuat Kepala Daerah bisa begerak cepat dengan powerful.
Mengapa? Karena kekuatan yang ada dalam sistem demokrasi liberal berperan sangat efektif sebagai check and balance. Bahwa legislative ( DPRD) dengan haknya yang dijamin UU, sangat kuat
mengontrol kepala Daerah. Bahwa independensi penegak hukum, sangat efektif
mengawasi kepala Daerah dan anggota DPRD. Bahwa kebebasan Pers dan LSM, sangat efektif sebagai kekuatan diluar sistem yang ikut menjadi penyeimbang diatara
kekuatan yang ada didalam sistem. Dengan itu, membuat Kepala Daerah bagaikan duduk diatas bara. Itu sebabnya Kepala Daerah terhebat seperti Jokowi di DKI atau Solo, Ridwan Kamil
di Bandung, Ibu Tri Risma Harini di Surabaya yang tetap saja terkesan lambat mengeskalasi
pertumbuhan kemakmuran didaerahnya. Mereka harus menari diatas lantai demokrasi liberal yang licin.
Lihatlah faktanya bahwa realisasi
APBN/D setip tahunnya tidak lebih dari 70% dan itupun sebagian besar realisasi anggaran
yang ada tanpa perlu ada kebijakan khusus dari kepala daerah seperti gaji PNS atau belanja rutin. Sementara
anggaran yang berkaitan dengan program kerja Kepala Daerah yang diusungnya
semasa kampanye menjadi hanya cerita sehari hari yang tingkat realisasinya
sangat lambat. Mengapa? Tidak semudah membalik telapak tangan untuk
mengeksekusi programnya. Kekuatan di DPR/D punya cara ampuh untuk mengkritisi
program itu sehingga terjadi tarik ulur untuk sampai adanya konsesus.Ingat bahwa DPRD yang merupakan kader partai juga punya idiologi yang harus diperjuangkannya. Bila program itu bertentangan dengan idiologinya maka sebisanya anggota DPRD itu akan besikap restriction. Kepala Daerah yang dipilih langsung rakyat menjadi Kepala Daerah yang sangat sibuk yang paling mudah dibenci dan dipuji. Karenanya ia harus selalu sibuk menjalin komunikasi dengan semua kekuatan
yang ada didalam sistem demokrasi termasuk Pers dan LSM. Komunikasi dengan
elite kekuatan itu sangat penting untuk menjaga mementum dukungan agar program kerjanya tidak
mengalami hambatan. Ini memang melelahkan dan jangan kaget bila APBD baru bisa
dipakai biasanya terlambat tiga bulan setelah tanggal tahun berlaku APBD. Bagi
Kepala Daerah yang tidak mampu menjalin komunikasi atau diplomasi dengan
kekuatan lain dan mencoba culas maka hanya masalah waktu kekuatan yang
diluarnya akan menggiringnya menjadi pasien KPK.
Sebagian besar proyek yang
berkaitan dengan PPP ( Public Private Partnership) terhambat realisasinya
karena tidak bisa leluasanya Kepala Daerah memberikan izin yang berkaitan
dengan wewenangnya. Hal ini karena dia harus mempertimbangkan bukan hanya soal
manfaat sosial dari proyek dalam jangka panjang tapi juga dampak moral yang
bisa merusak citranya akibat izin yang
diberikannya. Andaikann izinpun diberikan, Kepala Daerah juga tidak bisa
berbuat banyak bila suatu saat izin itu dipermasalahkan oleh masyarakat. Contoh
ada pengusaha yang telah punya Izin Lokasi dan Surat Izin Peruntukan Tanah untuk
membangun proyeknya namun tak berdaya ketika ada LSM yang menghadang dan kemudian
bila sudah ada yang protes maka selanjutnya DPRD akan bersuara dengan hak yang
dilindungi oleh UU menekan Kepala Daerah. Andaikan Kepala Daerah mencoba
melakukan konsesus dengan menyuap DPRD, itu juga tidak mudah. Karena KPK atau aparat Kejaksaan sudah berada
dipinggir ring untuk siap memangsa siapa yang salah dan kalah. Contoh kasus
seperti ini tidak sedikit. Ada banyak sekali kasus yang intinya kebijakan
Kepala Daerah terhadap suatu proyek pada akhirnya stuck hanya karena adanya
kekuatan by system membuat kepala daerah menjadi lemah. Ini belum lagi proyek
yang berhubungan dengan APBD.
Kepala Daerah harus bisa berdamai
dengan DPRD , bukan hanya soal pendapat yang harus sama tapi juga “pendapatan “
harus sama. Karena harap maklum bahwa baik anggota DPRD maupun kepala Daerah dipilih
langsung oleh rakyat dan ini tidak gratis. Perlu ongkos mahal yang harus ada
cost recovery dari jabatan yang ada. Hasilnya ? sejak ada Pilkada Langsung
telah terjaring 3600 anggota DPRD dan 160
kepala Daerah yang tersangkut kasus korupsi. Apa artinya ? memang by system
tidak ada satupun yang bisa aman dari perbuatan jahatnya. Apakah dengan itu
sistem Pilkada Langsung salah? Tentu tidak! Justru ini menunjukan sistem yang
diinginkan oleh pro-demokrasi bekerja efektif untuk memastikan siapapun yang pegang
amanah rakyat tidak bisa bebas berbuat KKN. Tapi dampaknya adalah sistem tidak efektif mempercepat eskalasi pertumbuhan ekonomi. Semua pejabat takut kena KPK dan selalu play safe dan By system Pilkada Langsung membuat lemahnya kepemimpinan. Teman saya seorang consultant mengatakan bahwa walau tidak ada tindak korupsi namun jangan dikira waktu berlalu sia sia tanpa program nyata bukanlah kejahatan. Ingat setiap detik waktu terbuang berapa uang negara keluar untuk membayar biaya rutin pemda yang minus kontribusinya itu? Ini tidak sedikit. Selain itu setiap hari rakyat bukannya berkurang tapi terus bertambah dengan
kelahiran bayi, yang membutuhkan semakin besar tanggung jawab sosial negara kepada rakyat. Apa jadinya bila keadaan ini terus dipertahankan? Secara nasional ini akan semakin membuat beban semakin menumpuk sampai pada batas tak bisa diselesaikan.
Apa jadinya bila berbagai peluang ekonomi akibat geostrategis regional dan international akhirnya
hanya selesai diatas meja dan diruang seminar tanpa ada implementasi, hanya
karena harus menjaga check and balance bekerja efektif? Demikian kata teman saya yang juga anggota Partai. Kita memang butuh check and balance namun
kita juga sangat butuh sistem kepemimpinan yang kuat. UU Pilkada melalui DPRD memang dirancang membuat kepala
daerah powerfull karena ada peran partai sebagai pusat penyeimbang antara
Anggota DPRD dan Kepala Daerah. Kalau
anggota DPRD mencoba menghalangi program kerja Kepala Daerah maka Partai bisa
pecat anggota DPR/D, itu diatur dalam UU MD3. Selain itu, Presiden
sebagai Kepala Negara semakin powerful karena berdasar
UU Pemda yang baru, presiden bisa memberhentikan Kepala Daerah bila tidak menjalankan program pemerintah pusat atau
tidak disiplin. Dengan demikian dapat dipastikan kedepan, kepemimpinan ditingkat nasional maupun daerah menjadi
kuat dan tentu efektif mengeskalasi pembangunan. Namun secara pribadi saya
tidak setuju Pilkada melalui DPRD lebih karena adanya UU MD3 dimana Partai sangat berkuasa terhadap anggota DPRD. Kepala Daerah dapat diberhentikan oleh DPRD
, dan ini bisa saja karena perintah Partai.
Saya tidak percaya kepada elite partai yang 90% adalah pengusaha. Mereka bisa saja membuat kartel untuk menguasai sumber daya daerah melalui tangan mitra bisnisnya dari dalam maupun luar negeri. Sebagai pengusaha, bagi saya Pilkada melalui DPRD adalah peluang bisnis tapi sebagai pribadi saya melihat ini ancaman bagi keadilan. Saya berpihak kepada keadilan. Bagaimanapun ya kembali kepada akhlak!
Saya tidak percaya kepada elite partai yang 90% adalah pengusaha. Mereka bisa saja membuat kartel untuk menguasai sumber daya daerah melalui tangan mitra bisnisnya dari dalam maupun luar negeri. Sebagai pengusaha, bagi saya Pilkada melalui DPRD adalah peluang bisnis tapi sebagai pribadi saya melihat ini ancaman bagi keadilan. Saya berpihak kepada keadilan. Bagaimanapun ya kembali kepada akhlak!
2 comments:
Bagaimana kalau ANGGOTA DPR CUKUP 11 ORANG SAJA, 10 dari Partai dan 1 Ulama Yang Zuhud.?
Karena mekanisme pengambilan keputusan ujung2nya voting dan mereka bisa dipecat/recall jika berbeda dengan suara partai.
Keterwakilan GOLPUT di DPR ?
Melihat suasana lebih yg lebih "terjaga" di sidang MPR yg disebabkan "posisi" DPD, maka ada baiknya jumlah golongan di DPR yang saat ini 10 menjadi 11 yg bersifat Independent atau golongan Golput.
Kemudian berapa jumlahnya ?
Salah satu formulanya : GI (Golput Independent) = persentase golput (dr total jumlah pemilih) x total anggota dpr ( yg dr parpol).
Tapi GI ini tidak mendapat tempat sebagai Ketua/Wakil Ketua DPR
Post a Comment