Sunday, December 22, 2013

Megawati atau Jokowi?

Ketika Soeharto jatuh dan PDIP unggul dalam pemilu tahun 1999, tidak otomatis menjadikan Megawati sebagai Presiden. Permainan koalisi di Sidang Umum MPR  hanya menempatkan Megawati sebagai Wapres dengan Gus Dur sebagai Presiden. Megawati hanya jadi ban serep tanpa prestasi apapun. Kemudian Gus Dur dijatuhkan oleh MPR dan menempatkan Megawati sebagai Presiden. Apa prestasi Megawati ? Hanya dua yaitu mengeluarkan IMF dari Indonesia dan sekaligus stop utang luar negeri atau zero growth debt. Selebihnya kekuasaan dijalankan oleh kekuatan Poros Tengah dan GolkarPraktis idiologi Marhaen tidak jalan sama sekali? Semua tahu bahwa Soekarno anti kapitalis tapi di era Megawati  LNG Tangguh dikuasai asing dan menjual INDOSAT kepada asing, serta diberlakukannya privatisasi BUMN.  Semua tahu bahwa Soekarno penggali UUD 45 dan Pancasila , dan di era Megawati  amandemen UUD 45 terjadi secara luas sehingga tidak layak lagi disebut UUD 45 tapi UUD 2002. Semua tahu bahwa ditangan Soekarno lah nusantara berhasil direbut dari asing tapi di era Megawati  pula Simpadan lepas ketangan Malaysia.  Saya yakin ini sangat menyakitkan bagi Megawati ketika itu namun Megawati memilih diam. Dukungan kuat rakyat kepada simbol Soekarno pada Megawati ini hanya berumur jagung dan mendulang kekecewaan ketika Megawati tidak memberikan kebanggaan dan kepuasaan kepada rakyat selama dia menjadi Presiden. Itulah harga yang harus dia bayar. Seorang teman yang juga aktifis Marhaen sempat berkata kepada saya bahwa apakah Megawati tidak melihat realita  dari dua kali PEMILU , PDIP dapat dikalahkan oleh Partai Demokrat dan SBY unggul telak sebagai President.  Mau berapa kali lagi PEMILU untuk meyakinkan Megawati bahwa orang ramai tidak melihat Megawati similiar dengan Soekarno. This is  enough.

Kalaulah mau jujur sebetulnya tidak semua kader PDIP suka dengan Megawati. Mengapa ? Ada jarak yang sangat jauh antara Megawati dengan Marhaenisme. Megawati bukan pemimpin yang merakyat. Ketika dia jadi Presiden dia memimpin bergaya Feodal,yang sangat sulit diakses dan sangat tidak bisa menerima perbedaan. Perseteruannya dengan SBY yang merupakan salah satu menterinya dulu juga sebagai bukti bahwa Megawati bukan orang besar yang mudah mendengar dan mudah pula memaafkan. Ada segelintir kader PDIP yang hengkang dan membuat Partai sendiri yang konsisten dengan Marhaen tapi gagal meraih suara dalam Pemilu. Ini sebagai bukti bahwa bagaimanapun perjuangan Idiologi Soekarno akan lebih efektif bila itu digerakan oleh Megawati atau trah Soekarno. Para kader sadar bahwa mereka butuh simbol hidup Patron Soekarno untuk menarik kaum tertindas untuk bergabung.  Walau sebetulnya cara ini tidak lagi efektif karena semakin meluasnya informasi semakin menyadarkan Rakyat bawah bahwa Soekarno sudah tiada dan tidak akan pernah ada lagi Soekarno kedua atau titisannya. Namun ditengah ketidak adilan dan semakin lebarnya gap kaya miskin akibat kapitalisme, marhanen memang laku dijual. Marhaenisme inilah yang ditampilkan kepermukaan oleh para kader ketika berhadapan dengan akar rumput. Mereka mendekati rakyat dengan keteladanan untuk berkorban. Mereka merasakan derita rakyat secara lahir maupun batin. Hal ini tercermin dari program kerja mereka ketika mereka punya kesempatan memimpin.

Keberadaan Ganjar, Jokowi dan Herman, Tri Rismaharini serta lainnya adalah satu contoh generasi Marhaen sejati yang tumbuh dan berkembang dari akar rumput. Umumnya mereka adalah kaum terpelajar yang mengenal Marhaen ketika mereka sebagai aktifis di Kampus di era Soeharto. Usia mereka kini rata rata diatas setengah abad. Kebanyakan mereka taat beragama namun tidak menggunakan agama sebagai simbol berjuang sebagaimana mereka tidak menggunakan simbol Marhaen untuk mempengaruhi rakyat. Mereka lebih mengutamakan keteladanan sebagai pribadi yang mengabdikan umurnya untuk berguna bagi orang lain. Sikap hidup mereka adalah pengabdian sebagaimana kata kata Bung Karno "Saya adalah manusia biasa.Saya tidak sempurna.Sebagai manusia biasa saya tidak luput dari kekurangan dan kesalahan.Hanja kebahagiaanku ialah dalam mengabdi kepada Tuhan, kepada Tanah Air, kepada bangsa. Itulah dedication of life-ku. Djiwa pengabdian inilah jang mendjadi falsafah hidupku, dan menghikmati serta mendjadi bekal-hidup dalam seluruh gerak hidupku. Tanpa djiwa pengabdian ini saya bukan apa-apa. Akan tetapi dengan djiwa pengabdian ini, saja merasakan hidupku bahagia,- dan manfaat."

Ya, PDIP pada awalnya berdiri karena perjuangan seorang Megawati melawan kezoliman Soeharto. Berlalunya waktu Mega disadarkan untuk lebih bijak apalagi setelah mengalami kekalahan demi kekalahan dalam PEMILU. Mega sadar bahwa dia perlu kembali kepada Marhaen sejati, bukan hanya simbol tapi memang sebagai idiologis yang mengawal Pancasila dan UUD 45. Itulah sebabnya dalam Kongres di Bali tahun 2009 telah dibentuk Majelis Idiologi yang mewadahi arah gerak dan orientasi serta dinamika PDIP sebagai partai ideologis agar sesuai dengan Pancasila 1 Juni 1945. Sejak itu Mega tidak lagi meng claim dialah yang patut menjadi Presiden dan disimbolkan sebagai pewaris Patron Soekarno. Mega sudah menempatkan PDIP sebagai partai kader yang besar karena idiologi dan bukan karena simbol orang perorang. Walau sebetulnya masih ada didalam tubuh PDIP yang tetap bersandar kepada simbol Soekarno yang umunya mereka berada diakar rumput. Mega tidak bisa mengabaikan mereka karena itu sebuah realitas yang harus disikapi dengan bijak. Karenanya dengan bijak  dan smart Mega tidak segera mengumumkan Jokowi sebagai Capres. Itu akan diumumkan setelah PEMILU legislative. Alasannya sudah tentu untuk menjaga perasaan mereka yang masih percaya dengan Soekarno sebagai simbol Patron dan Mega sebagai titisannya. 

Bila ternyata PDIP bisa memenuhi batas minimum Presidential Threshold yakni suara kursi legislatif 20 persen dan suara nasional 20 persen ,maka ini sebuah realita bahwa Trah Soekarno masih kuat dan Megawati akan maju sebagai Capres sesuai amanah Kongres. Namun ini kecil sekali kemungkinannya. Yang pasti bila batas minimum tidak tercapai maka itu suatu realita bahwa Mega harus mundur dan menyerahkan Capres kepada Jokowi. Semua kader PDIP akan menjadi mesin partai yang efektif dan berjuang untuk menempatkan Jokowi sebagai Presiden walau untuk itu harus membangun koalisi dengan partai lain. Bagi Megawati apapun yang terjadi  itulah yang terbaik dan akan diterimanya dengan suka cita. Kalaulah memang rakyat memilih Jokowi sebagai Presiden karena pribadi Jokowi yang Marhaen maka itu yang terbaik bagi PDIP tapi bila  rakyat memilih Jokowi karena PDIP dan Soekarnoisme maka itu juga takdir yang harus diterima dengan penuh tanggung jawab. Seorang aktifis Marhaen berkata kepada saya bahwa Pemilu yang akan datang adalah pertarungan all out PDIP bersama Partai koalisinya (Nasdem dan Garindra )  untuk memenangkan pemilu. Bila mereka menang maka agenda utama adalah mengembalikan UUD 45 kedalam pangkuan ibu pertiwi. UUD 2002 sebagai amandemen dari UUD 45 akan di removed masuk keranjang sampah. 

No comments:

ERA Jokowi, dari 16 target yang tercapai hanya 2

  Realisasi kuartal III-2024, ekonomi nasional tumbuh 4,95%. Konsumsi rumah tangga sebagai pemberi andil terbesar hanya mampu tumbuh 4,91%. ...